Home » , » Interaksi Sosial Muslim dan Non-Muslim (Prinsip ke-1)

Interaksi Sosial Muslim dan Non-Muslim (Prinsip ke-1)

Written By agus on Selasa, 10 November 2015 | 18.50




Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.

Dalam berinteraksi, seorang muslim tentunya harus memperhatikan prinsip-prinsipnya, di antara prinsip-prinsip interaksi tersebut adalah prinsip "tidak ada paksaan dalam beragama".
Dalam syariat Islam kebebasan beragama untuk setiap manusia itu tidak berarti tidak adanya upaya pemaksaan atau segala macam bentuk paksaan untuk mengubah agama atau keyakinan seseorang. Pemaksaan kepada seseorang biasanya akan membuat orang tersebut kembali memeluk agamanya dahulu. Selain itu, larangan memaksa beragama dalam Islam antara lain dikarenakan jalan hidayah dan sebab tergeraknya hati seseorang dalam memeluk Islam ada di bawah kekuasaan Allah SWT.
Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah/2: 256).
Dalam ayat di atas secara gamblang dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama; Allah SWT menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Sedangkan, paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu dalam Islam tidak ada suatu pemaksaan dalam menganut akidah agama Islam ini. Konsideran yang dijelaskan ayat tersebut adalah Islam merupakan agama yang jelas dan lurus.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr ath-Thabariy dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallahu’anhu dia berkata: firman Allah Swt “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”, turun kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang berasal dari Bani Salim bin ‘Auf yang bernama al-Hushain. Dia mempunyai dua orang anak yang keduanya beragama Nasrani, sedangkan dia sendiri adalah seorang muslim. Maka dia pun mengadu kepada Nabi Saw: “Apakah saya perlu memaksa mereka berdua untuk masuk Islam karena mereka tetap ingin memeluk agama Nasrani?” Maka Allah Swt menurunkan firmanNya dalam surat al-Baqarah (2) ayat 256.  
Dalam riwayat lain, Abû Dawud, an-Nasâ’i dan Ibnu Hibbân meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dia berkata: “Ada seorang wanita yang setiap kali melahirkan anaknya selalu meninggal. Lalu dia bernazar jika anaknya hidup, maka dia akan menjadikannya seoarng Yahudi. Ketika Bani Nadhir diusir dari Madinah, di antara mereka terdapat anak-anak orang  Ansar. Maka mereka pun berkata: “Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita.”, maka turunlah firman Allah Swt  Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (al-Baqarah/2: 256)”
Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan bersamaan waktunya dengan pengusiran kaum Yahudi Bani Nadhir, kaum yang diusir dari Madinah sesudah Bani Qainuqa’.
Dalam tafsir al-Munîr, Wahbah Zuhailiy memberi tema untuk ayat di atas dengan: “الهادى إلى الإيمان منع الإكراه على الدين و الله هو” yaitu larangan memaksa untuk memeluk agama dan Allah yang member petunjuk kepada keimanan.  Dari tema tersebut terlihat bahwa dalam mengajak kepada keimanan tidak boleh ada unsur pemaksaan.
Lâ ikrâha fî ad-dîn”, Wahbah Zuhailiy menafsirkan bahwa untuk memeluk suatu agama harus tidak disertai paksaan. Setiap individu dilarang memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam, karena nilai-nilai keimanan tidak akan tampak dengan adanya pemaksaan. Iman akan lahir dari ketulusan hati yang di dalamnya tidak mengandung paksaan sedikit pun.
Ayat 256 surat al-Baqarah (2) tersebut “hanya berkaitan dengan tidak ada paksaan  untuk memilih agama Islam atau agama lainnya.” Dan “agama pilihan adalah satu paket,” dalam arti setelah seseorang memilih satu agama, dia akan terikat oleh keseluruhan ajaran agama yang dipilihnya.
Nabi Muhammad Saw tidak pernah memaksa rakyat untuk mengubah agama. Beliau hanya mendakwahkan Islam. Soal konversi ke agama Islam, tergantung kepada kesadaran mereka masing-masing.
Tentang larangan paksaan dalam beragama ini, dalam ayat lain Allah SWT juga menegaskan: “dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (al-Kahfi/18: 29).
Ayat di atas bukanlah bermakna suatu pilihan, namun ayat tersebut memiliki makna ancaman dan ultimatum (tahdîd) kepada orang yang telah memeluk Islam untuk tidak meninggalkannya. Ayat tersebut juga memotivasi orang yang telah masuk Islam untuk memegangnya dengan teguh dan tidak meninggalkannya.
Ayat senada juga terdapat dalam surat Yunus (10) ayat 99 dan 100 sebagai berikut:(99) dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (100) dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (Yunus/10: 99-100).
Wahbah Zuhailiy menafsirkan bahwa pemaksaan untuk memeluk dan masuk ke dalam agama Islam adalah suatu larangan. Wahbah Zuhailiy juga menjelaskan bahwa keimanan tidak akan sempurna bila diiringi dengan suatu paksaan. Kesempurnaan iman akan datang dari ketaatan seorang hamba dan dengan pilihan yang tulus dari manusia itu sendiri.
Keimanan juga tidak akan ada dalam jiwa manusia kecuali atas kehendak dan hidayahNya. Allah Swt akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki dengan hikmah, pengetahuan dan keadilanNya.
Ayat di atas secara tegas juga mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan beriman atau tidak beriman. Kebebasan tersebut bukanlah bersumber dari kekuatan manusia melainkan anugerah Allah Swt, karena jika Allah Swt menghendaki tentulah akan beriman semua manusia yang berada di muka bumi ini. Ini dapat dilakukanNya antara lain dengan mencabut kemampuan manusia memilih dan menghiasi jiwa mereka hanya dengan potensi positif saja, tanpa nafsu dan dorongan negatif seperti halnya malaikat. Tetapi hal itu tidak dilakukanNya, karena tujuan utama manusia diciptakan dengan diberi kebebasan di antaranya adalah untuk munguji. Allah Swt menganugerahkan manusia potensi akal agar manusia menggunakannya untuk memilih.
Dalam sejarahnya, sikap tidak memaksa dalam beragama ini telah ada sejak dulu dan juga telah dicontohkan  Nabi Saw kepada orang-orang Nasrani ketika beliau sudah tinggal di Madinah. Saat itu Nabi Saw didatangi oleh serombongan orang-orang Nasrani Najran yang berjumlah enam puluh orang. Najran adalah suatu wilayah yang berdekatan dengan Yaman. Mereka dipimpin oleh pendeta Abu al-Haritsah bin ‘Alqamah. Mereka masuk masjid untuk menemui Nabi Saw, di mana saat itu Nabi Saw sedang bersiap untuk melaksanakan salat ‘Ashar bersama para sahabat. melihat hal tersebut rombongan Nasrani itu juga ingin melaksanakan kebaktian di masjid dan menghadap ke arah timur. Melihat gelagat tersebut, para sahabat hendak melarang mereka. Namun Nabi Saw memberi isyarat untuk membiarkan mereka melakukan kebaktian di masjid. Setelah itu mereka berdiskusi bersama Nabi Saw tentang masalah keimanan dan akhirnya mereka pulang tanpa ada satu pun dari anggota rombongan tersebut yang masuk Islam. Meski demikian, Nabi Saw tidak memaksa mereka untuk memeluk agama Islam.
Adanya larangan pemaksaan dalam memeluk agama ini karena keyakinan beragama adalah merupakan hak khusus masing-masing, serta merupakan daerah pribadi (privacy) antara seseorang dengan Tuhannya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang boleh memaksakan akidah dan keyakinannya kepada orang lain atau mengubah keyakinannya atas nama apa pun dan dalam kondisi apa pun.
Dengan alasan di atas dapat disimpulkan bahwa segala bentuk pemaksaan terhadap manusia untuk memilih suatu agama tidak dibenarkan oleh Al-Qur’an. Karena yang dikehendaki oleh Allah Swt adalah iman yang tulus tanpa pamrih dan paksaan. Seandainya paksaan itu diperbolehkan, maka Allah Swt sendiri yang akan melakukan, dan seperti dijelaskan dalam ayat di atas bahwa Allah Swt tidak melakukannya.
Prinsip-prinsip yang lain, insya Allah akan disampaikan pada tulisan berikutnya.
Wallahu a'lam
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger