Home » , » PENERAPAN NEGARA HUKUM PADA MASA RASULULLAH SAW

PENERAPAN NEGARA HUKUM PADA MASA RASULULLAH SAW

Written By agus on Minggu, 01 November 2015 | 20.55

Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I

Pada tulisan sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa konsep Negara menurut pemikiran Ibnu Taimiyyah lebih dekat kepada konsep Negara hukum. Dalam kepustakaan, Negara hukum terdiri dari lima konsep, yaitu: Negara hukum menurut Al-Qur’an dan Sunnah (nomokrasi Islam), Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan dengan rechtsstaat. Model Negara hukum ini diterapkan misalnya di Belanda, Jerman, dan Perancis, konsep rule of law. Model Negara hukum ini diterapkan misalnya di Inggris dan Amerika Serikat, konsep socialist legality. Model Negara hukum ini diterapkan misalnya di Uni Soviet, konsep Negara hukum pancasila.
Nomokrasi Islam adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum seperti prinsip kekuasaan sebagai amanah, prinsip musyawarah, prinsip keadilan, dan prinsip persamaan.
Suatu miskonsepsi atau pemahaman yang tidak benar terhadap konsep Negara dari sudut Islam sampai sekarang masih berbekas pada persepsi orientalis. Mereka memahami konsep Negara dalam Islam hanya sebagai konsep teokrasi  (kekuasaan Tuhan).
Mereka mengacu pada konsep hakimiyyah (kekuasaan) yang disebarkan oleh Abu Al-A’la Al-Maududi (w. 1979 M) dan Sayyid Quthb (w. 1966 M) yang berpendapat bahwa hanya keputusan hanya semata kepunyaan Allah SWT dan bukan berada di tangan manusia. Alam semesta ini adalah milik Allah SWT, tidak seorang pun yang berkuasa atau ikut berkuasa atas alam ini.
Dalam catatan sejarah, kita dapat mengetahui bahwa Rasulullah SAW hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Setibanya Rasullah SAW ke Madinah, ada dua aktifitas yang beliau lakukan, yaitu mendirikan masjid dan city-state. Perilaku Rasulullah SAW tersebut pada permulaan periode Madinah itu membuktikan bahwa sejak semula Islam menyatukan dengan erat antara agama dengan Negara. Misalnya, Rasulullah SAW mengirimkan surat kepada para raja seperti raja Kisra di Persia, Kaisar di Romawi, raja Najsyi di Habasyah, Muqauqis di Mesir, dan lain-lain agar mereka bersedia untuk masuk Islam. Hal ini karena secara de facto dan de jure, pada masa Rasulullah SAW telah terbentuk sebuah Negara.
Sebagai seorang kepala Negara, untuk setiap keputusan yang ditetapkan, Rasulullah SAW selalu melakukan musyawarah dengan para sahabat. Sebagai seorang kepala Negara, beliau tidak pernah bersikap otoriter dalam menentukan sebuah keputusan. Misalnya ketika terjadi Madinah hendak diserang oleh orang-orang Quraisy dari Mekkah, beliau bersama para sahabat berunding bagaimana mengatur strategi dalam menghadapi musuh yang akan menyerang Madinah. Para sahabat berpendapat agar menghadapi musuh di luar kota Madinah, sedangkan Nabi Muhammad SAW sendiri lebih memilih supaya pasukan bertemu di Madinah. Setelah bermusyawarah, maka beliau memutuskan untuk mengahadapi musuh di luar Madinah yaitu di bukit Uhud. Namun, Abdullah bin Ubay bersama para pengikutnya menarik diri dan kembali ke Madinah. Dan dikarenakan sejumlah juru panah yang terpengaruh dengan harta rampasan, akhirnya umat Islam kalah. Tetapi Rasulullah SAW tidak menyesal karena keputusan itu telah diambil dari hasil musyawarah dan setiap anggota musyawarah berkewajiban untuk mengikuti hasilnya.
Dalam proses musyawarah yang diterapkan oleh Rasulullah SAW, setiap anggota/peserta berhak sepenuhnya mngemukakan pendapat dan pandangannya tentang sesuatu dalam sebuah permasalahan. Rasulullah SAW tidak pernah ersikap otoriter dan menganggap bahwa posisi dirinya lebih dominan dari para sahabat sebagai mitra dalam pengambilan sebuah keputusan yang sangat penting pada saat itu. Padahal dalam bisa saja Rasulullah SAW mempunyai kebijakan tersendiri dalam menentukan sebuah kebijakan tanpa campur tangan para sahabat. Namun, dalam bermusyawarah dengan para sahabat, beliau lebih menghargai perbedaan pendapat di kalangan mereka. Karena para sahabat berhak ikut andil dalam menentukan sebuah kebijakan.
Disinilah letak penerapan implementasi prinsip dalam sebuah Negara Islam. Perbedaan pendapat dalam musyawarah termasuk kritik (nasihat) dan saran terhadap kepala Negara dari sudut hukum Islam sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian.
Begitu pun pada saat akan terjadi perang Khandak, dimana ada dua puluh pemimpin dan pemuka Yahudi dari Bani Nadhir yang mendatangi suku Quraisy Mekkah agar mereka menyerang Rasulullah SAW dan berjanji akan membantu dan mendukungnya. Setelah mendengar hal tersebut, Rasulullah SAW mengadakan musyawarah untuk menampung rencana pertahanan di Madinah. Setelah bermusyawarah, Rasulullah SAW dan para sahabat sepakat untuk melaksanakan usulan yang disampaikan Salman Al-Farisi yaitu menggali parit yang mengelilingi Madinah.
Sejalan dengan hal tersebut, Implementasi prinsip keadilan pada zaman Rasulullah SAW dapat dilihat dalam sebuah peristiwa ketika seorang anak pembesar (kepala suku) bernama Fathimah binti Asad mencuri. Karena ia adalah anak seorang pembesar, maka orang-orang khawatir kalau ia sampai dihukum. Karena itu, ada sebagian perasaan kecenderungan agar tidak dilakukan hukuman hadd. Kemudian melalui Usamah bin Zaid, orang-orang meminta agar diberikan dispensasi kepada Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara. Namun, Rasulullah SAW bersabda, “Ya Usamah, apakah engkau akan member syafaat (untuk menggugurkan) salah satu hukum Allah? Sesungguhnya dulu Bani Israil itu binasa karena jika di kalangan mereka ada seorang yang berkedudukan dan berstatus sosial (kedudukan) tinggi mencuri dibiarkan (tidak dilakukan sanksin hukum baginya). Namun, apabila salah satu seorang yang berstatus rendah (rakyat jelata) mencuri, sanksi hukum secara tegas diterapkan baginya. Sungguh, demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di dalam genggaman-Nya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Perkataan Nabi Muhammad SAW kepada Usamah bin Zaid membuktikan bahwa dalam menegakkan hukum, Rasulullah SAW akan menegakkan keadilan tanpa melihat apakah ia seorang yang memiliki kedudukan tinggi ataukah ia seorang rakyat biasa. Siapa pun yang bersalah, hukuman harus tetap ditegakkan. Hal ini karena keadilan itu merupakan sikap yang paling dekat dengan takwa.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mâidah (5): 8)
Lebih lanjut tentang penerapan prinsip keadilan dan prinsip kebebasan pada masa Rasulullah SAW, itu dapat dilihat dalam konstitusi Madinah. Tentang keadilan, Konstitusi Madinah merumuskan bahwa seseorang tidaklah bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan sekutunya. Hal ini berarti kesalahan seseorang tidak menjadi tanggung jawab orang lain atau kelompoknya. Hukum sebelum Islam (Jahiliyah) di semenanjung Arab menganut prinsip tanggung jawab kesalahan anggota kelompok oleh seluruh anggota kelompok (suku). Prinsip ini tentu tidak adil. Karena itu, Rasulullah SAW sebagai kepala Negara mengganti prinsip tersebut dengan prinsip keadilan. Setiap kesalahan yang dilakukan seseorang menjadi tanggung jawab pribadinya dan bukan suku atau kelompoknya.
Jika ditinjau dari segi logika yang sehat, tentu prinsip keadilan yang dirumuskan oleh Rasulullah SAW dalam konstitusi Madinah itu sangat logis, sehingga hal itu diterima oleh semua warga Madinah. Dalam pasal yang lain pada Konstitusi Madinah dijumpai suatu rumusan berikut, “orang-orang Yahudi dari suku Aus diberi hak yang sama dengan anggota yang lain, dan mereka dihormati bila berusrusan dengan konstitusi ini. Rasulullah SAW telah menerapkan prinsip keadilan dan persamaan sesuai dengan kaidah-kaidah yang digariskan dalam Al-Qur’an. Beliau senantiasa menghindari sikap diskriminatif dalam melaksanakan fungsinya sebagai kepala Negara.
Adapun prinsip persamaan, hal tersebut sangat dekat kepada keadilan. Bagaimana Rasulullah SAW menerapkan pendidikan prinsip persamaan dapat diketahui juga dari kasus Fathimah binti Asad dan konstitusi Madinah. Rasulullah SAW tidak membedakan kedudukan para pelaku pidana, apakah ia seorang pemebesar atau rakyat jelata, mereka mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Egalitarianisme di dalam Islam bukan hanya sekedar kaidah dan rumusan saja, tetapi beliau telah menerapkan prinsip ini dalam kehidupannya.
Dalam prinsip ini juga tidak ada kelebihan seseorang atas orang lain kecuali taqwanya. Dalam hubungannya ini, Rasulullah SAW bersabda: Telah menceritakan kepada kami Isma’il, Telah menceritakan kepada kami Sa’id Al-Jurairi, Telah menceritakan kepada saya orang yang telah mendengar khutbah Rasulullah SAW di pertengahan hari tasyriq, bersabda Rasulullah SAW:Wahai Manusia, Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan sesungguhnya Bapak kalian juga satu (Adam AS), tidak ada keutamaan bagi Arab atas non Arab, non Arab atas Arab, kulit merah dengan kulit hitam, dan kulit hitam atas kulit merah kecuali taqwanya.” (H.R. Ahmad)
Sebagai implementasi dari prinsip persamaan dalam Islam, Rasulullah SAW memperlakukan Bilal yang berkulit hitam sama seperti para sahabat yang lain, bahkan beliau menjadikannya sebagai muadzin.
Prinsip persamaan juga berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di Negara Islam (kafir dzimmi), misalnya kedudukan orang-orang yahudi sebagai golongan minoritas di Negara Madinah yang mempunyai kedudukan hukum yang sama seperti warga negar yang lainnya yang beragama Islam. Rasulullah SAW sebagai kepala Negara Madinah tidak pernah melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Mereka memiliki kebebasan penuh, apakah akan tetap tinggal di Madinah ataukah akan pindah ke tempat yang lain.
Said Ramadhan Al-Buthi (w. 1434 H) sebagaimana ditulis oleh Muhammad Tahir Azhari berpendapat bahwa ada tiga hal dalam Konstitusi Madinah dalam hubungannya dengan persamaan, yaitu: Pertama, telah tercipta suatu kontelasi sosial-politik di Negara Madinah yang terdiri dari orang-orang Islam dan non-Islam (Yahudi). Kedua, kedudukan orang-orang Yahudi diatur dengan jelas dalam Konstitusi Madinah. Ketiga, adanya jaminan persamaan baik perlindungan maupun keamanan bagi orang-orang Islam maupun bagi orang-orang non-Islam.
Sebagai kepala Negara, Rasulullah SAW menjaga harta dan jiwa orang-orang non-Islam (kafir dzimmi). Namun, mereka berkewajiban untuk membayar pajak (jizyah) sebagai imbalan mereka mendapatkan perlindungan penuh dari Negara Islam. Oleh karena itu, jika dilihat dari sudut keadilan sosial, jizyah merupakan hal yang wajar, karena warga Negara muslim sudah membayar zakat.
Dari segi ini, dapat dinilai betapa tingginya makna prinsip keadilan sosial yang telah diterapkan oleh Rasulullah SAW sebagai kepala Negara ketika itu. Pada masa Rasulullah SAW prinsip keadilan sosial telah diterapkan secara konsekuen sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam, dimana penerapan prinsip tersebut tidak terbatas bagi warga Negara yang beragama Islam saja, tetapi bagi seluruh warga Negara tanpa membedakannya dengan yang lain.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada zaman Rasulullah SAW juga terdapat prinsip kebebasan, dimana dalam Negara Madinah terdapat orang-orang yang masih menganut agama-agama yang lain seperti Yahudi. Hal tersebut juga dapat dilihat dari Konstitusi Madinah dimana di dalamnya terdapat perjanjian antara orang-orang Islam dan non-Islam.
Sehingga, Negara Islam bukan hanya penduduknya untuk orang-orang yang beragama Islam saja tetapi juga terdapat orang-orang non-Islam atau yang disebut dengan kafir dzimmi dan musta’min.
Dari penjelasan itu juga dapat dikatakan bahwa Negara Islam adalah Negara yang cinta akan persatuan. Semua warga baik itu berbeda kulit ataupun berbeda agama, semua yang ada di wilayah Negara Islam di satukan dengan pemerintahan yang Islami.
Sejalan dengan hal tersebut, Rasulullah SAW membagi tugas-tugas kenegaraan seperti gubernur (wali), hakim (qadli), sekretaris (katib), dan pengelola zakat (amil), padahal beliau belum mengenal teori pemisahan kekuasaan.
Pada masa Rasulullah SAW Negara Madinah terdiri dari sejumlah propinsi seperti Madinah, Mekkah, Yaman, Najran, Hadramaut, Uman, dan Bahrain dimana pada setiap propinsi beliau menugaskan seseorang yang mempunyai kualifikasi tertentu sebagai wali, qadhi, dan amil. Misalnya Rasulullah SAW mengutus Badzan bin Sasan sebagai wali di Yaman, Muadz bin Jabal sebagai wali di Janad, Khalid bin Walid sebagai amil di Shun’a, dan lain-lain.
Rasulullah SAW sebagai kepala Negara telah menerapkan dengan baik prinsip-prinsip Islam dalam sebuah negara sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an. Hal tersebut dapat terlaksana jika adanya sikap yang baik antara pemimpin dan rakyatnya, misalnya Rasulullah SAW merupakan panutan secara pribadi dan senantiasa memberikan contoh kepada pengikutnya. Beliau tidak hanya sekedar berbicara atau menyampaikan suatu gagasan secara lisan, tetapi beliau terapkan dalam keseharian. Selain itu, beliau yang merupakan kepala Negara selalu mencerminkan sikap dan watak sebagai pemimpin yang demokrat dan berwibawa sesuai dengan moral atau akhlak Islam dan selalu mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau keluarga. Begitu juga gaya kepemimpinan beliau yang tidak seperti gaya kepemimpinan kepala-kepala Negara lainnya seperti Kaisar Romawi dan Persia yang berwatak feudal dan cenderung diktator. Gaya kepemimpinan beliau selalu memperhatikan prinsip-prinsip Islam seperti prinsip musyawarah dan prinsip keadilan.
Wallahu a'lam
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger