Home » , » PEMIKIRAN POLITIK HUKUM IBNU TAIMIYYAH

PEMIKIRAN POLITIK HUKUM IBNU TAIMIYYAH

Written By agus on Minggu, 01 November 2015 | 20.31


Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) memiliki nama lengkap  Ahmad Ibn Abi Al-Halim Ibn ‘Abd As-Salam Ibn Abdullah Ibn Muhamad Ibn Al-Khadhr Ibn Muhammad Ibn Al-Khidhr Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Taimiyyah Al-Harraniy kemudian Al-Dimasyqi. Beliau dilahirkan pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awal 661 H di Harran (dekat Damaskus) Suriah. Beliau dilahirkan lima tahun setelah jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Tatar, yang berarti masa kekuasaan dinasti Abbasiyah telah berakhir.
Beliau dikenal dengan laqab “Ibnu Taimiyyah” karena kakeknya Muhammad bin Al-Khidhr pergi menunaikan haji dan dia mempunyai istri yang tengah hamil (yang ditinggalkannya) melewati daerah Taima’. Disana kakeknya tersebut melihat seorang anak perempuan yang masih kecil keluar dari tempat persembunyiannya (karena sedang bermain). Ketika sang kakek kembali ke Harran, ia mendapati istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan (yang kemudian akan menjadi Ibu Ibnu Taimiyyah), maka ketika dia meliahatnya, ia teringat anak perempuan di daerah Taima’ mengatakan, “Ya Taimiyyah, ya Taimiyyah”, sehingga kemudian Ahmad digelari dengan Ibnu Taimiyyah (anak Taimiyyah). Riwayat lain menyebutkan bahwasanya Muhammad ini mempunyai Ibu yang dikenal dengan nama Taimiyyah, dan Ibunya tersebut adalah seorang pemberi nasihat, maka Ahmad dinisbahkan kepadanya dan kemudian dikenal dengan laqab “Ibnu Taimiyyah.”
Ayah dan kakeknya adalah seorang ulama dan ahli hadits. Kakeknya adalah seorang penulis kitab Muntaqa Al-Akhbâr yang dikenal dengan syarahnya dalam kitab Nailul Authâr karya As-Syaukani (w. 1250 H).
Ibnu Taimiyyah dibesarkan dalam lingkungan intelektual murni  yang mayoritas komunitas di sekitar lingkungan tersebut menekuni bidang-bidang keilmuan, seperti fikih, filsafat, dan juga ilmu-ilmu lainnya. Ibnu Taimiyyah menghabiskan masa kecilnya di Harran selama enam tahun.
Pada usia enam tahun, beliau mengikuti ayahnya pindah ke Damaskus demi menghindar dari kedazaliman dan kesewenang-wenangan bangsa Tatar.
Ayahnya adalah salah seorang ulama terkemuka dari madzhab Hambali. Bahkan, kakeknya Syaikh Al-Islam Abu Al-Barakat Abd As-Salam bin Abdullah juga merupakan salah seorang ahli fikih Hambali, yang juga ahli tafsir dan hadits.
Sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyyah banyak belajar kepada banyak ulama. Di Damaskus, semula beliau belajar dari ayahnya sendiri Abdul Halim (w. 682 H), kemudian beliau berguru kepada para ulama yang lainnya.
Diantara guru-guru beliau adalah: Ahmad bin Abd Ad-Da’im Al-Maqdisi (w. 668 H), Syamsuddin bin Abu Umar Al-Hambali (w. 675 H), Jamaluddin Yahya bin Ash-Shairafi (w. 656 H), Muhammad bi Abdul Qawiyy bi Badran Al-Maqdisi (w. 699 H), Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi (w. 682 H), Munji bin Utsman bin As’ad bin Al-Munji Ad-Dimasyqi (w. 695 H), Abbas bin Umar bin Abdan Al-Ba’li (w. 681 H), Muhammad bin Ismail bin Abi Sa’d bin Ali Asy-Syaibani (w. 704 H), Jamaluddin Yahya bin Ash-Shoirafi (w. 606 H), Al-Kamal Abdurrahim (w. 653 H), Zainab binti Makki (w. 688 H), Sitt Al-‘Arab (w. 684 H), dan lain-lain.
Adapun di antara murid-murid beliau adalah: Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (w. 751 H), Syamsuddin Abdullah Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi (w. 748 H), Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi (w. 744 H), Ibnu Katsir  (w. 774 H), Muhammad bin Al-Munajja Syarafuddin (w. 724 H), Ahmad bin Al-Hasan bin Abdillah bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah (w. 771 H), Khalil bin Kaikaladi bin Abdillah Al-‘Allai Ad-Dimasyqi (w. 761 H), Yûsuf al-Muzzi (w. 742 H), Ibnu Abdil Hadi (744 H), Umar Al-Bazzar (749 H), Ibnu Fadhlullah al-Umari (749 H), Yusuf bin Abd al-Mahmud (w. 726 H), Ibnu Syaikh al-Kharamiyyin (711 H), Abu Al-Abbas Az-Zar`i (w. 761 H), Ummu Zainab binti Abbas (w. 714 H), dan lain-lain.
Ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam menuntut ilmu menjadikannya menguasai berbagai ilmu. Sehingga dalam hal ini, Adz-Dzahabi (w. 748 H) berkomentar, “beliau adalah seorang yang luar biasa ketika berbicara tentang suatu masalah khilâfiyah, ketika beristidlal dan mentarjih. Sehingga beliau berkomentar bahwa beliau tidak pernah melihat orang ang lebih cepat dari beliau dalam mengambil ayat yang menjadi dalil atas masalah yang tengah dibicarakannya, dan tidak ada yang lebih berilian dari beliau dalam mengingat perkataan dan sumber rujukannya. Beliau adalah salah seorang yang mendapatkan hak ijtihad karena pada diri beliau telah terkumpul syarat-syarat sebagai seorang mujtahid.” Selain itu beliau juga mengatakan bahwa barang siapa yang bergaul dengan beliau dan mengenal beliau dari dekat, mungkin akan mengatakan bahwa saya tidak cukup baik dalam menggambarkan beliau, dan sebaliknya orang yang memusuhi Ibnu Taimiyah akan mengatakan bahwa saya telah berlebihan pada diri beliau.
Selain itu, Syaikh Kamaluddin bin Az-Zamlakani (w. 727 H) berkata, “Syaikhul Islam apabila ditanya dalam suatu disiplin ilmu, orang yang meihat dan mendengar jawaban beliau mereka akan mengira bahwa beliau hanya berilmu tentang disiplin ilmu yang satu itu, dan menghukumi bahwa tak seorang pun yang mengetahui seperti itu (karena luasnya ilmu dan pengetahuan beliau tentang suatu masalah. Dan para ulama fikih dari semua golongan dan kelompok, apabila mereka menghadiri majelis beliau, mereka akan mengambil banyak manfaat dari beliau tentang madzhab mereka sendiri dalam banyak hal.
Pada usia 20 tahun, ketika ayahnya wafat, beliau mulai memperlihatkan perhatian besar untuk mempelajari fikih Hambali, disamping mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits, dan teologi. Kemudian, pada usia 25 tahun, ia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru dan khatib di masjid-masjid sekaligus mengawali kariernya yang controversial dalam kehidupan masyarakat. Ia terkenal sebagai seorang yang tajam dalam intuisinya, berfikir, dan bersikap bebas, konsisten terhadap kebenaran, piawai dalam berpidato, penuh keberanian dan ketekunan.
Disamping beliau dikenal sebagai ulama yang hebat dan pemberani, beliau juga seorang yang dermawan dan baik hati serta mendahulukan orang-orang yang membutuhkan dari dari diri beliau sendiri. Beliau juga dikenal sebagai orang yang memiliki firasat tajam.
Sebagai seorang ilmuan, Ibnu Taimiyyah mendapatkan reputasi sebagai seorang yang berwawasan luas dan menguasai banyak cabang ilmu pengetahuan agama. Beliau seorang ahli dalam bidang tafsir, hadits, teologi, dan fikih, khususnya fikih Hambali.
Karena keilmuan beliau yang luar biasa, banyak para ulama yang ingin berdiskusi dengan beliau dalam sebuah perdebatan, diantara ulama-ulama tersebut adalah Syaikh Shafiyuddin Al-Hindi dan Syaikh Kamaluddin bin Az-Zamkalani.
Beliau adalah seorang ulama yang aktif dan produktif dalam berkarya. Diantara tulisan-tulisannya yang terkait dengan politik antara lain: As-Siyâsah As-Syar’iyyah Fî Ishlâhi Ar-Râ’î wa Ar-Râ’iyyah, Al-Khilâfah wa Al-Mulk, Minhâj As-Sunnah An-Nabawiyyah fî Naqd Al-Kalâm Asy-Syî’ah wa Al-Qadariyyah, dan lain-lain.
Beliau wafat pada malam senin tanggal 20 Dzulhijjah 728 H. sebelumnya beliau dalam keadaan sakit selama lebih dari dua puluh hari, namun kebanyakan orang tidak mengetahui tentang sakitnya beliau. Beliau dimakamkan di samping saudaranya yaitu Zainuddin Abdurrahman.
Ibnu Taimiyyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi social dan dekadensi akhlak serta moral. Seperti sudah diketahui, sepanjang abad ke-13 M dunia Islam dilanda krisis kekuasaan politik. Dunia Islam dihadapkan pada bahaya-bahaya, yaitu pasukan perang salib dari Eropa, tentara Mongol dari timur, dan disintegrasi politik dalam tubuh umat Islam.
Pasukan salib yang menyerbu Palestina dan Suriah, kemudian membantai kaum muslimin yang akhirnya kekuasaan pemerintahan tidak lagi berada di bawah khilafah yang pada saat itu bertahta di Baghdad, melainkan pada kekuasaan-kekuasaan  kecil di pesisir pantai laut tengah di bawah proteksi kerajaan Perancis dan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya.
Pada saat yang sama, secara politis umat Islam terancam disintegrasi karena khalifah Abbasiyah di Baghdad seolah-olah hanya merupakan wayang yang didalangi oleh dinasti Saljuk, sementara imperium Saljuk sendiri terpilah-pilah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang saling berperang. Akan tetapi, marabahaya yang paling fatal adalah serbuan tentara Mongol.
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia tengah. Negeri mereka adalah Mongolia sebuah kawasan terjauh di Cina. Mereka terdiri dari kumpulan besar dari kabilah-kabilah yang beragam yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan dan menjadikan Khurah Quram sebagai ibukota pemerintahannya.
Setelah hampir tujuh ratus tahun tumbuh dan berjaya dalam melakukan hegemoni politik global, dengan penetrasi yang luas yaitu mulai dari semenanjung Syiberia (Spanyol) di sebelah barat hingga perbatasan Cina di sebelah timur. Sehingga dalam hal ini Islam tidak berdaya mengahadapi serbuan tentara Mongol yang berhasil merebut Baghdad (Ibukota pemerintahan bani Abbas) pada tahun 1258 M. Bahkan, selang dua tahun kemudian, bangsa Tatar itu terus maju merambah kesebelah Barat dunia Islam, menguasai Damaskus dan Aleppo (Suriah). Namun, satu-satunya pemerintahan yang masih bertahan dan pada akhirnya mengusir kekuasaan bangsa Mongol adalah dinasti Mamluk di Mesir yang berdiri sejak tahun 1250 M.
Hal tersebut mengakibatkan kekuasaan pemerintahan tidak lagi berada di tangan khalifah yang bertahta di Baghdad, melainkan pada penguasa-penguasa wilayah atau daerah, baik itu yang bergelar sultan, raja, atau amir.
Dengan berakhirnya dinasti Abbasiyah, maka setiap penguasa wilayah bebas mengenakan gelar khalifah yang pada saat itu hanya penguasa dari dinasti Mamluk di Mesir yang dipimpin oleh pangeran Abu al-Qasim Ahmad bin Amir al-Mu’minin (paman khalifah Mus’ta’shim yang dibunuh oleh bangsa Tatar di Baghdad dengan gelar baru Al-Muntashir bi Allâh pada tahun 659 H.
Ketika Khalifah berhasil menaklukan Al-Haditsah dan Hita, maka datanglah tentara Tatar sehingga pada tahun 660 H terjadilah peperangan diantara keduanya. Sebagian orang-orang muslim terbunuh dalam peperangan tersebut,. Sedangkan Khalifah Al-Muntashir sendiri dihukum pancung, namun ada yang mengatakan bahwa ia melarikan diri. Kemudian jabatan khalifah digantikan oleh Al-Hâkim Bi Amrillâh berhasil melarikan diri ketika penyerangan bangsa Tartar.
Masyarakat pada masa Ibnu Taimiyah sangat heterogen, baik dalam kebangsaan, status social, agama, aliran, budaya, dan hukum. Sebagai akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dan dalam satu wilayah terdapat banyak macam bangsa, seperti Arab asal Irak, Arab asal Suriah, Mesir, Turki, Tatar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap, Armenia, dan sebagainya. Mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, perilaku, dan alam pikiran. Hal tersebut tentu akan rawan menimbilkan perpecahan dan pertengkaran dan tentu suasana demikian sukar untuk menciptakan stabilitas politik, keserasian sosial, dan pemupukan moral serta akhlak.
Sejalan tersebut, pada saat itu banyaknya perbedaan aliran dan madzhab juga menjadi sebab rawannya perpecahan di masyarakat. Oleh karena itu, sangat sulit untuk menciptakan suasana politik yang stabil dan keseimbangan sosial, sehingga beliau sering menghadapi fitnah sehingga beliau sering masuk penjara.
Diantara fitnah-fitnah tersebut yang membuat beliau dipenjara adalah fitnah yang dikobarkan oleh seorang nashrani yang mengaku sebagai seorang muslim. Orang tersebut mengadukan bahwa Ibnu Taimiyyah mencela dan mencaci Rasulullah SAW yang kemudian beliau dipenjara pada tahun 693 H. kemudian pada tahun 704 H, karena masalah “Allah SWT bersemayam di atas ‘Arsy” dan “Allah turun ke langit dunia”.
Ibnu Taimiyyah hidup di tengah-tengah pergulatan seru dan berkepanjangan dengan segala dampak kemerosotan politik dan agama. Beliau mendapati kesucian dan kemuliaan akidah telah ternodai oleh percikan-percikan berbagai amalan bid’ah dalam agama.
Beliau hidup dengan jiwa yang dipenuhi rasa keyakinan dan keimanan akan keagungan Islam. Dari situ beliau mulai menyusun sasaran-sasaran perjuangan yang cukup beragam, mulai dari perjuangan serangan yang dilancarkan musuh-musuh Islam dengan kekuatan senjata sampai perjuangan untuk mengembalikan kaum muslimin dari akidah sesat menuju akidah salafiyah.
Dari dasar uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat diketahui bahwa Ibnu Taimiyyah mencoba untuk memperbaiki situasi masyarakatnya. Ibnu Taimiyyah beranggapan bahwa rusaknya umat ini disebabkan oleh rusaknya para pemimpin dan kurang tepatnya para pemimpin itu memilih wakil-wakil dan pembantunya, baik di pemerintahan pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, beliau menyajikan suatu contoh atau model pemerintahan menurut Islam berdasarkan keyakinan bahwa umat hanya mungkin diatur dengan baik oleh pemerintah yang baik.
Sejalan dengan hal tersebut, beliau memandang perlu ada pemerintahan. Sebab, tidak ada manusia yang mampu meraih kebahagiaan sempurna, baik di dunia maupun di akhirat tanpa bergabung dengan sebuah ijtima’ yang mewujudkan kerja sama dan tolong menolong dalam mendapatkan kebaikan dan menolak apapun yang membahayakan. Manusia sebagai makhluk politik seyogyanya mampu mengatur secara ijtima’ dengan berbagai aturan.
Di antara dalil yang mendasari pemikiran beliau adalah surat An-Nisa’ ayat 58-59 (58). Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (59). Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Q.S. An-Nisâ’ (4): 58-59)
Menurut Ibnu Taimiyyah, surat An-Nisa’ ayat 58 dimaksudkan untuk para pemimpin Negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi hendaknya mereka menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak atas amanat tersebut dan mengambil keputusan dengan adil dalam sebuah permasalahan.
Munawwir Sjadzali (w. 2004 M) memandang bahwa menurut Ibnu Taimiyyah, perkataan amanat pada ayat 58 surat An-Nisa’ itu mempunyai dua arti, yaitu:
Pertama, amanat diartikan sebagai kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala Negara untuk mengelolanya. Dan pengelolaannya akan baik dan sempurna jika dalam pengangkatan para pembantunya seorang kepala Negara memilih orang-orang yang mempunyai kecakapan dan kemampuan yang baik. Menurut beliau, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dan pernyataan Umar bin Khattab RA, kalau seorang kepala Negara menyimpang dan mengangkat seseorang untuk suatu jabatan sedangkan masih terdapat orang-orang yang lebih cakap dari dia, maka kepala Negara tersebut telah berkhianat.
Kedua, perkataan amanat pada ayat tersebut berarti pula kewenangan memerintah yang dimiliki kepala Negara, dan kalau untuk melaksanakannya ia memerlukan wakil-wakil dan pembantu-pembantu, maka hendaknya seorang kepala Negara memilih orang-orang yang mempunyai kemampuan yang baik tentang pemerintahan.
Adapun surat An-Nisa ayat 59, menurut beliau ayat tersebut ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan supaya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta taat kepada para pemimpin mereka selama pemimpin tersebut tidak dalam keadaan bermaksiat kepada Allah SWT.
Maka, dalam hal ini Ibnu Taimiyyah memandang menegakkan Negara merupakan salah satu tugas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu beliau berpendapat bahwa agama tidak dapat hidup tanpa adanya Negara. Dan wajib bagi manusia untuk mendirikan Negara Islam (Al-Wilayah) karena agama tidak bisa berdiri tanpa Negara. Sebaliknya, kekuasaan negara tanpa adanya agama, maka akan menjadi Negara tiranik.
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa pendapat Ibnu Taimiyyah tentang Negara didasarkan pada nash dan akal. Dalam konteks nash, banyak hadits yang menekankan perlunya kepemimpinan dan pemerintahan. Sedangkan dari sisi akal, diasarkan pada kebutuhan manusia untuk bergabung, bekerja sama, dan membutuhkan kepemimpinan.
Pemerintahan dalam Islam memiliki peran penting untuk mewujudkan tujuan syariat. Karena itu, kepala Negara dalam menunjuk pembantu-pembantunya sudah semestinya mencari orang-orang yang secara objektif benar-benar memiliki kualitas seorang pemimpin.
Oleh karena itu, menegakkan agama merupakan tugas yang berfungsi untuk memasyarakatkan ketauhidan, menegakkan keadilan, dan mempersiapkan Negara yang melaksanakan hukum-hukum syariat.
Berbicara tentang konsep Negara, dalam hal ini penulis beranggapan bahwa teori kedaulatan Negara menurut Ibnu Taimiyyah lebih dekat kepada teori kedaulatan hukum, dan konsep negaranya lebih dekat kepada nomokrasi atau Negara syariat. Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hukum yang harus diterapkan adalah hukum syariat. Selanjutnya, ketaatan kepada penguasa hanya berlaku jika penguasa tersebut taat kepada Allah SWT. Kedua, penerapan hukum yang dilakukan tanpa melihat status social, baik kepada orang terhormat maupun tidak. Ketiga, penindakan hukum bagi pelanggar dibutuhkan saksi/bukti yang memadai. Keempat, penetapan hukum yang berkaitan dengan hak-hak manusia seperti qishash dan hudud dalam upaya memelihara jiwa dan harta seseorang.
Penerapan hukuman tersebut hanya dapat dilakukan oleh pemerintah. Maka, umat Islam menurut Ibnu Taimiyyah harus berupaya untuk menerapkan Negara Islam (khilâfah).
Dalam nomokrasi Islam terdapat prinsip-prinsip umum yang dimilikinya, seperti prinsip kekuasaan sebagai amanah, prinsip musyawarah, prinsip keadilan, prinsip kesamaan, prinsip perdamaian, prinsip kesejahteraan, dan prinsip ketaatan rakyat.
Dalam hal ini, Negara hukum (nomokrasi Islam) sebenarnya merupakan kontektualisasi dan reinterpritasi terhadap prinsip musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an. Sehingga, Muhammad Abduh berpendapat bahwa Negara yang paling sejahtera adalah Negara yang di dalamnya berlaku aturan perundang-undangan yang mampu mewujudkan kebaikan umum.
Sehubungan dengan Negara hukum, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa dalam penunjukan pembantu-pembantu seperti menteri (wazîr), hakim, maupun pejabat daerah, seorang kepala Negara harus berusaha mencari orang-orang yang secara objektif betul-betul memiliki kemampuan untuk jabatan-jabatan tersebut.  Maka mengharapkan pemimpin yang amanah, berkredibilitas dan berintegritas moral yang tinggi agar kebijakan dalam penindakan hukum dapat berjalan dengan baik. Adapun fungsi Negara yang paling utama adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana beliau menyatakan, “seluruh kekuasaan keagamaan dimaksudkan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, baik pada kekuasaan besar seperti negara ataupun kekuasaan kecil seperti pemerintahan daerah.
Penegakkan amar ma’ruf nahi munkar sejajar dengan upaya mewujudkan tata sosial politik yang kondusif dengan ketertiban hukum yang adil dn beriman serta merealisasikan syariat. Oleh karena itu, institusi Negara sangat diperlukan untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Melalui penegakkan amar ma’ruf nahi munkar, menurut Ibnu Taimiyyah Negara mempunyai lima fungsi: Pertama, pelaksanaan dasar-dasar agama Islam. Kedua, penegakkan hukum, keadilan, dan perlindungan hak-hak. Ketiga, pemeliharaan ketertiban dan keseimbangan ekonomi. Keempat, penyediaan infrastruktur sosial. Dan kelima, pembelaan keamanan Negara.
Dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyyah terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama beliau menguraikan tentang penyampaian amanat kepada yang berhak khususnya tentang pengangkatan seorang pemimpin (walâyat) dan pengelolaan kekayaan negara harta benda rakyatnya. Kemudian pada bagian kedua beliau membahas tentang pelaksanaan hukum-hukum pidana baik itu menyangkut hak-hak Allah (huqûq Allâh) dan hak-hak manusia (huqûq Al-‘Ibâd).
Wallahu a'lam
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger