Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.
Pada Tulisan
sebelumnya, telah disebutkan bahwa di antara prinsip interaksi sosial muslim
dan non-muslim adalah “tidak ada paksaan”. Dalam tulisan kali ini, akan dibahas
tentang prinsip ke dua, yaitu prinsip “toleransi antar umat beragama”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
kata “toleransi” ini diartikan dengan bersikap atau bersifat menenggang
(menghargai, membiarkan membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan
dengan pendirian sendiri.
Setiap agama yang ada di dunia ini, baik
agama wahyu (revealed religion) maupun agama yang bersumber dari adat
kemudian dikokohkan oleh para pemimpinnya (natural religion),
masing-masing memiliki keyakinan dan tata nilai yang dianggap benar oleh para
pemeluknya. Mengubah keyakinan, tidak sama dengan mengubah baju berdasarkan
selera, karena ia merupakan sesuatu yang fundamental.
Islam meyakini bahwa kebenaran yang
bersumber dari Tuhan berlaku sepanjang zaman, sedang yang bersumber dari
manusia hanya bersifat sementara dan suatu saat akan berubah. Meskipun demikian
pemeluk agama Islam diperintahkan untuk menghormati keyakinan orang lain,
sepanjang mereka tidak mengganggu serta tidak memaksakan keyakinannya.
Islam
adalah agama yang penuh toleransi, fleksibel dan moderat. Islam bukanlah agama
yang mempunyai pandangan yang sempit. Toleransi yang dimaksud di sini adalah
toleransi yang positif, yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala
macam bentuk tekanan atau pengaruh apa pun.
Islam memang menunjukkan sikap toleran terhadap agama lain. Sikap toleransi
yang luar biasa telah ditunjukkan Rasulullah
SAW terhadap mantan musuh yang
dahulunya memperlakukan Nabi Saw secara tidak manusiawi, juga menjadi bukti
sejarah atas komitmen untuk tetap dalam koridor prinsip toleransi yang
ditetapkan Al-Qur’an. Ketika kota Mekah ditaklukkan dan Rasulullah SAW memasuki
kota tersebut, sebagai pemimpin yang menang dalam peperangan, Nabi Saw bertanya
kepada kaum Quraisy: “Kira-kira tindakan apa yang akan aku lakukan kepada
kalian?” Mereka menjawab: “Kebaikan, saudara kami
atau anak saudara kami.” Rasulullah Saw bersabda: “Silahkan pergi, kalian
bebas. Kesalahan kalian dimaafkan. Mudah-mudahan Allah Swt memberi ampunan bagi
kalian, karena Dia Maha Pengampun.”
Prinsip toleransi yang
dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak
Islam dan umatnya. Tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak
merugikan agama Islam.
Wahbah Zuhailiy
memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Qur’an
dan hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk
meninggalkan syariat ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut
tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum
Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain
sebagainya.
Toleransi
dalam pegaulan hidup antar umat beragama, yang didasarkan kepada; setiap agama
menjadi tanggung jawab pemeluk agama itu sendiri dan mempunyai bentuk ibadah (ritual)
dengan sistem dan cara tersendiri yang dibebankan serta menjadi tanggungjawab
pemeluknya, atas dasar itu maka toleransi dalam pergaulan hidup antar umat
beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan
perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antar
orang yang tidak seagama adalah dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau
kemaslahatan umum.
Dalam mewujudkan
kemaslahatan umum, Islam telah menggariskan dua pola dasar hubungan yang harus
dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu hubungan vertikal, yaitu hubungan pribadi dengan Tuhannya yang direalisasikan dalam bentuk ibadah
sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. Hubungan ini dilaksanakan
secara individual, tetapi lebih diutamakan secara kolektif atau jamaah. Pada
hubungan pertama ini toleransi dalam Islam hanya terbatas dalam lingkungan atau
intern suatu agama saja; dan hubungan horizontal, yaitu hubungan antara manusia dengan
sesamanya. Pada hubungan ini tidak hanya terbatas pada lingkungan Islam saja,
tetapi berlaku juga kepada orang non muslim, yaitu dalam bentuk kerjasama dalam
masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum. Dan bila pergaulan antar
umat beragama berlangsung dengan baik, berarti setiap umat beragama telah
memelihara eksistensi agamanya masing-masing, karena ibadah dalam pengertian
luas tidak hanya terbatas pada hubungan antar manusia dengan Tuhannya, namun
juga meliputi segala ucapan, perbuatan dan tindakan yang bernilai baik yang
dilakukan sesamanya.
Dalam
kaitan toleransi, Al-Qur’an telah memberikan kode etik dalam berinteraksi antar
pemeluk agama. Beberapa kode etik tersebut antara lain:
1.
Tidak
Bertoleransi dalam Hal Akidah
Dalam hubungan
bermasyarakat Al-Qur’an sangat menganjurkan agar umat Islam menjalin hubungan
tidak hanya dengan sesama muslim melainkan dengan warga masyarakat yang non
muslim. Namun toleransi tersebut bukan dalam hal akidah. Hal ini secara tegas
telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Allah Swt berfirman: “(1) Katakanlah:
“Wahai orang-orang kafir, (2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
(3) dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (4) dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5) dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. (6) untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku.” (al-Kâfirûn/109:1-6).
Tentang surat al-Kâfirûn
ini an-Naisaburiy menjelaskan bahwa surat ini turun berkenaan dengan sekelompok
kaum Quraisy, mereka bertanya kepada Nabi SAW: “Wahai Muhammad! Bagaimana jika
kami menyembah Tuhanmu selama satu tahun dan engkau juga menyambah tuhan kami
selama satu tahun. Jika agamamu benar, kami mendapat keuntungan, karena kami
juga menyembah Tuhanmu. Dan jika agama kami yang benar, engkau juga akan
memperoleh keuntungan.” Mendengar usul kaum kafir itu Rasulullah SAW menjawab
dengan tegas: “Aku berlindung kepada Allah SWT agar tidak tergolong orang-orang
yang bersikap dan berperilaku syirik atau menyekutukan Allah SWT.” Untuk
mempertegaskan penolakan Rasulullah SAW tersebut, kemudian Allah SWT menurunkan
surat al-Kâfirûn.
Setelah
Rasulullah SAW menerima surat al-Kâfirûn ini, beliau lalu mendatangi
tokoh-tokoh kaum kafir di Mekah, yang pada waktu itu sedang berkumpul di
Masjidil Haram. Di hadapan mereka Rasulullah Saw membacakan surat al-Kâfirûn
ayat satu sampai enam dengan mantap dan lantang, sehingga mereka menyadari
bahwa usul mereka untuk berkompromi dalam keimanan dan ibadah agama ditolak oleh
Rasulullah SAW dan umat Islam.
Kerukunan hidup antar
pemeluk agama yang berbeda dalam masyarakat yang plural harus diperjuangkan
dengan catatan tidak mengorbankan akidah. Kalimat yang secara tegas menunjukkan
hal ini seperti yang telah tercantum dalam surat al-Kâfirûn di atas adalah:
“Bagimu agamamu (silahkan yakini dan amalkan)” dan bagiku agamaku (biarkan
aku yakini dan melaksanakannya). Ungkapan ayat ini merupakan pengakuan eksistensi
secara timbal balik, sehinga masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang
dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain
sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing.
2.
Tidak
menghina Tuhan agama lain
Ayat yang secara tegas
melarang hal ini adalah firman Allah SWT:
“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.”
(al-An’âm/6: 108).
Salah satu riwayat
popular yang menyangkut sebab turunnya ayat ini adalah bahwa pada waktu Nabi
Saw masih tinggal di Mekah, orang-orang musyrikin mengatakan bahwa Nabi Saw dan
orang mukmin sering mengejek berhala-berhala tuhan mereka. Mendengar hal ini
mereka secara emosional mengejek Allah Swt. Bahkan kemudian mereka
mengultimatum Nabi Saw dan orang-orang mukmin, mereka berkata: “Wahai Muhammad!
Hanya ada dua pilihan, kamu tetap mencerca tuhan-tuhan kami, atau kami akan
mencerca Tuhanmu?” Kemudian turunlah ayat di atas.
Kata tasubbu
dalam ayat di atas terambil dari kata sabba yaitu ucapan yang mengandung
makna penghinaan terhadap sesuatu, atau penisbahan suatu kekurangan atau aib
terhadapnya, baik hal itu benar demikian, lebih-lebih jika tidak benar. Hal ini
bukan berarti mempersamakan semua agama. yang dimaksud di dalam ayat di atas bukanlah
seperti mempersalahkan satu pendapat atau perbuatan, juga tidak termasuk
penilaian sesat terhadap suatu agama, bila penilaian itu bersumber dari agama
lain. Yang dilarang adalah menghina
tuhan-tuhan orang lain tersebut. Larangan ayat ini bukan kepada hakikat
tuhan-tuhan mereka, namun kepada sikap penghinaannya itu sendiri, karena
penghinaan tidak akan menghasilkan sesuatu yang menyangkut kemaslahatan agama.
Ayat ini secara tegas
ingin mengajak kaum muslim untuk dapat memelihara kesucian agamanya dan guna
menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar umat beragama. Manusia
sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Ini
merupakan tabiat manusia, apa pun kedudukan sosial dan tingkat pengetahuannya,
karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedang hati adalah sumber
emosi. Berbeda dengan pengetahuan, yang mengandalkan akal dan pikiran. Karena
itu dengan mudah seseorang mengubah pendapat ilmiahnya, tetapi sangat sulit
mengubah kepercayaannya walau bukti-bukti kekeliruan kepercayaan telah ada di
hadapannya.
Dalam kaitan
toleransi antar umat beragama ini Al-Qur’an telah memberikan petunjuk
sebagaimana dalam surat al-Mumtaẖanah ayat 8-9: “(8) Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (9) Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.” (al-Mumtaẖanah/60:
8-9).
Ada
beberapa riwayat tentang asbabun nuzul dari ayat di atas, di antaranya:
Dari
Amir bin ‘Abdullah bin Zubair memberitahukan kepada kami, dari ayahnya, dia
bercerita: “Qutailah pernah datang menemui putrinya, Asma binti Abu Bakar
dengan membawa daging dabb (biawak) dan minyak samin sebagai hadiah dan ketika
itu dia adalah wanita musyrik. Maka Asma pun menolak pemberiannya itu dan tidak
memasukkan ibunya ke dalam rumahnya. Kemudian Aisyah bertanya kepada Nabi Saw
mengenai hal tersebut lalu Allah Swt menurunkan ayat ini kemudian beliau
menyuruh Asma menerima pemberian ibunya dan mempersilahkannya masuk ke dalam
rumah.”
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Asma binti Abu Bakar dia berkata:
“Aku dikunjungi oleh ibu kandungku (Qutailah). Setelah
itu Asma bertanya kepada Rasulullah SAW: “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?”
Rasulullah SAW menjawab: “Iya (boleh)”. Lalu turunlah ayat ini Yang berkenaan
dengan peristiwa tersebut yang menegaskan bahwa Allah SWT tidak melarang
berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Qutailah (dahulu pernah menjadi istri
Abu Bakar) yang telah diceraikan pada zaman jahiliyah datang kepada anaknya,
Asma binti Abu Bakar dengan membawa bingkisan. Asma
menolak pemberian tersebut bahkan tidak
memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Setelah itu ia mengutus
seseorang kepada Aisyah (saudaranya)
untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah Saw. Maka Rasul pun
memerintahkan untuk menerima bingkisannya serta menerimanya dengan baik. Kemudian terkait dengan hal ini Allah Swt
menurunkan ayat:
Dari pemaparan di atas
terlihat jelas bahwa ajaran toleransi dalam Islam, memungkinkan umat Islam
hidup berdampingan secara damai dengan umat yang beragama lain, bekerja sama
dalam al-mashalih al-‘ammah (kepentingan-kepentingan umum atau duniawi)
dan saling menghormati tanpa adanya sikap saling menekan, memaksa, meneror
apalagi membunuh. Dan tidak dapat diragukan lagi bahwa ini termasuk makna Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar