Home » , » Riba

Riba

Written By agus on Rabu, 11 November 2015 | 20.12



Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I



Pada dasarnya, setiap kehidupan kita tidak akan pernah terlepas dengan unsur ekonomi. Ketika kita merasa lapar dan memutuskan untuk membeli makanan, juga saat kita melihat dimedia massa kenaikan harga  BBM dan bahan-bahan lainnya yang melambung tinggi, itulah ekonomi dari perspektif keseharian kita.
Setiap keputusan yang kita ambil akan menghasilkan konsekuensi, ini adalah gejala opportunity cost dalam ilmu ekonomi.
Secara sederhana, sebenarnya pembahasan yang ada dalam ekonomi itu hanya mencakup dua hal :
1.    Bagaimana caranya agar kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi
2. Bagaimana membedakan apakah hal itu benar-benar kebutuhan (needs) atau hanya sekedar keinginan (wants)
Dari dua persepsi diatas lah kemudian muncul berbagai macam paradigma, teori, dan kajian. Pada akhirnya melahirkan banyak sekali aliran dalam ilmu ekonomi.
Salah satu dari sekian banyak aliran tersebut adalah ekonomi islam. Namun dalam hal ini, penulis tidak sepakat jika menggunakan kata “aliran”. Karena secara fundamental ekonomi islam adalah fitrah dan bukan aliran yang dibuat.
Artinya ilmu yang membahas ekonomi dari perspektif islam telah ada sejak lama, namun belum banyak yang mengkajinya. Masa depan ilmu ini ada ditangan generasi muda saat ini, yang berperan sebagai pemegang tongkat estafet dan pilar agama, bangsa, dan negara.
Sebenarnya, ada begitu banyak perbedaan yang vital dan fundamental antara ekonomi Islam dan yang lainnya (konvensional). Namun dalam pembahasan kali ini, kita akan memfokuskan kepada riba.
Bagaimana ekonomi konvensional memperlakukan riba, dan bagaimana Islam menilainya?
Riba adalah tambahan yang diperoleh dengan cara yang tidak diperbolehkan oleh syariat. Yaitu tambahan harta dalam akad jual beli yang diperoleh dengan cara yang batil.
Di era yang serba digital dan modern ini, ternyata banyak sekali praktik-praktik yang mengandung riba, khususnya dalam ekonomi. Disinilah kemudian perlu adanya kajian ulang agar supaya setiap kegiatan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan nilai-nilai islam (halalan-thayyibah).
1. Dasar Hukum Riba
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 278)
Allah SWT juga berfirman: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah: 276)
Selain itu juga Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit jiwa (gila). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . . (Q.S. Al-Baqarah: 275)
Ayat-ayat diatas memberikan gambaran kepada kita tentang riba baik dari segi larangan dan akibatnya. Maka dengan adanya ayat-ayat tersebut dalam Al qur’an, semestinya kita harus menjauh dari segala sesuatu yang ada unsur riba nya.
2. Jenis-Jenis Riba
Ada dua macam kategori riba, yaitu yang muncul akibat jual-beli dan pinjam meminjam.
Jual beli pada dasarnya merupakan akad tukar menukar barang. Jika demikian, maka riba akan muncul jika ada tambahan baik dari segi kuantitas dari barang yang diperjualbelikan ataupun karena penyerahan pembayaran yang ditunda. Rasulullah SAW bersabda: “Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak,  gandum ditukar dengan gandum, syair (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan syair, kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim)
Dari hadis diatas, ada dua ketentuan yang harus dipahami :
1.        Enam Komoditas diatas harus ditukarkan dengan takaran (timbangan dan volume) yang sama. Artinya 6 gram emas harus ditukar dengan 6 gram emas, jika kemudian 6 gram emas ditukar dengan 7 gram emas, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl karena ada penambahan takaran
2.        Ketika melakukan pertukaran dengan 6 komoditas maka pembayarannya harus tunai dan tidak bisa non tunai (kredit). Jika non tunai, maka inilah yang dinamakan riba nasiah, karena ada penambahan tenggang waktu pembayaran
Selanjutnya, Riba terjadi dalam akad pinjam meminjam, artinya terdapat manfaat tambahan atas utang piutang pihak yang bersangkutan. Misalnya seorang meminjam kepada temannya sebesar satu juta, dengan persyaratan ketika dikembalikan lebih besar dari sejuta, misalnya 1.500.000, maka tambahan sebesar lima ratus ribu tersebut masuk kedalam kategori riba Qardh. Riba qardh biasa dikenal dengan sistem bungan pinjaman di bank konvensional.
Kondisi yang kedua, jika kedua pihak yang berhutang dan memberikan piutang sepakat jika pengembalian hutang lebih dari waktu yang disepakati maka pihak yang berhutang harus membayar denda karena ada penambahan waktu. Ini dikenal dengan riba Jahiliyah.
Demikianlah jeni-jenis riba yang bisa dianalisis dalam setiap praktik yang berhubungan dengan ekonomi. Itulah sebabnya, ekonomi islam kemudian hadir dalam rangka memberikan panduan, arahan, dan pengajaran akan bahaya riba.
3. Haramnya Bunga Bank
Berbicara tentang bunga bank memang sangat kompleks dan begitu luas cakupannya. Saat ini dengan begitu banyaknya bank-bank konvensional, tak bisa dipungkiri lagi bahwa metode yang digunakan dalam prosese pendanaan (funding) dan pembiayaan (financing) adalah mengedepankan konsep bunga.
Lantas kemudian bagaimana perkembangan praktik bunga ini dan apa solusinya jika kemudian secara keseluruhan bunga bank adalah haram?
Sebelumnya mari kita perhatikan beberapa pendapat dan konsep para ahli maupun lembaga berikut:
1. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
2. Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
Di antara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
Pendapat diatas belum terlalu jelas memberikan penggambaran akan tingkat keharaman bunga bank. Karena masih terdapat perbedaan dalam penentuan keharamannya. Mari kita lihat bagaiman lembaga yang bertanggung jawab atas kepatuhan syariah dan hukum syariah di negara kita, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lihat beberapa fatwa MUI yang di antaranya fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 tentang Bunga Bank.

Wallahu a’lam
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger