Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.
Dalam berinteraksi, seorang muslim tentunya
harus memperhatikan prinsip-prinsipnya, di antara prinsip-prinsip interaksi
tersebut adalah prinsip
"tidak ada paksaan dalam beragama".
Dalam syariat Islam
kebebasan beragama untuk setiap manusia itu tidak berarti tidak adanya upaya
pemaksaan atau segala macam bentuk paksaan untuk mengubah agama atau keyakinan
seseorang. Pemaksaan kepada seseorang biasanya
akan membuat orang tersebut kembali memeluk agamanya dahulu. Selain
itu, larangan memaksa beragama dalam Islam antara lain dikarenakan
jalan hidayah dan sebab tergeraknya
hati seseorang dalam
memeluk Islam ada di bawah kekuasaan Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah/2: 256).
Dalam ayat di atas secara gamblang dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam
menganut keyakinan agama; Allah SWT menghendaki agar setiap orang merasakan
kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa
tidak damai. Sedangkan, paksaan
menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu dalam Islam tidak ada suatu pemaksaan dalam menganut
akidah agama Islam ini. Konsideran yang dijelaskan ayat tersebut adalah Islam merupakan agama yang jelas
dan lurus.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr ath-Thabariy dari Ibnu ‘Abbâs
radhiyallahu’anhu dia berkata: firman Allah Swt “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam)”, turun kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar
yang berasal dari Bani Salim bin ‘Auf yang bernama al-Hushain. Dia
mempunyai dua orang anak yang keduanya beragama Nasrani, sedangkan dia sendiri
adalah seorang
muslim. Maka dia pun mengadu kepada Nabi Saw: “Apakah saya perlu memaksa mereka
berdua untuk masuk Islam karena mereka tetap ingin memeluk agama Nasrani?” Maka
Allah Swt menurunkan firmanNya dalam surat al-Baqarah (2) ayat 256.
Dalam riwayat lain, Abû Dawud, an-Nasâ’i dan Ibnu Hibbân meriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas dia berkata: “Ada seorang wanita yang setiap kali melahirkan
anaknya selalu meninggal. Lalu dia bernazar jika
anaknya hidup, maka dia akan menjadikannya seoarng Yahudi. Ketika Bani Nadhir
diusir dari Madinah, di antara mereka terdapat anak-anak orang Ansar. Maka mereka pun berkata: “Kita tidak
bisa membiarkan anak-anak kita.”, maka turunlah firman Allah Swt “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam)” (al-Baqarah/2: 256)”
Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan bersamaan waktunya
dengan pengusiran kaum Yahudi Bani Nadhir, kaum yang diusir dari Madinah
sesudah Bani Qainuqa’.
Dalam tafsir al-Munîr, Wahbah
Zuhailiy memberi tema untuk ayat di atas dengan: “الهادى
إلى الإيمان منع
الإكراه على الدين و الله هو” yaitu larangan
memaksa untuk memeluk agama dan Allah yang member petunjuk kepada keimanan. Dari tema
tersebut terlihat bahwa dalam mengajak kepada keimanan tidak boleh ada unsur
pemaksaan.
“Lâ
ikrâha fî ad-dîn”, Wahbah Zuhailiy menafsirkan bahwa untuk memeluk suatu
agama harus tidak disertai paksaan. Setiap
individu dilarang memaksa seseorang untuk
memeluk agama Islam, karena nilai-nilai keimanan tidak akan tampak dengan
adanya pemaksaan. Iman akan lahir dari ketulusan hati yang di dalamnya tidak
mengandung paksaan sedikit pun.
Ayat 256 surat al-Baqarah (2) tersebut “hanya berkaitan dengan tidak ada
paksaan untuk memilih agama Islam atau
agama lainnya.” Dan “agama pilihan adalah satu paket,” dalam arti setelah
seseorang memilih satu agama, dia akan terikat oleh keseluruhan ajaran agama
yang dipilihnya.
Nabi Muhammad Saw tidak pernah memaksa rakyat untuk mengubah agama. Beliau
hanya mendakwahkan Islam. Soal konversi ke agama Islam, tergantung kepada kesadaran
mereka masing-masing.
Tentang larangan paksaan dalam beragama ini, dalam ayat lain Allah SWT juga
menegaskan: “dan katakanlah: “Kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan
jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti
besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk
dan tempat istirahat yang paling jelek.”
(al-Kahfi/18: 29).
Ayat di atas bukanlah bermakna suatu pilihan, namun ayat tersebut memiliki
makna ancaman dan ultimatum (tahdîd) kepada orang yang telah memeluk
Islam untuk tidak meninggalkannya. Ayat tersebut
juga memotivasi orang yang telah masuk Islam untuk memegangnya dengan teguh dan
tidak meninggalkannya.
Ayat
senada juga terdapat dalam surat Yunus (10) ayat 99 dan 100 sebagai berikut:
“(99) dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang
di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (100) dan tidak ada
seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (Yunus/10:
99-100).
Wahbah
Zuhailiy menafsirkan bahwa pemaksaan untuk memeluk dan masuk ke dalam agama
Islam adalah suatu larangan.
Wahbah Zuhailiy juga menjelaskan bahwa keimanan tidak akan sempurna bila
diiringi dengan suatu paksaan. Kesempurnaan iman akan datang dari ketaatan seorang hamba dan dengan
pilihan yang tulus dari manusia itu sendiri.
Keimanan
juga tidak akan ada dalam jiwa manusia kecuali atas kehendak dan hidayahNya.
Allah Swt akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki dengan hikmah,
pengetahuan dan keadilanNya.
Ayat
di atas secara tegas juga mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan beriman
atau tidak beriman. Kebebasan tersebut bukanlah bersumber dari kekuatan manusia
melainkan anugerah Allah Swt, karena jika Allah Swt menghendaki tentulah akan
beriman semua manusia yang berada di muka bumi ini. Ini dapat dilakukanNya
antara lain dengan mencabut kemampuan manusia memilih dan menghiasi jiwa mereka
hanya dengan potensi positif saja, tanpa nafsu dan dorongan negatif seperti
halnya malaikat. Tetapi hal itu tidak dilakukanNya, karena tujuan utama manusia
diciptakan dengan diberi kebebasan di antaranya adalah untuk munguji. Allah Swt
menganugerahkan manusia potensi akal agar manusia menggunakannya untuk memilih.
Dalam
sejarahnya, sikap tidak memaksa dalam beragama ini telah ada sejak dulu dan juga
telah dicontohkan Nabi Saw kepada
orang-orang Nasrani ketika beliau sudah tinggal di Madinah. Saat
itu Nabi Saw didatangi oleh serombongan orang-orang Nasrani Najran yang
berjumlah enam puluh orang. Najran adalah suatu wilayah yang berdekatan dengan
Yaman. Mereka dipimpin oleh pendeta Abu al-Haritsah bin ‘Alqamah. Mereka masuk
masjid untuk menemui Nabi Saw, di mana saat itu Nabi Saw sedang bersiap untuk
melaksanakan salat ‘Ashar bersama para sahabat. melihat hal tersebut rombongan
Nasrani itu juga ingin melaksanakan kebaktian di masjid dan menghadap ke arah
timur. Melihat gelagat tersebut, para sahabat hendak melarang mereka. Namun
Nabi Saw memberi isyarat untuk membiarkan mereka melakukan kebaktian di masjid.
Setelah itu mereka berdiskusi bersama Nabi Saw tentang masalah keimanan dan
akhirnya mereka pulang tanpa ada satu pun dari anggota rombongan tersebut yang
masuk Islam. Meski demikian, Nabi Saw tidak memaksa mereka untuk memeluk agama
Islam.
Adanya
larangan pemaksaan dalam memeluk agama ini karena keyakinan beragama adalah
merupakan hak khusus masing-masing, serta merupakan daerah pribadi (privacy)
antara seseorang dengan Tuhannya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang
boleh memaksakan akidah dan keyakinannya kepada orang lain atau mengubah
keyakinannya atas nama apa pun dan dalam kondisi apa pun.
Dengan
alasan di atas dapat disimpulkan bahwa segala bentuk pemaksaan terhadap manusia
untuk memilih suatu agama tidak dibenarkan
oleh Al-Qur’an. Karena yang dikehendaki oleh Allah Swt adalah iman yang tulus
tanpa pamrih dan paksaan. Seandainya paksaan itu diperbolehkan, maka Allah Swt
sendiri yang akan melakukan, dan seperti dijelaskan dalam ayat di atas bahwa Allah Swt tidak melakukannya.
Prinsip-prinsip yang lain, insya Allah akan disampaikan pada tulisan berikutnya.
Prinsip-prinsip yang lain, insya Allah akan disampaikan pada tulisan berikutnya.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar