Home » , » PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM DI INDONESIA

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM DI INDONESIA

Written By agus on Minggu, 01 November 2015 | 20.59

Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I

Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik yang kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Negara Republik Indonesia memiliki dasar dan filsafat Pancasila yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Oemar Seno Adji (w. 1984 M) berpendapat bahwa Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khasnya. Karena pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara hukum pancasila. Salah satu ciri pokok dalam Negara hukum pancasila ialah adanya jaminan terhadap kebebasan beragama (freedom of religion). Beliau juga berpendapat bahwa tidak ada pemisahan yang mutlak antara agama dan Negara, karena menurutnya, agama dan Negara berada dalam hubungan yang harmonis.
Dalam pembukaan UUD 1945 dapat ditemukan rumusan Pancasila sebagai berikut:
“…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dari pembukaan UUD 1945 di atas, pancasila terdiri dari lima dasar (sila), yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan; (5) Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sila pertama, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, maka Indonesia mengakui dan percaya kepada adanya Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi sebab adanya manusia dan alam semesta serta segala yang hidup dan kehidupan di dalamnya.
Dasar ini yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanyanya masing-masing. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi: “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam hal ini Hazairin (w. 1975 M) menafsirkan rumusan dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 antara lain sebagai berikut:
Pertama, dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi agama Kristen, kaidah Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha.
Kedua, Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Kristen, syariat Hindu-Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan kekuasaan Negara.
Ketiga, syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya dan karena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang tersebut yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
Keempat, jika karena salah tafsir atau oleh karena dalam kitab-kitab agama, mungkin secara terselip dijumpai sesuatu peraturan yang bertentangan dengan sila-sila ketiga, keempat, dan kelima dalam pancasila, maka peraturan agama yang sedemikian itu, setelah dimusyawarahkan dengan pemuka-pemuka agama yang bersangkutan wajib di non-aktifkan.
Kelima, hubungan sesuatu agama dengan dengan sila kedua dalam pancasila dibarkan kepada norma-norma agama itu sendiri atau kepada kebijaksanaan para pemeluk agama-agama itu. Maksudnya, sesuatu norma dalam sila kedua itu yang bertentangan dengan morma suatu agama atau dengan paham umum pemeluk-pemeluknya berdasarkan corak agamanya dan tidak berlaku bagi mereka.
Keenam, rakyat Indonesia yang belum termasuk ke dalam agama-agama di yang diakui di Indonesia seperti rakyat yang masih memuja roh nenek moyang dan makhluk rendah seperti pohon dan binatang, ditundukkan kepada sila-sila ke-2, ke-3, ke-4, dan ke-5 dalam menjalankan kebudayaan yang normatif yang ditimbulkan oleh pergaulan hidup mereka yang lazimnya disebut adat mereka (hukum adat, kesusilaan kemasyarakatan dan kesenian yang tradisional), yaitu dalam menunggu berhasilnya usaha-usaha peningkatan hidup kerohanian mereka ke taraf hidup keagamaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta Alam semesta beserta isinya, baik benda mati maupun benda hidup.
Kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menurut C.S.T. Kansil bersifat aktif, artinya setiap warga Negara harus selalu berusaha menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya menurut ajaran agama dan kepercayaannya masing-masing.
Dilihat dari sudut hukum Islam, maka sila pertama identik dengan tauhid yang merupakan inti/pondasi ajaran Islam. Namun, dari segi yang lain sila pertama diartikan bahwa ajaran Islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeluk agama-agama lain untuk melaksakan ajaran agama mereka masing-masing.
Muhammad Natsir (w. 1993 M) berkata Indonesia adalah suatu negeri Islam dengan adanya kenyataan bahwa Islam diakui sebagai agama bagi rakyat Indonesia, meskipun dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tidak dinyatakan sebagai agama Negara. Tetapi Indonesia tidak memisahkan antara agama dari kenegaraan. Indonesia menempatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila yang dianut sebagai landasan rohani, moral, dan etika bagi Negara dan bangsa.
Munawwir Sjadzali (w. 2004 M) menyebutkan pandangan Muhammad Natsir dalam sebuah majalah mingguan ‘Hikmah’, dimana Muhammad Natsir menyebutkan bahwa apakah pancasila bertentangan dengan Al-Qur’an? Beliau menyatakan mana mungkin Al-Qur’an yang memancarkan tauhid dapat apriori bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Mana mungkin Al-Qur’an yang ajarannya penuh dengan kewajiban menegakkan ‘adâlah ijtimâ’iyyah dapat apriori bertentangan dengan sila keadilan sosial? mana mungkin Al-Qur’an yang justru memberantas sistem feodalisme dan pemerintah diktator, serta meletakkan dasar musyawarah dalam susunan pemerintah dapat bertentangan dengan apa yang dinamakan kedaulatan rakyat? Mana mungkin Al-Qur’an yang menegakkan istilah ‘islâh baina an-nâs (kedamaian anatara manusia) dapat apriori bertentangan apa yang disebut peri kemanusiaan? Dan mana mungkin Al-Qur’an yang mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan dapat apriori bertentangan dengan kebangsaan?
Kemudian Muhammad Natsir mengemukakan bahwa pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus dilaksanakan dalam Negara dan bangsa. Karenanya, kalau yang dituju oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu menegaskan bahwa seorang manusia tidak akan dapat memulai kehidupannya menuju kebajikan dan keutamaan sebelum dia dapat menyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka bagaimana Al-Qur’an akan bertentangan dengan sila itu. Tetapi, Muhammad Natsir menambahkan lain halnya jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya merupakan slogan bagi orang-orang yang jiwanya sebenarnya bertolak belakang dengan agama.
Adapun sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab”, dijelaskan oleh C.S.T. Kansil bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan semuanya memiliki kedudukan dan hak-hak yang sama, sebab Tuhan tidak membedakan atara manusia satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan manusia yang satu menguasai manusia yang lainnya, ataupun bangsa yang satu menguasai bangsa yang lainnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab juga berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan seperti tolong menolong, memenuhi kebutuhan orang lain, dan berani membela kebenaran dan keadilan.
Selanjutnya sila ketiga “persatuan Indonesia”, artinya dengan dasar kebangsaan dimaksudkan bangsa Indonesia seluruhnya harus memupuk persatuan yang erat antara sesama warga tanpa membeda-bedakan suku atau golongan. Prinsip kebangsaan itu merupakan ikatan yang erat antara golongan dan suku bangsa.
Sebagaimana arti sila yang lain, sila ini mempunyai sifat yang dinamis yaitu sifat yang bertujuan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan perdamaian di dunia.
Sila keempat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, sila ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia yang menganut paham demokrasi, hal ini artinya kekuasaan untuk mengatur Negara dan rakyat berada di tangan seluruh rakyat.
Sila keempat ini mengandung mengandung arti bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya, dilakukan melalui perwakilan. Keputusan-keputusan yang diambil oleh wakil-wakil itu dilakukan melalui musyawarah yang dipimpin oleh akal sehat serta penuh rasa tanggung jawab baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.
Adapun sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, berarti bahwa setiap rakyat Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Semua sila-sila tersebut dapat ditemukan persamaan dengan prinsip-prinsip Negara hukum (nomokrasi Islam) seperti keadilan, musyawarah, persamaan, dan kebebasan.
Sejalan dengan hal tersebut, prinsip-prinsip pokok yang terdapat dalam demokrasi Islam seperti musyawarah, keadilan, dan persamaan, secara konstitusional baik eksplisit maupun implisit dapat dibaca dalam UUD 1945.
Demokrasi sendiri adalah suatu doktrin atau sistem politik sekuler yang kedaulatannya berada di tangan rakyat atau ‘kedaulatan rakyat’ yaitu pemerintahan dari tangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara teologis, para intelektual muslim Indonesia menyikapi demokrasi berdasarkan pada konsep musyawarah dalam Al-Qur’an, praktek Nabi Muhammad SAW, dan Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidûn. Mereka mempunyai pandangan tersendiri tentang demokrasi, bukan hanya menyatakan menolak demokrasi liberal atau demokrasi sosialis tanpa alasan atau menerima konsep demokrasi dengan catatan masih mengakui kedaulatan di tangan Tuhan, dengan kata lain menerima demokrasi tetapi pada dasarnya menyatakan kedaulatan di tangan Tuhan sebagai pengganti kedaulatan rakyat.
Demokrasi menurut UUD 1945 adalah demokrasi Pancasila. Tiap sila, termasuk sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi dasar bagi demokrasi di Indonesia. Dalam demokrasi, rakyat dan penguasa terikat oleh nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, Negara tidak memisahkan urusan agama dari Negara, sehingga demokrasi pun tidak lepas dari nilai-nilai agama.
Prinsip musyawarah secara tegas dirumuskan dalam sila keempat dari pancasila. Penerapan prinsip ini di Negara Indonesia seperti dalam pengambilan keputusan baik melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang cenderung selalu mengutamakan kebulatan pendapat (mufakat) daripada rumusan suara terbanyak sebagaimana diterapkan dalam demokrasi barat. Namun, dalam hal ini akan ditemukan kesamaan jika kekuatan golongan atau partai politik yang ditonjolkan daripada mengutamakan pendapat mufakat.
Dalam sebuah musyawarah, perbedaan merupakan hal yang wajar, dan ini perlu dijunjung karena semua pihak berhak mengemukakan pendapatnya. Selain itu, kaitannya dengan kritik dan saran kepada pemimpin adalah salah satu bentuk partisipasi dari rakyat.
Prinsip musyawarah tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh prinsip-prinsip yang lain seperti prinsip keadilan dan persamaan. Dalam implementasi prinsip musyawarah, seyogyanya setiap individu harus bersikap adil.
Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut terdapat dalam UUD 1945, seperti prinsip keadilan yang telah ditransformasikan ke dalam Pembukaan UUD 1945 melalui sila kedua yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan dari sila kedua adalah ingin menempatkan manusia sesuai dengan harkatnya sebagai makhluk Tuhan. Prinsip keadilan yang terkandung dalam sila kedua juga merupakan suatu pandangan filosofis Bangsa Indonesia yang tidak meninginkan adanya penindasan manusia oleh manusia yang lainnya, baik secara lahir maupun batin ataupun oleh bangsa sendiri maupun oleh bangsa lain.
Dengan sila kedua itu pula tercermin suatu sikap yang tegas Bangsa Indonesia yaitu anti penjajahan karena penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri keadilan. Selain itu, jika dilihat dari sudut hukum, maka implementasi salah satu prinsip dasar dari Negara Republik Indonesia adalah implementasi salah satu prinsip dasar dari Negara hukum. Dan Negara Indonesia adalah suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, maka segala sesuatu ada tata cara dan harus memenuhi prosedur hukum.        `
Implementasi prinsip keadilan tersebut akan bergantung kepada para pelaksananya (walâyat), seperti hakim, polisi, jaksa, dan penasehat hukum. Hal ini karena mereka yang memainkan peranan yang besar dalam mengimplimentasikan prinsip keadilan sebagaimana tercantum dalam sila kedua. Selain itu, implementasi prinsip keadilan di Negara Indonesia bukan hanya dalam bidang kekuasaan yudikatif, melainkan juga dalam bidang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Setiap kebijakan yang dihasilkan harus berdasarkan pada sila kedua dari pancasila. Karena itu, setiap keputusan tidak boleh bertentangan dengan sila kedua tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam nomokrasi Islam, rakyat mempunyai hak untuk tidak menaati setiap hukum / kebijakan yang tidak adil dan bertentangan dengan syariat.
Adapun prinsip persamaan dan kebebasan keduanya dengan tegas dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembukaannya “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penajajahan dia atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri kedilan”.
Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa setiap orang mempunyai persamaan dalam hukum. Dalam pasal 27 UUD 1945 dengan tegas dirumuskan sebagai berikut:
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Rumusan tersebut mempunyai makna bahwa semua warga Negara Indonesia memiliki persamaan hukum dan memiliki hak-hak yang sama di hadapan pemerintah. Dengan demikian, Negara Indonesia tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negaranya.
Penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum mengaitkan para penegak hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas. Oleh karena itu, implementasi prinsip-prinsip Negara hukum (nomokrasi Islam) tidak sebatas pada rumusan yang terdapat pada konstitusi atau undang-undang dasar, tetapi juga berhubungan dengan manusianya, karena manusia merupakan pelaksana yang sangat menentukan keberhasilan implementasi prinsip-prinsip tersebut sehingga tercipta kesejahteraan di kalangan masyarakatnya.
Sejalan dengan hal tersebut, prinsip persamaan  hak dalam setiap sistem hukum demokrasi dianggap sebagai rukun inti di dalamnya, sebab mencakup hak-hak dan kebebasan-kebebasan mendasar bagi individu. Maksudnya adalah persamaan hak yang berkenaan dengan undang-undang atau sipil dan dikenal dengan demokrasi politik. Namun, maksud itu tidak berlangsung lama bersama pertumbuhan pemikiran pemikiran sosialis. Ia mengarahkan perhatiannya kepada-hak-hak sosial, setelah ia terfokus pada hak-hak politik.
Persamaan hak mencakup beragam bidang kehidupan sosial. maka, undang-undang Negara-negara demokrat menetapkan persamaan hak di hadapan undang-undang, persamaan hak di hadapan peradilan, persamaan hak di hadapan tugas-tugas umum, dan persamaan hak dalam mempergunakan fasilitas umum.
Apabila dilihat dari konsep nomokrasi Islam, maka Pasal 27 UUD 1945 mengandung dua prinsip nomokrasi Islam, yaitu persamaan dan prinsip ketaatan. Prinsip ketaatan yang terkandung dalam pasal 27 UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan dalam Al-Qur’an surat An-Nisâ’ ayat 59.
Allah SWT berfirman:Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisâ’ (4): 59)
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dijelaskan tentang tujuan daripada Negara Indonesia yang tercantum dalam kalimat ‘kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. penulis beranggapan bahwa tujuan-tujuan tersebut tidak bertentangan dengan salah satu tujuan syariat Islam.
Sehingga dalam hal ini, jika dilihat dari segi prinsip-prinsip tersebut, hemat penulis Negara Indonesia mempunyai kedekatan dengan prinsip-prinsip Negara hukum. Namun, bila dibandingkan dengan pelaksanaan Piagam Madinah dan dilihat dari siyâsah syar’iyyah, pelaksanaan UUD 1945 masih sangat memerlukan usaha-usaha untuk makin mendekatkan pelaksanaan UUD 1945 kepada agama dan menghindarkannya dari kemungkinan adanya pelaksanaan yang bertentangan dengan agama.
Oleh karena itu, seperti yang sudah penulis jelaskan bahwa implementasi prinsip-prinsip ini akan terlaksana dengan baik jika manusiannya khususnya para pelaksananya memahami dan menerapkan betul apa yang terkandung di dalamnya. 
Dari pemahaman tersebut, maka dari segi ini, kita dapat menemukan beberapa persamaan prinsip-prinsip antara nomokrasi Islam dengan hukum pancasila di Indonesia.
Wallahu a'lam
Share this article :

1 komentar:

  1. Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
    cuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
    kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
    yuu buruan segera daftarkan diri kamu
    Hanya di dewalotto
    Link alternatif :
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger