Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) memiliki nama lengkap Ahmad Ibn Abi Al-Halim Ibn ‘Abd
As-Salam Ibn Abdullah Ibn Muhamad Ibn Al-Khadhr Ibn Muhammad Ibn Al-Khidhr Ibn
Ali Ibn Abdullah Ibn Taimiyyah Al-Harraniy kemudian Al-Dimasyqi. Beliau dilahirkan pada hari senin
tanggal 10 Rabi’ul Awal 661 H di Harran (dekat Damaskus) Suriah. Beliau dilahirkan lima tahun
setelah jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Tatar, yang berarti masa kekuasaan dinasti
Abbasiyah telah berakhir.
Beliau dikenal dengan laqab “Ibnu Taimiyyah” karena
kakeknya Muhammad bin Al-Khidhr pergi menunaikan haji dan dia mempunyai istri
yang tengah hamil (yang ditinggalkannya) melewati daerah Taima’. Disana
kakeknya tersebut melihat seorang anak perempuan yang masih kecil keluar dari
tempat persembunyiannya (karena sedang bermain). Ketika sang kakek kembali ke
Harran, ia mendapati istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan (yang
kemudian akan menjadi Ibu Ibnu Taimiyyah), maka ketika dia meliahatnya, ia
teringat anak perempuan di daerah Taima’ mengatakan, “Ya Taimiyyah, ya
Taimiyyah”, sehingga kemudian Ahmad digelari dengan Ibnu Taimiyyah (anak
Taimiyyah). Riwayat lain menyebutkan bahwasanya Muhammad ini mempunyai Ibu yang
dikenal dengan nama Taimiyyah, dan Ibunya tersebut adalah seorang pemberi
nasihat, maka Ahmad dinisbahkan kepadanya dan kemudian dikenal dengan laqab
“Ibnu Taimiyyah.”
Ayah dan kakeknya adalah seorang ulama dan ahli
hadits. Kakeknya adalah seorang penulis kitab Muntaqa Al-Akhbâr yang
dikenal dengan syarahnya dalam kitab Nailul Authâr karya As-Syaukani (w.
1250 H).
Ibnu Taimiyyah dibesarkan dalam lingkungan
intelektual murni yang mayoritas
komunitas di sekitar lingkungan tersebut menekuni bidang-bidang keilmuan,
seperti fikih, filsafat, dan juga ilmu-ilmu lainnya. Ibnu Taimiyyah
menghabiskan masa kecilnya di Harran selama enam tahun.
Pada usia enam tahun, beliau mengikuti ayahnya
pindah ke Damaskus demi menghindar dari kedazaliman dan kesewenang-wenangan
bangsa Tatar.
Ayahnya adalah salah seorang ulama terkemuka dari
madzhab Hambali. Bahkan, kakeknya Syaikh Al-Islam Abu Al-Barakat Abd As-Salam bin
Abdullah juga merupakan salah seorang ahli fikih Hambali, yang juga ahli tafsir
dan hadits.
Sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyyah banyak belajar
kepada banyak ulama. Di Damaskus, semula beliau belajar dari ayahnya sendiri
Abdul Halim (w. 682 H), kemudian beliau berguru kepada para ulama yang lainnya.
Diantara guru-guru beliau adalah: Ahmad bin Abd Ad-Da’im Al-Maqdisi
(w. 668 H), Syamsuddin
bin Abu Umar Al-Hambali (w. 675 H), Jamaluddin Yahya bin Ash-Shairafi (w.
656 H), Muhammad
bi Abdul Qawiyy bi Badran Al-Maqdisi (w. 699 H), Abdurrahman bin
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi (w. 682 H), Munji bin Utsman bin
As’ad bin Al-Munji Ad-Dimasyqi (w. 695 H), Abbas
bin Umar bin Abdan Al-Ba’li (w. 681 H), Muhammad
bin Ismail bin Abi Sa’d bin Ali Asy-Syaibani (w. 704 H), Jamaluddin Yahya bin
Ash-Shoirafi (w. 606 H), Al-Kamal
Abdurrahim (w. 653 H), Zainab binti Makki (w. 688 H), Sitt Al-‘Arab (w. 684
H), dan lain-lain.
Adapun di antara murid-murid beliau adalah: Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah
(w. 751 H), Syamsuddin Abdullah Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi
(w. 748 H), Muhammad
bin Ahmad bin Abdul Hadi (w. 744 H), Ibnu Katsir (w. 774 H), Muhammad bin Al-Munajja
Syarafuddin (w. 724 H), Ahmad
bin Al-Hasan bin Abdillah bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah (w. 771 H), Khalil bin Kaikaladi
bin Abdillah Al-‘Allai Ad-Dimasyqi (w. 761 H), Yûsuf al-Muzzi (w. 742 H), Ibnu Abdil Hadi (744 H), Umar Al-Bazzar (749 H), Ibnu Fadhlullah al-Umari (749 H), Yusuf bin Abd al-Mahmud (w. 726 H), Ibnu Syaikh al-Kharamiyyin (711 H), Abu Al-Abbas Az-Zar`i (w. 761 H), Ummu Zainab binti Abbas (w. 714 H), dan
lain-lain.
Ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam menuntut
ilmu menjadikannya menguasai berbagai ilmu. Sehingga dalam hal ini, Adz-Dzahabi
(w. 748 H) berkomentar, “beliau adalah seorang yang luar biasa ketika berbicara
tentang suatu masalah khilâfiyah, ketika beristidlal dan mentarjih.
Sehingga beliau berkomentar bahwa beliau tidak pernah melihat orang ang lebih
cepat dari beliau dalam mengambil ayat yang menjadi dalil atas masalah yang
tengah dibicarakannya, dan tidak ada yang lebih berilian dari beliau dalam
mengingat perkataan dan sumber rujukannya. Beliau adalah salah seorang yang
mendapatkan hak ijtihad karena pada diri beliau telah terkumpul syarat-syarat
sebagai seorang mujtahid.” Selain itu beliau juga mengatakan bahwa
barang siapa yang bergaul dengan beliau dan mengenal beliau dari dekat, mungkin
akan mengatakan bahwa saya tidak cukup baik dalam menggambarkan beliau, dan
sebaliknya orang yang memusuhi Ibnu Taimiyah akan mengatakan bahwa saya telah
berlebihan pada diri beliau.
Selain itu, Syaikh Kamaluddin bin Az-Zamlakani (w.
727 H) berkata, “Syaikhul Islam apabila ditanya dalam suatu disiplin ilmu,
orang yang meihat dan mendengar jawaban beliau mereka akan mengira bahwa beliau
hanya berilmu tentang disiplin ilmu yang satu itu, dan menghukumi bahwa tak
seorang pun yang mengetahui seperti itu (karena luasnya ilmu dan pengetahuan
beliau tentang suatu masalah. Dan para ulama fikih dari semua golongan dan
kelompok, apabila mereka menghadiri majelis beliau, mereka akan mengambil
banyak manfaat dari beliau tentang madzhab mereka sendiri dalam banyak hal.
Pada usia 20 tahun, ketika ayahnya wafat, beliau
mulai memperlihatkan perhatian besar untuk mempelajari fikih Hambali, disamping
mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits, dan teologi. Kemudian, pada usia 25
tahun, ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru dan khatib di
masjid-masjid sekaligus mengawali kariernya yang controversial dalam kehidupan
masyarakat. Ia terkenal sebagai seorang yang tajam dalam intuisinya, berfikir,
dan bersikap bebas, konsisten terhadap kebenaran, piawai dalam berpidato, penuh
keberanian dan ketekunan.
Disamping beliau dikenal sebagai ulama yang hebat
dan pemberani, beliau juga seorang yang dermawan dan baik hati serta
mendahulukan orang-orang yang membutuhkan dari dari diri beliau sendiri. Beliau
juga dikenal sebagai orang yang memiliki firasat tajam.
Sebagai seorang ilmuan, Ibnu Taimiyyah mendapatkan
reputasi sebagai seorang yang berwawasan luas dan menguasai banyak cabang ilmu
pengetahuan agama. Beliau seorang ahli dalam bidang tafsir, hadits, teologi,
dan fikih, khususnya fikih Hambali.
Karena keilmuan beliau yang luar biasa, banyak para
ulama yang ingin berdiskusi dengan beliau dalam sebuah perdebatan, diantara
ulama-ulama tersebut adalah Syaikh Shafiyuddin Al-Hindi dan Syaikh Kamaluddin
bin Az-Zamkalani.
Beliau adalah seorang ulama yang aktif dan produktif
dalam berkarya. Diantara tulisan-tulisannya yang terkait dengan politik antara
lain: As-Siyâsah As-Syar’iyyah Fî Ishlâhi Ar-Râ’î wa Ar-Râ’iyyah, Al-Khilâfah
wa Al-Mulk, Minhâj As-Sunnah An-Nabawiyyah fî Naqd Al-Kalâm Asy-Syî’ah
wa Al-Qadariyyah, dan lain-lain.
Beliau wafat
pada malam senin tanggal 20 Dzulhijjah 728 H. sebelumnya beliau dalam keadaan
sakit selama lebih dari dua puluh hari, namun kebanyakan orang tidak mengetahui
tentang sakitnya beliau. Beliau dimakamkan di samping saudaranya yaitu Zainuddin
Abdurrahman.
Ibnu Taimiyyah hidup pada masa dunia Islam mengalami
puncak disintegrasi politik, dislokasi social dan dekadensi akhlak serta moral.
Seperti sudah diketahui, sepanjang abad ke-13 M dunia Islam dilanda krisis
kekuasaan politik. Dunia Islam dihadapkan pada bahaya-bahaya, yaitu pasukan
perang salib dari Eropa, tentara Mongol dari timur, dan disintegrasi politik
dalam tubuh umat Islam.
Pasukan salib yang menyerbu Palestina dan Suriah,
kemudian membantai kaum muslimin yang akhirnya kekuasaan pemerintahan tidak
lagi berada di bawah khilafah yang pada saat itu bertahta di Baghdad, melainkan
pada kekuasaan-kekuasaan kecil di
pesisir pantai laut tengah di bawah proteksi kerajaan Perancis dan kerajaan-kerajaan
Eropa lainnya.
Pada saat yang sama, secara politis umat Islam
terancam disintegrasi karena khalifah Abbasiyah di Baghdad seolah-olah hanya
merupakan wayang yang didalangi oleh dinasti Saljuk, sementara imperium Saljuk
sendiri terpilah-pilah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang saling berperang.
Akan tetapi, marabahaya yang paling fatal adalah serbuan tentara Mongol.
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari
Asia tengah. Negeri mereka adalah Mongolia sebuah kawasan terjauh di Cina.
Mereka terdiri dari kumpulan besar dari kabilah-kabilah yang beragam yang
kemudian disatukan oleh Jenghis Khan
dan menjadikan Khurah Quram sebagai ibukota pemerintahannya.
Setelah hampir tujuh ratus tahun tumbuh dan berjaya
dalam melakukan hegemoni politik global, dengan penetrasi yang luas yaitu mulai
dari semenanjung Syiberia (Spanyol) di sebelah barat hingga perbatasan Cina di
sebelah timur. Sehingga dalam hal ini Islam tidak berdaya mengahadapi serbuan
tentara Mongol yang berhasil merebut Baghdad (Ibukota pemerintahan bani Abbas)
pada tahun 1258 M. Bahkan, selang dua tahun kemudian, bangsa Tatar itu terus
maju merambah kesebelah Barat dunia Islam, menguasai Damaskus dan Aleppo
(Suriah). Namun, satu-satunya pemerintahan yang masih bertahan dan pada
akhirnya mengusir kekuasaan bangsa Mongol adalah dinasti Mamluk di Mesir yang
berdiri sejak tahun 1250 M.
Hal tersebut mengakibatkan kekuasaan pemerintahan
tidak lagi berada di tangan khalifah yang bertahta di Baghdad, melainkan pada
penguasa-penguasa wilayah atau daerah, baik itu yang bergelar sultan, raja,
atau amir.
Dengan berakhirnya dinasti Abbasiyah, maka setiap
penguasa wilayah bebas mengenakan gelar khalifah yang pada saat itu hanya
penguasa dari dinasti Mamluk di Mesir yang dipimpin oleh pangeran Abu al-Qasim
Ahmad bin Amir al-Mu’minin (paman khalifah Mus’ta’shim yang dibunuh oleh bangsa
Tatar di Baghdad dengan gelar baru Al-Muntashir bi Allâh
pada tahun 659 H.
Ketika Khalifah berhasil menaklukan Al-Haditsah dan
Hita, maka datanglah tentara Tatar sehingga pada tahun 660 H terjadilah
peperangan diantara keduanya. Sebagian orang-orang muslim terbunuh dalam
peperangan tersebut,. Sedangkan Khalifah Al-Muntashir sendiri dihukum pancung,
namun ada yang mengatakan bahwa ia melarikan diri. Kemudian jabatan khalifah
digantikan oleh Al-Hâkim Bi Amrillâh
berhasil melarikan diri ketika penyerangan bangsa Tartar.
Masyarakat pada masa Ibnu Taimiyah sangat heterogen,
baik dalam kebangsaan, status social, agama, aliran, budaya, dan hukum. Sebagai
akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat
tinggi. Dan dalam satu wilayah terdapat banyak macam bangsa, seperti Arab asal
Irak, Arab asal Suriah, Mesir, Turki, Tatar yang jatuh tertawan dan kemudian
menetap, Armenia, dan sebagainya. Mereka semua berbeda satu sama lain dalam
adat istiadat, tradisi, perilaku, dan alam pikiran. Hal tersebut tentu akan
rawan menimbilkan perpecahan dan pertengkaran dan tentu suasana demikian sukar
untuk menciptakan stabilitas politik, keserasian sosial, dan pemupukan moral
serta akhlak.
Sejalan tersebut, pada saat itu banyaknya perbedaan aliran
dan madzhab juga menjadi sebab rawannya perpecahan di masyarakat. Oleh karena
itu, sangat sulit untuk menciptakan suasana politik yang stabil dan
keseimbangan sosial, sehingga beliau sering menghadapi fitnah sehingga beliau
sering masuk penjara.
Diantara fitnah-fitnah tersebut yang membuat beliau
dipenjara adalah fitnah yang dikobarkan oleh seorang nashrani yang mengaku sebagai
seorang muslim. Orang tersebut mengadukan bahwa Ibnu Taimiyyah mencela dan
mencaci Rasulullah SAW yang kemudian beliau dipenjara pada tahun 693 H.
kemudian pada tahun 704 H, karena masalah “Allah SWT bersemayam di atas ‘Arsy”
dan “Allah turun ke langit dunia”.
Ibnu Taimiyyah hidup di tengah-tengah pergulatan
seru dan berkepanjangan dengan segala dampak kemerosotan politik dan agama.
Beliau mendapati kesucian dan kemuliaan akidah telah ternodai oleh
percikan-percikan berbagai amalan bid’ah dalam agama.
Beliau hidup dengan jiwa yang dipenuhi rasa
keyakinan dan keimanan akan keagungan Islam. Dari situ beliau mulai menyusun
sasaran-sasaran perjuangan yang cukup beragam, mulai dari perjuangan serangan
yang dilancarkan musuh-musuh Islam dengan kekuatan senjata sampai perjuangan
untuk mengembalikan kaum muslimin dari akidah sesat menuju akidah salafiyah.
Dari dasar uraian yang telah dijelaskan di atas,
dapat diketahui bahwa Ibnu Taimiyyah mencoba untuk memperbaiki situasi
masyarakatnya. Ibnu Taimiyyah beranggapan bahwa rusaknya umat ini disebabkan
oleh rusaknya para pemimpin dan kurang tepatnya para pemimpin itu memilih
wakil-wakil dan pembantunya, baik di pemerintahan pusat maupun di daerah. Oleh
karena itu, beliau menyajikan suatu contoh atau model pemerintahan menurut
Islam berdasarkan keyakinan bahwa umat hanya mungkin diatur dengan baik oleh
pemerintah yang baik.
Sejalan dengan hal tersebut, beliau memandang perlu
ada pemerintahan. Sebab, tidak ada manusia yang mampu meraih kebahagiaan
sempurna, baik di dunia maupun di akhirat tanpa bergabung dengan sebuah ijtima’
yang mewujudkan kerja sama dan tolong menolong dalam mendapatkan kebaikan dan
menolak apapun yang membahayakan. Manusia sebagai makhluk politik seyogyanya
mampu mengatur secara ijtima’ dengan berbagai aturan.
Di antara dalil yang mendasari
pemikiran beliau adalah surat An-Nisa’ ayat 58-59 (58). Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (59).
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Q.S. An-Nisâ’ (4): 58-59)
Menurut Ibnu Taimiyyah,
surat An-Nisa’ ayat 58 dimaksudkan untuk para pemimpin Negara. Demi terciptanya
kehidupan bernegara yang serasi hendaknya mereka menyampaikan amanat kepada
pihak yang berhak atas amanat tersebut dan mengambil keputusan dengan adil dalam
sebuah permasalahan.
Munawwir Sjadzali (w.
2004 M) memandang bahwa
menurut Ibnu Taimiyyah, perkataan amanat pada ayat 58 surat An-Nisa’ itu
mempunyai dua arti, yaitu:
Pertama, amanat diartikan sebagai
kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala Negara
untuk mengelolanya. Dan pengelolaannya akan baik dan sempurna jika dalam
pengangkatan para pembantunya seorang kepala Negara memilih orang-orang yang
mempunyai kecakapan dan kemampuan yang baik. Menurut beliau, sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW dan pernyataan Umar bin Khattab RA, kalau seorang kepala Negara
menyimpang dan mengangkat seseorang untuk suatu jabatan sedangkan masih
terdapat orang-orang yang lebih cakap dari dia, maka kepala Negara tersebut
telah berkhianat.
Kedua, perkataan amanat pada ayat tersebut
berarti pula kewenangan memerintah yang dimiliki kepala Negara, dan kalau untuk
melaksanakannya ia memerlukan wakil-wakil dan pembantu-pembantu, maka hendaknya
seorang kepala Negara memilih orang-orang yang mempunyai kemampuan yang baik
tentang pemerintahan.
Adapun surat An-Nisa
ayat 59, menurut beliau ayat tersebut ditujukan kepada rakyat. Mereka
diperintahkan supaya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta taat kepada para
pemimpin mereka selama pemimpin tersebut tidak dalam keadaan bermaksiat kepada
Allah SWT.
Maka, dalam hal ini Ibnu Taimiyyah memandang
menegakkan Negara merupakan salah satu tugas untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Oleh karena itu beliau berpendapat bahwa agama tidak dapat hidup
tanpa adanya Negara. Dan wajib bagi manusia untuk mendirikan Negara Islam (Al-Wilayah)
karena agama tidak bisa berdiri tanpa Negara. Sebaliknya, kekuasaan negara
tanpa adanya agama, maka akan menjadi Negara tiranik.
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa pendapat
Ibnu Taimiyyah tentang Negara didasarkan pada nash dan akal. Dalam konteks
nash, banyak hadits yang menekankan perlunya kepemimpinan dan pemerintahan.
Sedangkan dari sisi akal, diasarkan pada kebutuhan manusia untuk bergabung,
bekerja sama, dan membutuhkan kepemimpinan.
Pemerintahan dalam Islam memiliki peran penting
untuk mewujudkan tujuan syariat. Karena itu, kepala Negara dalam menunjuk
pembantu-pembantunya sudah semestinya mencari orang-orang yang secara objektif
benar-benar memiliki kualitas seorang pemimpin.
Oleh karena itu, menegakkan agama merupakan tugas
yang berfungsi untuk memasyarakatkan ketauhidan, menegakkan keadilan, dan
mempersiapkan Negara yang melaksanakan hukum-hukum syariat.
Berbicara tentang konsep Negara, dalam hal ini
penulis beranggapan bahwa teori kedaulatan Negara menurut Ibnu Taimiyyah lebih
dekat kepada teori kedaulatan hukum, dan konsep negaranya lebih dekat kepada
nomokrasi atau
Negara syariat. Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, Ibnu Taimiyyah
berpendapat bahwa hukum yang harus diterapkan adalah hukum syariat.
Selanjutnya, ketaatan kepada penguasa hanya berlaku jika penguasa tersebut taat
kepada Allah SWT.
Kedua, penerapan hukum yang dilakukan tanpa melihat status social, baik
kepada orang terhormat maupun tidak. Ketiga, penindakan hukum bagi
pelanggar dibutuhkan saksi/bukti yang memadai. Keempat, penetapan hukum
yang berkaitan dengan hak-hak manusia seperti qishash dan hudud
dalam upaya memelihara jiwa dan harta seseorang.
Penerapan hukuman tersebut hanya dapat dilakukan
oleh pemerintah. Maka, umat Islam menurut Ibnu Taimiyyah harus berupaya untuk
menerapkan Negara Islam (khilâfah).
Dalam nomokrasi Islam terdapat prinsip-prinsip umum
yang dimilikinya, seperti prinsip kekuasaan sebagai amanah, prinsip musyawarah,
prinsip keadilan, prinsip kesamaan, prinsip perdamaian, prinsip kesejahteraan,
dan prinsip ketaatan rakyat.
Dalam hal ini, Negara hukum (nomokrasi Islam)
sebenarnya merupakan kontektualisasi dan reinterpritasi terhadap prinsip
musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an. Sehingga, Muhammad Abduh
berpendapat bahwa Negara yang paling sejahtera adalah Negara yang di dalamnya
berlaku aturan perundang-undangan yang mampu mewujudkan kebaikan umum.
Sehubungan dengan Negara hukum, Ibnu Taimiyyah berpendapat
bahwa dalam penunjukan pembantu-pembantu seperti menteri (wazîr),
hakim, maupun pejabat daerah, seorang kepala Negara harus berusaha mencari
orang-orang yang secara objektif betul-betul memiliki kemampuan untuk
jabatan-jabatan tersebut. Maka mengharapkan
pemimpin yang amanah, berkredibilitas dan berintegritas moral yang tinggi agar
kebijakan dalam penindakan hukum dapat berjalan dengan baik. Adapun fungsi Negara yang paling utama adalah menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana beliau menyatakan, “seluruh
kekuasaan keagamaan dimaksudkan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
baik pada kekuasaan besar seperti negara ataupun kekuasaan kecil seperti
pemerintahan daerah.
Penegakkan amar ma’ruf nahi munkar sejajar
dengan upaya mewujudkan tata sosial politik yang kondusif dengan ketertiban
hukum yang adil dn beriman serta merealisasikan syariat. Oleh karena itu,
institusi Negara sangat diperlukan untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Melalui penegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
menurut Ibnu Taimiyyah Negara mempunyai lima fungsi: Pertama,
pelaksanaan dasar-dasar agama Islam. Kedua, penegakkan hukum, keadilan,
dan perlindungan hak-hak. Ketiga, pemeliharaan ketertiban dan
keseimbangan ekonomi. Keempat, penyediaan infrastruktur sosial. Dan kelima,
pembelaan keamanan Negara.
Dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah karya
Ibnu Taimiyyah terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama beliau menguraikan
tentang penyampaian amanat kepada yang berhak khususnya tentang pengangkatan
seorang pemimpin (walâyat) dan pengelolaan kekayaan negara harta benda rakyatnya.
Kemudian pada bagian kedua beliau membahas tentang pelaksanaan hukum-hukum
pidana baik itu menyangkut hak-hak Allah (huqûq Allâh) dan hak-hak
manusia (huqûq Al-‘Ibâd).
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar