Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I
Pada dasarnya, setiap kehidupan kita
tidak akan pernah terlepas dengan unsur ekonomi. Ketika kita merasa lapar dan
memutuskan untuk membeli makanan, juga saat kita melihat dimedia massa kenaikan harga BBM dan bahan-bahan lainnya yang
melambung tinggi, itulah ekonomi dari perspektif keseharian kita.
Setiap keputusan yang kita ambil akan menghasilkan
konsekuensi, ini adalah gejala opportunity cost dalam ilmu ekonomi.
Secara sederhana, sebenarnya
pembahasan yang ada dalam ekonomi itu hanya mencakup dua hal :
1.
Bagaimana caranya agar kebutuhan
setiap orang dapat terpenuhi
2. Bagaimana membedakan apakah hal itu
benar-benar kebutuhan (needs) atau hanya sekedar keinginan (wants)
Dari dua persepsi diatas lah
kemudian muncul berbagai macam paradigma, teori, dan kajian. Pada akhirnya
melahirkan banyak sekali aliran dalam ilmu ekonomi.
Salah satu dari sekian banyak aliran
tersebut adalah ekonomi islam. Namun dalam hal ini, penulis tidak sepakat jika
menggunakan kata “aliran”. Karena secara fundamental ekonomi islam adalah
fitrah dan bukan aliran yang dibuat.
Artinya ilmu yang membahas ekonomi
dari perspektif islam telah ada sejak lama, namun belum banyak yang
mengkajinya. Masa depan ilmu ini ada ditangan generasi muda saat ini, yang
berperan sebagai pemegang tongkat estafet dan pilar agama, bangsa, dan negara.
Sebenarnya, ada begitu banyak
perbedaan yang vital dan fundamental antara ekonomi Islam dan yang lainnya
(konvensional). Namun dalam pembahasan kali ini, kita akan memfokuskan kepada
riba.
Bagaimana ekonomi konvensional
memperlakukan riba, dan bagaimana Islam menilainya?
Riba adalah tambahan yang diperoleh
dengan cara yang tidak diperbolehkan oleh syariat. Yaitu tambahan harta dalam
akad jual beli yang diperoleh dengan cara yang batil.
Di era yang serba digital dan modern
ini, ternyata banyak sekali praktik-praktik yang mengandung riba, khususnya
dalam ekonomi. Disinilah kemudian perlu adanya kajian ulang agar supaya setiap
kegiatan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan nilai-nilai islam
(halalan-thayyibah).
1. Dasar Hukum Riba
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut),
jika kamu orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 278)
Allah SWT juga berfirman: “Allah memusnahkan riba
dan menyuburkan sedekah. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah: 276)
Selain itu juga Allah SWT berfirman: “Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit jiwa (gila). Keadaan
mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. . . (Q.S. Al-Baqarah: 275)
Ayat-ayat diatas memberikan gambaran kepada kita tentang riba baik dari
segi larangan dan akibatnya. Maka dengan adanya ayat-ayat tersebut dalam Al
qur’an, semestinya kita harus menjauh dari segala sesuatu yang ada unsur riba
nya.
2. Jenis-Jenis Riba
Ada dua macam kategori riba, yaitu yang muncul akibat jual-beli dan pinjam
meminjam.
Jual beli pada dasarnya merupakan akad tukar menukar barang. Jika demikian,
maka riba akan muncul jika ada tambahan baik dari segi kuantitas dari barang
yang diperjualbelikan ataupun karena penyerahan pembayaran yang ditunda. Rasulullah
SAW bersabda: “Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak,
gandum ditukar dengan gandum, syair (jewawut, salah satu jenis gandum)
ditukar dengan syair, kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan
garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai).
Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang
yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada
dalam dosa.” (HR. Muslim)
Dari hadis diatas, ada dua ketentuan yang harus dipahami :
1.
Enam Komoditas diatas harus
ditukarkan dengan takaran (timbangan dan volume) yang sama. Artinya 6 gram emas
harus ditukar dengan 6 gram emas, jika kemudian 6 gram emas ditukar dengan 7
gram emas, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl karena ada
penambahan takaran
2.
Ketika melakukan pertukaran dengan 6
komoditas maka pembayarannya harus tunai dan tidak bisa non tunai (kredit).
Jika non tunai, maka inilah yang dinamakan riba nasiah, karena ada penambahan
tenggang waktu pembayaran
Selanjutnya, Riba terjadi dalam akad pinjam meminjam, artinya
terdapat manfaat tambahan atas utang piutang pihak yang bersangkutan. Misalnya
seorang meminjam kepada temannya sebesar satu juta, dengan persyaratan ketika
dikembalikan lebih besar dari sejuta, misalnya 1.500.000, maka tambahan sebesar
lima ratus ribu tersebut masuk kedalam kategori riba Qardh. Riba qardh
biasa dikenal dengan sistem bungan pinjaman di bank konvensional.
Kondisi yang kedua, jika kedua pihak yang berhutang dan memberikan piutang
sepakat jika pengembalian hutang lebih dari waktu yang disepakati maka pihak
yang berhutang harus membayar denda karena ada penambahan waktu. Ini dikenal
dengan riba Jahiliyah.
Demikianlah jeni-jenis riba yang bisa dianalisis dalam setiap praktik yang
berhubungan dengan ekonomi. Itulah sebabnya, ekonomi islam kemudian hadir dalam
rangka memberikan panduan, arahan, dan pengajaran akan bahaya riba.
3. Haramnya Bunga Bank
Berbicara tentang bunga bank memang sangat kompleks dan begitu luas
cakupannya. Saat ini dengan begitu banyaknya bank-bank konvensional, tak bisa
dipungkiri lagi bahwa metode yang digunakan dalam prosese pendanaan (funding)
dan pembiayaan (financing) adalah mengedepankan konsep bunga.
Lantas kemudian bagaimana perkembangan praktik bunga ini dan apa solusinya
jika kemudian secara keseluruhan bunga bank adalah haram?
Sebelumnya mari kita perhatikan beberapa pendapat dan konsep para ahli
maupun lembaga berikut:
1. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua
pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama
mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang
kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang
ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
2. Konsul
Kajian Islam
Ulama-ulama
besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas
terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas
keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank
konvensional.
Di antara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu
Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Dr. Yusuf
Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari
Amerika, Eropa dan dunia Islam.
Pendapat diatas belum terlalu jelas memberikan penggambaran akan tingkat
keharaman bunga bank. Karena masih terdapat perbedaan dalam penentuan
keharamannya. Mari kita lihat bagaiman lembaga yang bertanggung jawab atas
kepatuhan syariah dan hukum syariah di negara kita, yaitu Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Lihat beberapa fatwa MUI yang di antaranya fatwa MUI No. 1
Tahun 2004 tentang Bunga Bank.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar