Pada tulisan
sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa konsep Negara menurut pemikiran
Ibnu Taimiyyah lebih dekat kepada konsep Negara hukum. Dalam kepustakaan,
Negara hukum terdiri dari lima konsep, yaitu: Negara hukum menurut Al-Qur’an
dan Sunnah (nomokrasi Islam), Negara
hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan dengan rechtsstaat.
Model Negara hukum ini diterapkan misalnya di Belanda, Jerman, dan Perancis, konsep rule of law.
Model Negara hukum ini diterapkan misalnya di Inggris dan Amerika Serikat, konsep socialist
legality. Model Negara hukum ini diterapkan misalnya di Uni Soviet, konsep Negara hukum
pancasila.
Nomokrasi Islam adalah suatu Negara hukum yang
memiliki prinsip-prinsip umum seperti prinsip kekuasaan sebagai amanah, prinsip
musyawarah, prinsip keadilan, dan prinsip persamaan.
Suatu miskonsepsi atau pemahaman yang tidak benar
terhadap konsep Negara dari sudut Islam sampai sekarang masih berbekas pada
persepsi orientalis. Mereka memahami konsep Negara dalam Islam hanya sebagai
konsep teokrasi (kekuasaan Tuhan).
Mereka mengacu pada konsep hakimiyyah (kekuasaan)
yang disebarkan oleh Abu Al-A’la Al-Maududi (w. 1979 M) dan Sayyid Quthb (w.
1966 M) yang berpendapat bahwa hanya keputusan hanya semata kepunyaan Allah SWT
dan bukan berada di tangan manusia. Alam semesta ini adalah milik Allah SWT,
tidak seorang pun yang berkuasa atau ikut berkuasa atas alam ini.
Dalam
catatan sejarah, kita dapat mengetahui bahwa Rasulullah SAW hijrah ke Madinah
pada tahun 622 M.
Setibanya Rasullah SAW ke Madinah, ada dua aktifitas yang beliau lakukan, yaitu
mendirikan masjid dan city-state.
Perilaku Rasulullah SAW tersebut pada permulaan periode Madinah itu membuktikan
bahwa sejak semula Islam menyatukan dengan erat antara agama dengan Negara.
Misalnya, Rasulullah SAW mengirimkan surat kepada para raja seperti raja Kisra
di Persia, Kaisar di Romawi, raja Najsyi di Habasyah, Muqauqis di Mesir, dan
lain-lain agar mereka bersedia untuk masuk Islam.
Hal ini karena secara de facto dan de jure, pada masa Rasulullah
SAW telah terbentuk sebuah Negara.
Sebagai
seorang kepala Negara, untuk setiap keputusan yang ditetapkan, Rasulullah SAW
selalu melakukan musyawarah dengan para sahabat. Sebagai seorang kepala Negara,
beliau tidak pernah bersikap otoriter dalam menentukan sebuah keputusan. Misalnya
ketika terjadi Madinah hendak diserang oleh orang-orang Quraisy dari Mekkah,
beliau bersama para sahabat berunding bagaimana mengatur strategi dalam
menghadapi musuh yang akan menyerang Madinah. Para sahabat berpendapat agar
menghadapi musuh di luar kota Madinah, sedangkan Nabi Muhammad SAW sendiri
lebih memilih supaya pasukan bertemu di Madinah.
Setelah bermusyawarah, maka beliau memutuskan untuk mengahadapi musuh di luar
Madinah yaitu di bukit Uhud. Namun, Abdullah bin Ubay bersama para pengikutnya
menarik diri dan kembali ke Madinah. Dan dikarenakan sejumlah juru panah yang
terpengaruh dengan harta rampasan, akhirnya umat Islam kalah. Tetapi Rasulullah
SAW tidak menyesal karena keputusan itu telah diambil dari hasil musyawarah dan
setiap anggota musyawarah berkewajiban untuk mengikuti hasilnya.
Dalam
proses musyawarah yang diterapkan oleh Rasulullah SAW, setiap anggota/peserta
berhak sepenuhnya mngemukakan pendapat dan pandangannya tentang sesuatu dalam
sebuah permasalahan. Rasulullah SAW tidak pernah ersikap otoriter dan
menganggap bahwa posisi dirinya lebih dominan dari para sahabat sebagai mitra
dalam pengambilan sebuah keputusan yang sangat penting pada saat itu. Padahal
dalam bisa saja Rasulullah SAW mempunyai kebijakan tersendiri dalam menentukan
sebuah kebijakan tanpa campur tangan para sahabat. Namun, dalam bermusyawarah dengan
para sahabat, beliau lebih menghargai perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Karena para sahabat berhak ikut andil dalam menentukan sebuah kebijakan.
Disinilah
letak penerapan implementasi prinsip dalam sebuah Negara Islam. Perbedaan
pendapat dalam musyawarah termasuk kritik (nasihat) dan saran terhadap kepala
Negara dari sudut hukum Islam sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian.
Begitu
pun pada saat akan terjadi perang Khandak, dimana ada dua puluh pemimpin dan
pemuka Yahudi dari Bani Nadhir yang mendatangi suku Quraisy Mekkah agar mereka
menyerang Rasulullah SAW dan berjanji akan membantu dan mendukungnya. Setelah
mendengar hal tersebut, Rasulullah SAW mengadakan musyawarah untuk menampung
rencana pertahanan di Madinah. Setelah bermusyawarah, Rasulullah SAW dan para
sahabat sepakat untuk melaksanakan usulan yang disampaikan Salman Al-Farisi
yaitu menggali parit yang mengelilingi Madinah.
Sejalan
dengan hal tersebut, Implementasi prinsip keadilan pada zaman Rasulullah SAW
dapat dilihat dalam sebuah peristiwa ketika seorang anak pembesar (kepala suku)
bernama Fathimah binti Asad mencuri. Karena ia adalah anak seorang pembesar,
maka orang-orang khawatir kalau ia sampai dihukum. Karena itu, ada sebagian
perasaan kecenderungan agar tidak dilakukan hukuman hadd. Kemudian
melalui Usamah bin Zaid, orang-orang meminta agar diberikan dispensasi kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara. Namun, Rasulullah SAW bersabda, “Ya
Usamah, apakah engkau akan member syafaat (untuk menggugurkan) salah satu hukum
Allah? Sesungguhnya dulu Bani Israil itu binasa karena jika di kalangan mereka
ada seorang yang berkedudukan dan berstatus sosial (kedudukan) tinggi mencuri
dibiarkan (tidak dilakukan sanksin hukum baginya). Namun, apabila salah satu
seorang yang berstatus rendah (rakyat jelata) mencuri, sanksi hukum secara
tegas diterapkan baginya. Sungguh, demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di dalam
genggaman-Nya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri
yang akan memotong tangannya.”
Perkataan
Nabi Muhammad SAW kepada Usamah bin Zaid membuktikan bahwa dalam menegakkan
hukum, Rasulullah SAW akan menegakkan keadilan tanpa melihat apakah ia seorang
yang memiliki kedudukan tinggi ataukah ia seorang rakyat biasa. Siapa pun yang
bersalah, hukuman harus tetap ditegakkan. Hal ini karena keadilan itu merupakan
sikap yang paling dekat dengan takwa.
Allah
SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Al-Mâidah (5): 8)
Lebih
lanjut tentang penerapan prinsip keadilan dan prinsip kebebasan pada masa
Rasulullah SAW, itu dapat dilihat dalam konstitusi Madinah. Tentang
keadilan, Konstitusi Madinah merumuskan bahwa seseorang tidaklah bertanggung
jawab atas kesalahan yang dilakukan sekutunya.
Hal ini berarti kesalahan seseorang tidak menjadi tanggung jawab orang lain
atau kelompoknya. Hukum sebelum Islam (Jahiliyah) di semenanjung Arab menganut
prinsip tanggung jawab kesalahan anggota kelompok oleh seluruh anggota kelompok
(suku). Prinsip ini tentu tidak adil. Karena itu, Rasulullah SAW sebagai kepala
Negara mengganti prinsip tersebut dengan prinsip keadilan. Setiap kesalahan
yang dilakukan seseorang menjadi tanggung jawab pribadinya dan bukan suku atau
kelompoknya.
Jika
ditinjau dari segi logika yang sehat, tentu prinsip keadilan yang dirumuskan
oleh Rasulullah SAW dalam konstitusi Madinah itu sangat logis, sehingga hal itu
diterima oleh semua warga Madinah. Dalam pasal yang lain pada Konstitusi
Madinah dijumpai suatu rumusan berikut, “orang-orang Yahudi dari suku Aus
diberi hak yang sama dengan anggota yang lain, dan mereka dihormati bila
berusrusan dengan konstitusi ini.
Rasulullah SAW telah menerapkan prinsip keadilan dan persamaan sesuai dengan
kaidah-kaidah yang digariskan dalam Al-Qur’an. Beliau senantiasa menghindari
sikap diskriminatif dalam melaksanakan fungsinya sebagai kepala Negara.
Adapun
prinsip persamaan, hal tersebut sangat dekat kepada keadilan. Bagaimana
Rasulullah SAW menerapkan pendidikan prinsip persamaan dapat diketahui juga
dari kasus Fathimah binti Asad dan konstitusi Madinah. Rasulullah SAW tidak membedakan
kedudukan para pelaku pidana, apakah ia seorang pemebesar atau rakyat jelata,
mereka mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Egalitarianisme di dalam
Islam bukan hanya sekedar kaidah dan rumusan saja, tetapi beliau telah
menerapkan prinsip ini dalam kehidupannya.
Dalam
prinsip ini juga tidak ada kelebihan seseorang atas orang lain kecuali
taqwanya. Dalam hubungannya ini, Rasulullah SAW bersabda: “Telah menceritakan
kepada kami Isma’il, Telah menceritakan kepada kami Sa’id Al-Jurairi, Telah
menceritakan kepada saya orang yang telah mendengar khutbah Rasulullah SAW di
pertengahan hari tasyriq, bersabda Rasulullah SAW: “Wahai Manusia, Ketahuilah,
sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan sesungguhnya Bapak kalian juga satu
(Adam AS), tidak ada keutamaan bagi Arab atas non Arab, non Arab atas Arab,
kulit merah dengan kulit hitam, dan kulit hitam atas kulit merah kecuali
taqwanya.” (H.R. Ahmad)
Sebagai
implementasi dari prinsip persamaan dalam Islam, Rasulullah SAW memperlakukan
Bilal yang berkulit hitam sama seperti para sahabat yang lain, bahkan beliau
menjadikannya sebagai muadzin.
Prinsip
persamaan juga berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di Negara Islam (kafir
dzimmi), misalnya kedudukan orang-orang yahudi sebagai golongan minoritas
di Negara Madinah yang mempunyai kedudukan hukum yang sama seperti warga negar
yang lainnya yang beragama Islam. Rasulullah SAW sebagai kepala Negara Madinah
tidak pernah melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Mereka
memiliki kebebasan penuh, apakah akan tetap tinggal di Madinah ataukah akan
pindah ke tempat yang lain.
Said
Ramadhan Al-Buthi (w. 1434 H) sebagaimana ditulis oleh Muhammad Tahir Azhari berpendapat
bahwa ada tiga hal dalam Konstitusi Madinah dalam hubungannya dengan persamaan,
yaitu: Pertama, telah tercipta suatu kontelasi sosial-politik di Negara
Madinah yang terdiri dari orang-orang Islam dan non-Islam (Yahudi). Kedua,
kedudukan orang-orang Yahudi diatur dengan jelas dalam Konstitusi Madinah. Ketiga,
adanya jaminan persamaan baik perlindungan maupun keamanan bagi orang-orang
Islam maupun bagi orang-orang non-Islam.
Sebagai
kepala Negara, Rasulullah SAW menjaga harta dan jiwa orang-orang non-Islam (kafir
dzimmi). Namun, mereka berkewajiban untuk membayar pajak (jizyah)
sebagai imbalan mereka mendapatkan perlindungan penuh dari Negara Islam. Oleh
karena itu, jika dilihat dari sudut keadilan sosial, jizyah merupakan
hal yang wajar, karena warga Negara muslim sudah membayar zakat.
Dari
segi ini, dapat dinilai betapa tingginya makna prinsip keadilan sosial yang
telah diterapkan oleh Rasulullah SAW sebagai kepala Negara ketika itu. Pada
masa Rasulullah SAW prinsip keadilan sosial telah diterapkan secara konsekuen
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam, dimana penerapan prinsip
tersebut tidak terbatas bagi warga Negara yang beragama Islam saja, tetapi bagi
seluruh warga Negara tanpa membedakannya dengan yang lain.
Dari
penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada zaman Rasulullah SAW juga
terdapat prinsip kebebasan, dimana dalam Negara Madinah terdapat orang-orang
yang masih menganut agama-agama yang lain seperti Yahudi. Hal tersebut juga
dapat dilihat dari Konstitusi Madinah dimana di dalamnya terdapat perjanjian
antara orang-orang Islam dan non-Islam.
Sehingga,
Negara Islam bukan hanya penduduknya untuk orang-orang yang beragama Islam saja
tetapi juga terdapat orang-orang non-Islam atau yang disebut dengan kafir dzimmi
dan musta’min.
Dari
penjelasan itu juga dapat dikatakan bahwa Negara Islam adalah Negara yang cinta
akan persatuan. Semua warga baik itu berbeda kulit ataupun berbeda agama, semua
yang ada di wilayah Negara Islam di satukan dengan pemerintahan yang Islami.
Sejalan
dengan hal tersebut, Rasulullah SAW membagi tugas-tugas kenegaraan seperti
gubernur (wali), hakim (qadli), sekretaris (katib), dan
pengelola zakat (amil), padahal beliau belum mengenal teori pemisahan
kekuasaan.
Pada
masa Rasulullah SAW Negara Madinah terdiri dari sejumlah propinsi seperti
Madinah, Mekkah, Yaman, Najran, Hadramaut, Uman, dan Bahrain dimana pada setiap
propinsi beliau menugaskan seseorang yang mempunyai kualifikasi tertentu
sebagai wali, qadhi, dan amil. Misalnya Rasulullah SAW
mengutus Badzan bin Sasan sebagai wali di Yaman, Muadz bin Jabal sebagai
wali di Janad, Khalid bin Walid sebagai amil di Shun’a, dan
lain-lain.
Rasulullah
SAW sebagai kepala Negara telah menerapkan dengan baik prinsip-prinsip Islam
dalam sebuah negara sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an. Hal tersebut dapat
terlaksana jika adanya sikap yang baik antara pemimpin dan rakyatnya, misalnya
Rasulullah SAW merupakan panutan secara pribadi dan senantiasa memberikan
contoh kepada pengikutnya. Beliau tidak hanya sekedar berbicara atau
menyampaikan suatu gagasan secara lisan, tetapi beliau terapkan dalam keseharian. Selain itu, beliau
yang merupakan kepala Negara selalu mencerminkan sikap dan watak sebagai
pemimpin yang demokrat dan berwibawa sesuai dengan moral atau akhlak Islam dan
selalu mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau keluarga.
Begitu juga gaya kepemimpinan beliau yang tidak seperti gaya kepemimpinan
kepala-kepala Negara lainnya seperti Kaisar Romawi dan Persia yang berwatak
feudal dan cenderung diktator. Gaya kepemimpinan beliau selalu memperhatikan
prinsip-prinsip Islam seperti prinsip musyawarah dan prinsip keadilan.
Wallahu a'lam
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar