Home » , » Interaksi Sosial Muslim dan Non-Muslim (Prinsip ke-2)

Interaksi Sosial Muslim dan Non-Muslim (Prinsip ke-2)

Written By agus on Selasa, 10 November 2015 | 19.03




Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.

Pada Tulisan sebelumnya, telah disebutkan bahwa di antara prinsip interaksi sosial muslim dan non-muslim adalah “tidak ada paksaan”. Dalam tulisan kali ini, akan dibahas tentang prinsip ke dua, yaitu prinsip “toleransi antar umat beragama”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “toleransi” ini diartikan dengan bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Setiap agama yang ada di dunia ini, baik agama wahyu (revealed religion) maupun agama yang bersumber dari adat kemudian dikokohkan oleh para pemimpinnya (natural religion), masing-masing memiliki keyakinan dan tata nilai yang dianggap benar oleh para pemeluknya. Mengubah keyakinan, tidak sama dengan mengubah baju berdasarkan selera, karena ia merupakan sesuatu yang fundamental.
Islam meyakini bahwa kebenaran yang bersumber dari Tuhan berlaku sepanjang zaman, sedang yang bersumber dari manusia hanya bersifat sementara dan suatu saat akan berubah. Meskipun demikian pemeluk agama Islam diperintahkan untuk menghormati keyakinan orang lain, sepanjang mereka tidak mengganggu serta tidak memaksakan keyakinannya.
Islam adalah agama yang penuh toleransi, fleksibel dan moderat. Islam bukanlah agama yang mempunyai pandangan yang sempit. Toleransi yang dimaksud di sini adalah toleransi yang positif, yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam bentuk tekanan atau pengaruh apa pun.
Islam memang menunjukkan sikap toleran terhadap agama lain. Sikap toleransi yang luar biasa  telah ditunjukkan Rasulullah SAW terhadap mantan musuh yang dahulunya memperlakukan Nabi Saw secara tidak manusiawi, juga menjadi bukti sejarah atas komitmen untuk tetap dalam koridor prinsip toleransi yang ditetapkan Al-Qur’an. Ketika kota Mekah ditaklukkan dan Rasulullah SAW memasuki kota tersebut, sebagai pemimpin yang menang dalam peperangan, Nabi Saw bertanya kepada kaum Quraisy: “Kira-kira tindakan apa yang akan aku lakukan kepada kalian?” Mereka menjawab: “Kebaikan, saudara kami atau anak saudara kami.” Rasulullah Saw bersabda: “Silahkan pergi, kalian bebas. Kesalahan kalian dimaafkan. Mudah-mudahan Allah Swt memberi ampunan bagi kalian, karena Dia Maha Pengampun.”
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya. Tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah Zuhailiy memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Qur’an dan hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang  tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syariat ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya.
Toleransi dalam pegaulan hidup antar umat beragama, yang didasarkan kepada; setiap agama menjadi tanggung jawab pemeluk agama itu sendiri dan mempunyai bentuk ibadah (ritual) dengan sistem dan cara tersendiri yang dibebankan serta menjadi tanggungjawab pemeluknya, atas dasar itu maka toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antar orang yang tidak seagama adalah dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.
Dalam mewujudkan kemaslahatan umum, Islam telah menggariskan dua pola dasar hubungan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu hubungan vertikal, yaitu hubungan pribadi dengan Tuhannya yang direalisasikan dalam bentuk ibadah sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. Hubungan ini dilaksanakan secara individual, tetapi lebih diutamakan secara kolektif atau jamaah. Pada hubungan pertama ini toleransi dalam Islam hanya terbatas dalam lingkungan atau intern suatu agama saja; dan hubungan horizontal, yaitu hubungan antara manusia dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak hanya terbatas pada lingkungan Islam saja, tetapi berlaku juga kepada orang non muslim, yaitu dalam bentuk kerjasama dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum. Dan bila pergaulan antar umat beragama berlangsung dengan baik, berarti setiap umat beragama telah memelihara eksistensi agamanya masing-masing, karena ibadah dalam pengertian luas tidak hanya terbatas pada hubungan antar manusia dengan Tuhannya, namun juga meliputi segala ucapan, perbuatan dan tindakan yang bernilai baik yang dilakukan sesamanya.
Dalam kaitan toleransi, Al-Qur’an telah memberikan kode etik dalam berinteraksi antar pemeluk agama. Beberapa kode etik tersebut antara lain:
1.         Tidak Bertoleransi dalam Hal Akidah
Dalam hubungan bermasyarakat Al-Qur’an sangat menganjurkan agar umat Islam menjalin hubungan tidak hanya dengan sesama muslim melainkan dengan warga masyarakat yang non muslim. Namun toleransi tersebut bukan dalam hal akidah. Hal ini secara tegas telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Allah Swt berfirman: “(1) Katakanlah: “Wahai orang-orang kafir, (2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (3) dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (4) dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. (6) untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (al-Kâfirûn/109:1-6).
Tentang surat al-Kâfirûn ini an-Naisaburiy menjelaskan bahwa surat ini turun berkenaan dengan sekelompok kaum Quraisy, mereka bertanya kepada Nabi SAW: “Wahai Muhammad! Bagaimana jika kami menyembah Tuhanmu selama satu tahun dan engkau juga menyambah tuhan kami selama satu tahun. Jika agamamu benar, kami mendapat keuntungan, karena kami juga menyembah Tuhanmu. Dan jika agama kami yang benar, engkau juga akan memperoleh keuntungan.” Mendengar usul kaum kafir itu Rasulullah SAW menjawab dengan tegas: “Aku berlindung kepada Allah SWT agar tidak tergolong orang-orang yang bersikap dan berperilaku syirik atau menyekutukan Allah SWT.” Untuk mempertegaskan penolakan Rasulullah SAW tersebut, kemudian Allah SWT menurunkan surat al-Kâfirûn.
Setelah Rasulullah SAW menerima surat al-Kâfirûn ini, beliau lalu mendatangi tokoh-tokoh kaum kafir di Mekah, yang pada waktu itu sedang berkumpul di Masjidil Haram. Di hadapan mereka Rasulullah Saw membacakan surat al-Kâfirûn ayat satu sampai enam dengan mantap dan lantang, sehingga mereka menyadari bahwa usul mereka untuk berkompromi dalam keimanan dan ibadah agama ditolak oleh Rasulullah SAW dan umat Islam.
Kerukunan hidup antar pemeluk agama yang berbeda dalam masyarakat yang plural harus diperjuangkan dengan catatan tidak mengorbankan akidah. Kalimat yang secara tegas menunjukkan hal ini seperti yang telah tercantum dalam surat al-Kâfirûn di atas adalah: “Bagimu agamamu (silahkan yakini dan amalkan)” dan bagiku agamaku (biarkan aku yakini dan melaksanakannya). Ungkapan ayat ini merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik, sehinga masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing.
2.         Tidak menghina Tuhan agama lain
Ayat yang secara tegas melarang hal ini adalah firman Allah SWT: “dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (al-An’âm/6: 108).
Salah satu riwayat popular yang menyangkut sebab turunnya ayat ini adalah bahwa pada waktu Nabi Saw masih tinggal di Mekah, orang-orang musyrikin mengatakan bahwa Nabi Saw dan orang mukmin sering mengejek berhala-berhala tuhan mereka. Mendengar hal ini mereka secara emosional mengejek Allah Swt. Bahkan kemudian mereka mengultimatum Nabi Saw dan orang-orang mukmin, mereka berkata: “Wahai Muhammad! Hanya ada dua pilihan, kamu tetap mencerca tuhan-tuhan kami, atau kami akan mencerca Tuhanmu?” Kemudian turunlah ayat di atas.
Kata tasubbu dalam ayat di atas terambil dari kata sabba yaitu ucapan yang mengandung makna penghinaan terhadap sesuatu, atau penisbahan suatu kekurangan atau aib terhadapnya, baik hal itu benar demikian, lebih-lebih jika tidak benar. Hal ini bukan berarti mempersamakan semua agama. yang dimaksud di dalam ayat di atas bukanlah seperti mempersalahkan satu pendapat atau perbuatan, juga tidak termasuk penilaian sesat terhadap suatu agama, bila penilaian itu bersumber dari agama lain. Yang dilarang adalah menghina tuhan-tuhan orang lain tersebut. Larangan ayat ini bukan kepada hakikat tuhan-tuhan mereka, namun kepada sikap penghinaannya itu sendiri, karena penghinaan tidak akan menghasilkan sesuatu yang menyangkut kemaslahatan agama.
Ayat ini secara tegas ingin mengajak kaum muslim untuk dapat memelihara kesucian agamanya dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar umat beragama. Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Ini merupakan tabiat manusia, apa pun kedudukan sosial dan tingkat pengetahuannya, karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedang hati adalah sumber emosi. Berbeda dengan pengetahuan, yang mengandalkan akal dan pikiran. Karena itu dengan mudah seseorang mengubah pendapat ilmiahnya, tetapi sangat sulit mengubah kepercayaannya walau bukti-bukti kekeliruan kepercayaan telah ada di hadapannya.
Dalam kaitan toleransi antar umat beragama ini Al-Qur’an telah memberikan petunjuk sebagaimana dalam surat al-Mumtaẖanah ayat 8-9: “(8) Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (9) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtaẖanah/60: 8-9).
Ada beberapa riwayat tentang asbabun nuzul dari ayat di atas, di antaranya:
Dari Amir bin ‘Abdullah bin Zubair memberitahukan kepada kami, dari ayahnya, dia bercerita: “Qutailah pernah datang menemui putrinya, Asma binti Abu Bakar dengan membawa daging dabb (biawak) dan minyak samin sebagai hadiah dan ketika itu dia adalah wanita musyrik. Maka Asma pun menolak pemberiannya itu dan tidak memasukkan ibunya ke dalam rumahnya. Kemudian Aisyah bertanya kepada Nabi Saw mengenai hal tersebut lalu Allah Swt menurunkan ayat ini kemudian beliau menyuruh Asma menerima pemberian ibunya dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.”
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Asma binti Abu Bakar dia berkata: “Aku dikunjungi oleh ibu kandungku (Qutailah). Setelah itu Asma bertanya kepada Rasulullah SAW: “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah SAW menjawab: “Iya (boleh)”. Lalu turunlah ayat ini Yang berkenaan dengan peristiwa tersebut yang menegaskan bahwa Allah SWT tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Qutailah (dahulu pernah menjadi istri Abu Bakar) yang telah diceraikan pada zaman jahiliyah datang kepada anaknya, Asma binti Abu Bakar dengan membawa bingkisan. Asma menolak pemberian tersebut  bahkan tidak memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Setelah itu ia mengutus seseorang  kepada Aisyah (saudaranya) untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah Saw. Maka Rasul pun memerintahkan untuk menerima bingkisannya serta menerimanya dengan baik. Kemudian terkait dengan hal ini Allah Swt menurunkan ayat:
Dari pemaparan di atas terlihat jelas bahwa ajaran toleransi dalam Islam, memungkinkan umat Islam hidup berdampingan secara damai dengan umat yang beragama lain, bekerja sama dalam al-mashalih al-‘ammah (kepentingan-kepentingan umum atau duniawi) dan saling menghormati tanpa adanya sikap saling menekan, memaksa, meneror apalagi membunuh. Dan tidak dapat diragukan lagi bahwa ini termasuk makna Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a'lam
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger