Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang
berbentuk republik yang kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Negara
Republik Indonesia memiliki dasar dan filsafat Pancasila yang tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Oemar Seno Adji (w. 1984 M) berpendapat bahwa Negara
hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khasnya. Karena pancasila harus diangkat
sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara hukum Indonesia dapat pula
dinamakan Negara hukum pancasila. Salah satu ciri pokok dalam Negara hukum
pancasila ialah adanya jaminan terhadap kebebasan beragama (freedom of
religion). Beliau juga berpendapat bahwa tidak ada pemisahan yang mutlak
antara agama dan Negara, karena menurutnya, agama dan Negara berada dalam
hubungan yang harmonis.
Dalam pembukaan UUD 1945 dapat ditemukan rumusan
Pancasila sebagai berikut:
“…maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dari pembukaan UUD 1945 di atas, pancasila terdiri dari
lima dasar (sila), yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang
adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan; (5) Keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Dalam sila pertama, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’,
maka Indonesia mengakui dan percaya kepada adanya Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa
yang menjadi sebab adanya manusia dan alam semesta serta segala yang hidup dan
kehidupan di dalamnya.
Dasar ini yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut
agamanyanya masing-masing. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 29 UUD
1945 yang berbunyi: “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam hal ini Hazairin (w. 1975 M) menafsirkan
rumusan dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 antara lain sebagai berikut:
Pertama, dalam Negara Republik
Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
Islam bagi umat Islam, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani
bagi agama Kristen, kaidah Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang
bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha.
Kedua, Negara Republik
Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani
bagi orang Kristen, syariat Hindu-Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan
syariat tersebut memerlukan kekuasaan Negara.
Ketiga, syariat yang
tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya dan karena itu
dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi
kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang tersebut yang dijalankannya
sendiri menurut agamanya masing-masing.
Keempat, jika karena
salah tafsir atau oleh karena dalam kitab-kitab agama, mungkin secara terselip
dijumpai sesuatu peraturan yang bertentangan dengan sila-sila ketiga, keempat,
dan kelima dalam pancasila, maka peraturan agama yang sedemikian itu, setelah
dimusyawarahkan dengan pemuka-pemuka agama yang bersangkutan wajib di
non-aktifkan.
Kelima, hubungan
sesuatu agama dengan dengan sila kedua dalam pancasila dibarkan kepada
norma-norma agama itu sendiri atau kepada kebijaksanaan para pemeluk
agama-agama itu. Maksudnya, sesuatu norma dalam sila kedua itu yang
bertentangan dengan morma suatu agama atau dengan paham umum pemeluk-pemeluknya
berdasarkan corak agamanya dan tidak berlaku bagi mereka.
Keenam, rakyat
Indonesia yang belum termasuk ke dalam agama-agama di yang diakui di Indonesia
seperti rakyat yang masih memuja roh nenek moyang dan makhluk rendah seperti
pohon dan binatang, ditundukkan kepada sila-sila ke-2, ke-3, ke-4, dan ke-5
dalam menjalankan kebudayaan yang normatif yang ditimbulkan oleh pergaulan hidup
mereka yang lazimnya disebut adat mereka (hukum adat, kesusilaan kemasyarakatan
dan kesenian yang tradisional), yaitu dalam menunggu berhasilnya usaha-usaha
peningkatan hidup kerohanian mereka ke taraf hidup keagamaan yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ mengandung pengertian
bahwa bangsa Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai
Pencipta Alam semesta beserta isinya, baik benda mati maupun benda hidup.
Kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa itu menurut C.S.T. Kansil bersifat aktif, artinya setiap warga Negara harus
selalu berusaha menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya menurut ajaran agama dan kepercayaannya masing-masing.
Dilihat dari sudut hukum Islam, maka sila pertama
identik dengan tauhid yang merupakan inti/pondasi ajaran Islam. Namun, dari
segi yang lain sila pertama diartikan bahwa ajaran Islam diberikan toleransi,
kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeluk agama-agama lain
untuk melaksakan ajaran agama mereka masing-masing.
Muhammad Natsir (w. 1993 M) berkata Indonesia adalah
suatu negeri Islam dengan adanya kenyataan bahwa Islam diakui sebagai agama
bagi rakyat Indonesia, meskipun dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia
tidak dinyatakan sebagai agama Negara. Tetapi Indonesia tidak memisahkan antara
agama dari kenegaraan. Indonesia menempatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa sebagai sila pertama dari Pancasila yang dianut sebagai landasan rohani,
moral, dan etika bagi Negara dan bangsa.
Munawwir Sjadzali (w. 2004 M) menyebutkan pandangan
Muhammad Natsir dalam sebuah majalah mingguan ‘Hikmah’, dimana Muhammad Natsir
menyebutkan bahwa apakah pancasila bertentangan dengan Al-Qur’an? Beliau
menyatakan mana mungkin Al-Qur’an yang memancarkan tauhid dapat apriori
bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Mana mungkin Al-Qur’an yang
ajarannya penuh dengan kewajiban menegakkan ‘adâlah ijtimâ’iyyah dapat
apriori bertentangan dengan sila keadilan sosial? mana mungkin Al-Qur’an yang
justru memberantas sistem feodalisme dan pemerintah diktator, serta meletakkan
dasar musyawarah dalam susunan pemerintah dapat bertentangan dengan apa yang
dinamakan kedaulatan rakyat? Mana mungkin Al-Qur’an yang menegakkan istilah ‘islâh
baina an-nâs’ (kedamaian anatara manusia) dapat apriori bertentangan
apa yang disebut peri kemanusiaan? Dan mana mungkin Al-Qur’an yang mengakui
adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan dapat
apriori bertentangan dengan kebangsaan?
Kemudian Muhammad Natsir mengemukakan bahwa
pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus
dilaksanakan dalam Negara dan bangsa. Karenanya, kalau yang dituju oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa itu menegaskan bahwa seorang manusia tidak akan dapat
memulai kehidupannya menuju kebajikan dan keutamaan sebelum dia dapat
menyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka
bagaimana Al-Qur’an akan bertentangan dengan sila itu. Tetapi, Muhammad Natsir
menambahkan lain halnya jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya merupakan
slogan bagi orang-orang yang jiwanya sebenarnya bertolak belakang dengan agama.
Adapun sila kedua “kemanusiaan yang adil dan
beradab”, dijelaskan oleh C.S.T. Kansil bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan
semuanya memiliki kedudukan dan hak-hak yang sama, sebab Tuhan tidak membedakan
atara manusia satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan
manusia yang satu menguasai manusia yang lainnya, ataupun bangsa yang satu
menguasai bangsa yang lainnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab juga berarti
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan
kemanusiaan seperti tolong menolong, memenuhi kebutuhan orang lain, dan berani
membela kebenaran dan keadilan.
Selanjutnya sila ketiga “persatuan Indonesia”, artinya
dengan dasar kebangsaan dimaksudkan bangsa Indonesia seluruhnya harus memupuk
persatuan yang erat antara sesama warga tanpa membeda-bedakan suku atau
golongan. Prinsip kebangsaan itu merupakan ikatan yang erat antara golongan dan
suku bangsa.
Sebagaimana arti sila yang lain, sila ini mempunyai
sifat yang dinamis yaitu sifat yang bertujuan memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan perdamaian di dunia.
Sila keempat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, sila ini menunjukkan bahwa
Negara Indonesia yang menganut paham demokrasi, hal ini artinya kekuasaan untuk
mengatur Negara dan rakyat berada di tangan seluruh rakyat.
Sila keempat ini mengandung mengandung arti bahwa
rakyat dalam menjalankan kekuasaannya, dilakukan melalui perwakilan.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh wakil-wakil itu dilakukan melalui
musyawarah yang dipimpin oleh akal sehat serta penuh rasa tanggung jawab baik
kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.
Adapun sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”, berarti bahwa setiap rakyat Indonesia mendapat perlakuan
yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan.
Semua sila-sila tersebut dapat ditemukan persamaan
dengan prinsip-prinsip Negara hukum (nomokrasi Islam) seperti keadilan,
musyawarah, persamaan, dan kebebasan.
Sejalan dengan hal tersebut, prinsip-prinsip pokok
yang terdapat dalam demokrasi Islam seperti musyawarah, keadilan, dan
persamaan, secara konstitusional baik eksplisit maupun implisit dapat dibaca
dalam UUD 1945.
Demokrasi sendiri adalah suatu doktrin atau sistem
politik sekuler yang kedaulatannya berada di tangan rakyat atau ‘kedaulatan
rakyat’ yaitu pemerintahan dari tangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Secara teologis, para intelektual muslim Indonesia menyikapi demokrasi
berdasarkan pada konsep musyawarah dalam Al-Qur’an, praktek Nabi Muhammad SAW,
dan Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidûn. Mereka mempunyai pandangan tersendiri
tentang demokrasi, bukan hanya menyatakan menolak demokrasi liberal atau
demokrasi sosialis tanpa alasan atau menerima konsep demokrasi dengan catatan
masih mengakui kedaulatan di tangan Tuhan, dengan kata lain menerima demokrasi
tetapi pada dasarnya menyatakan kedaulatan di tangan Tuhan sebagai pengganti
kedaulatan rakyat.
Demokrasi menurut UUD 1945 adalah demokrasi
Pancasila. Tiap sila, termasuk sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi
dasar bagi demokrasi di Indonesia. Dalam demokrasi, rakyat dan penguasa terikat
oleh nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, Negara tidak memisahkan urusan
agama dari Negara, sehingga demokrasi pun tidak lepas dari nilai-nilai agama.
Prinsip musyawarah secara tegas dirumuskan dalam
sila keempat dari pancasila. Penerapan prinsip ini di Negara Indonesia seperti
dalam pengambilan keputusan baik melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang cenderung selalu mengutamakan
kebulatan pendapat (mufakat)
daripada rumusan suara terbanyak sebagaimana diterapkan dalam demokrasi barat.
Namun, dalam hal ini akan ditemukan kesamaan jika kekuatan golongan atau partai
politik yang ditonjolkan daripada mengutamakan pendapat mufakat.
Dalam sebuah musyawarah, perbedaan merupakan hal
yang wajar, dan ini perlu dijunjung karena semua pihak berhak mengemukakan
pendapatnya. Selain itu, kaitannya dengan kritik dan saran kepada pemimpin
adalah salah satu bentuk partisipasi dari rakyat.
Prinsip musyawarah tidak dapat berdiri sendiri tanpa
didukung oleh prinsip-prinsip yang lain seperti prinsip keadilan dan persamaan.
Dalam implementasi prinsip musyawarah, seyogyanya setiap individu harus
bersikap adil.
Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut terdapat
dalam UUD 1945, seperti prinsip keadilan yang telah ditransformasikan ke dalam
Pembukaan UUD 1945 melalui sila kedua yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”
dan sila kelima yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan
dari sila kedua adalah ingin menempatkan manusia sesuai dengan harkatnya
sebagai makhluk Tuhan. Prinsip keadilan yang terkandung dalam sila kedua juga
merupakan suatu pandangan filosofis Bangsa Indonesia yang tidak meninginkan
adanya penindasan manusia oleh manusia yang lainnya, baik secara lahir maupun
batin ataupun oleh bangsa sendiri maupun oleh bangsa lain.
Dengan sila kedua itu pula tercermin suatu sikap
yang tegas Bangsa Indonesia yaitu anti penjajahan karena penjajahan tidak
sesuai dengan peri kemanusian dan peri keadilan. Selain itu, jika dilihat dari
sudut hukum, maka implementasi salah satu prinsip dasar dari Negara Republik
Indonesia adalah implementasi salah satu prinsip dasar dari Negara hukum. Dan
Negara Indonesia adalah suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, maka segala
sesuatu ada tata cara dan harus memenuhi prosedur hukum. `
Implementasi prinsip keadilan tersebut akan
bergantung kepada para pelaksananya (walâyat), seperti hakim, polisi,
jaksa, dan penasehat hukum. Hal ini karena mereka yang memainkan peranan yang
besar dalam mengimplimentasikan prinsip keadilan sebagaimana tercantum dalam
sila kedua. Selain itu, implementasi prinsip keadilan di Negara Indonesia bukan
hanya dalam bidang kekuasaan yudikatif, melainkan juga dalam bidang kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Setiap kebijakan yang dihasilkan harus berdasarkan
pada sila kedua dari pancasila. Karena itu, setiap keputusan tidak boleh
bertentangan dengan sila kedua tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam nomokrasi
Islam, rakyat mempunyai hak untuk tidak menaati setiap hukum / kebijakan yang
tidak adil dan bertentangan dengan syariat.
Adapun prinsip persamaan dan kebebasan keduanya
dengan tegas dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembukaannya “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka
penajajahan dia atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri kedilan”.
Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa setiap
orang mempunyai persamaan dalam hukum. Dalam pasal 27 UUD 1945 dengan tegas
dirumuskan sebagai berikut:
“Segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Rumusan tersebut mempunyai makna bahwa semua warga
Negara Indonesia memiliki persamaan hukum dan memiliki hak-hak yang sama di
hadapan pemerintah. Dengan demikian, Negara Indonesia tidak boleh ada
diskriminasi terhadap warga negaranya.
Penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum
mengaitkan para penegak hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas. Oleh
karena itu, implementasi prinsip-prinsip Negara hukum (nomokrasi Islam) tidak
sebatas pada rumusan yang terdapat pada konstitusi atau undang-undang dasar,
tetapi juga berhubungan dengan manusianya, karena manusia merupakan pelaksana
yang sangat menentukan keberhasilan implementasi prinsip-prinsip tersebut
sehingga tercipta kesejahteraan di kalangan masyarakatnya.
Sejalan dengan hal tersebut, prinsip persamaan hak dalam setiap sistem hukum demokrasi
dianggap sebagai rukun inti di dalamnya, sebab mencakup hak-hak dan
kebebasan-kebebasan mendasar bagi individu. Maksudnya adalah persamaan hak yang
berkenaan dengan undang-undang atau sipil dan dikenal dengan demokrasi politik.
Namun, maksud itu tidak berlangsung lama bersama pertumbuhan pemikiran pemikiran
sosialis. Ia mengarahkan perhatiannya kepada-hak-hak sosial, setelah ia
terfokus pada hak-hak politik.
Persamaan hak mencakup beragam bidang kehidupan
sosial. maka, undang-undang Negara-negara demokrat menetapkan persamaan hak di
hadapan undang-undang, persamaan hak di hadapan peradilan, persamaan hak di
hadapan tugas-tugas umum, dan persamaan hak dalam mempergunakan fasilitas umum.
Apabila dilihat dari konsep nomokrasi Islam, maka
Pasal 27 UUD 1945
mengandung dua prinsip nomokrasi Islam, yaitu persamaan dan prinsip ketaatan.
Prinsip ketaatan yang terkandung dalam pasal 27 UUD 1945 secara eksplisit
dinyatakan dalam Al-Qur’an surat An-Nisâ’ ayat 59.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisâ’
(4): 59)
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 dijelaskan tentang tujuan daripada Negara Indonesia
yang tercantum dalam kalimat ‘kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. penulis
beranggapan bahwa tujuan-tujuan tersebut tidak bertentangan dengan salah satu
tujuan syariat Islam.
Sehingga dalam hal ini, jika dilihat dari segi
prinsip-prinsip tersebut, hemat penulis Negara Indonesia mempunyai kedekatan
dengan prinsip-prinsip Negara hukum. Namun, bila dibandingkan dengan
pelaksanaan Piagam Madinah dan dilihat dari siyâsah syar’iyyah, pelaksanaan UUD
1945 masih sangat memerlukan usaha-usaha untuk makin mendekatkan pelaksanaan
UUD 1945 kepada agama dan menghindarkannya dari kemungkinan adanya pelaksanaan
yang bertentangan dengan agama.
Oleh karena itu, seperti yang sudah penulis jelaskan
bahwa implementasi prinsip-prinsip ini akan terlaksana dengan baik jika
manusiannya khususnya para pelaksananya memahami dan menerapkan betul apa yang
terkandung di dalamnya.
Dari pemahaman tersebut, maka dari segi ini, kita dapat menemukan beberapa persamaan prinsip-prinsip antara nomokrasi Islam dengan hukum pancasila di Indonesia.
Wallahu a'lam
Dari pemahaman tersebut, maka dari segi ini, kita dapat menemukan beberapa persamaan prinsip-prinsip antara nomokrasi Islam dengan hukum pancasila di Indonesia.
Wallahu a'lam
Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
BalasHapuscuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
yuu buruan segera daftarkan diri kamu
Hanya di dewalotto
Link alternatif :
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com