Home » , » Kepemilikan dalam Islam

Kepemilikan dalam Islam

Written By agus on Senin, 02 November 2015 | 18.30

Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I


Ekonomi adalah pengetahuan peristiwa dan perasaan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perseorangan (pribadi), kelompok (keluarga suku bangsa, organisasi) dalam memenuhi kebutuhan tidak terbatas. Adapun fungsi ekonomi adalah untuk mengembangkan kemampuan dalam mengenai peristiwa ekonomi, menelaah dan menilai masalah ekonomi, baik yang bersifat perseorangan, masyarakat maupun yang bersifat nasional.
Dalam pemikiran ekonomi Taqiyuddin an-Nabhani kata “ekonomi” bukanlah makna bahasa yang berarti hemat dan juga bukan berarti kekayaan, akan tetapi yang dimaksud adalah semata-mata istilah untuk suatu sebutan tertentu, yaitu kegiatan mengatur urusan harta kekayaan baik yang menyangkut kegiatan memperbanyak jumlah kekayaan serta menjaga penggunannya, yang kemudian dibahas dalam ilmu ekonomi. Serta yang berhubungan dengan tata cara (mekanisme) pendistribusiannya yang kemudian dibahas dalam sistem ekonomi.
Diantara persoalan krusial yang dilihat Taqiyuddin an-Nabhani dalam sistem ekonomi adalah konsep tentang kepemilikan sebab, semua aktivitas pengaturan harta kekayaan baik berkenaan dengan pemanfaatan, pembelajaran, pengembangan, pengalihan, atau pendistribusiannya terkait erat dengan konsep kepemilikan.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, Islam memiliki konsep yang khas dan unik yang sangat berbeda dengan sistem ekonomi lainnya. Dalam pandangan Islam, pemilik semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT sebab Dialah pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di dalam semesta ini, kesimpulan ini didasarkan beberapa ayat Al-Quran seperti dalam surat Al-Mâ’idah ayat 17.
Dalam pandangan Taqiyyudin an-Nabhani, karena semua harta kekayaan merupakan milik Allah SWT, maka hanya Dia pula yang berhak dan memiliki otoritas penuh menyerahkan kekayaan tersebut kepada siapa yang dikehendaki-Nya, siapapun yang telah mendapatkan izin dari Allah SWT memiliki suatu harta, berarti dia adalah pemilik sah harta tersebut, sebaliknya siapapun yang tidak mendapatkan izin dari-Nya untuk memiliki suatu harta, dia bukan sebagai pemilik sah tersebut, sekalipun secara fakta harta itu berada ditangannya atau dibawah kekuasaannya dengan demikian, sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah manakala telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya.
Berangkat dari pemahaman ini, maka menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam soal kepemilikan atas suatu harta harus merujuk kepada ketetapan Allah SWT, dengan kata lain, kepemilikan atau suatu harta harus didasaran ketentuan syara’ dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah juga ijma’ sahabat dan Al-Qiyas.
Hak milik menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip Abdul Azim Islahi adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya.
Kepemilikan adalah tata cara yang ditempuh oleh manusia untuk memperoleh kegunaan (manfaat) dari jasa ataupun barang. Adapun definisi menurut syariat adalah izin dari As-Syari’ (Allah SWT) untuk memanfaatkan sesuatu zat/benda (‘ain).
Menurut Abdullah Abdul Husain kepemilikan dalam Islam berarti kepemilikan harta yang didasarkan pada agama. Kepemilikan ini tidak memberikan hak mutlak kepada pemiliknya untuk mempergunakan semuanya sendiri, melainkan harus sesuai dengan beberapa aturan. Hal ini dikarenakan kepemilikan harta pada esensinya hanya sementara, tidak abadi, dan tidak lebih dari pinjaman terbatas dari Allah SWT.
Sedangkan Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan kepemilikan adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat benda atau kegunaan (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut.
Berdasarkan diskripsi yang dikemukakan di atas hak milik merupakan izin as-Syari’ untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu kepemilikan tersebut tidak akan ditetapkan selain dengan ketetapan dari as-Syari’ terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab kepemilikannya.
Dalam masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek ekonomi mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan syari’ah. Konsep kepemilikan menjadi sangat jelas dipaparkan oleh Hizbut Tahrir dalam kitabnya sistem ekonomi Islam. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa Islam membagi konsep kepemilikan menjadi kepemilikan individu (Al-Milikiyyah Al-Fardiyyah), kepemilikan umum (al-Milikiyyah al-Ammah), kepemilikan Negara (Milikiyyah al-Dawlah).
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, kepemilikan individu (Al-Milkiyyah Al-Fardiyah) adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani terdapat banyak bukti yang menunjukkan pengakuan Islam terhadap kepemilikan individu ini. Dalam Al-Quran dan As-Sunnah cukup banyak kepemilikan atas suatu harta dinisbahkan kepada seseorang secara khusus, seperti anak yatim dan sebagainya.
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan, dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti menjual, menggadaikan, menyewakan, menghibahkan, mewasiatkan, dan lain-lain juga merupakan bukti diakuinya kepemilikan individu.
Disamping itu juga ditentukan tindakan-tindakan atau kondisikondisi tertentu yang diakui sebagai sebab kepemilikan. Tindakan menghidupkan tanah mati, membeli, mendapatkan hadiah atau memperoleh warisan suatu tanah, misalnya, dapat dikategorikan sebagai salah satu sebab memiliki tanah tersebut.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani perlindungan syara’ terhadap kepemilikan individu juga tampak adanya sanksi hukum bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap kepemilikan individu kepada orang yang mencuri harta orang lain. Jika telah mencapai nishab dan memenuhi persyaratan lainnya, diterapkan hukuman yang cukup berat, yakni potong tangan.
Dalam pandangan Taqiyuddin an-Nabhani karena kepemilikan merupakan izin syara’ untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun dari karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak, akan tetapi berasal dari adanya izin yang diberikan oleh syara’ serta berasal dari sebab yang diperbolehkan oleh syara’ untuk memilikinya sehingga melahirkan akibatnya yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.
Berkaitan dengan kepemilikan individu ini, Allah SWT telah memberikan izin kepada tiap-tiap individu untuk memiliki beberapa jenis harta, semisal rumah, sawah, atau sapi, sekaligus melarang memiliki beberapa jenis harta lainnya, seperti minuman keras atau babi. Allah SWT juga memberikan izin terhadap beberapa transaksi berkaitan dengan harta, seperti perdagangan atau sewa-menyewa dan melarang beberapa bentuk transaksi lainnya seperti riba atau perjudian.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani hukum syara’ juga telah menetapkan kepemilikan pribadi dengan beberapa sebab, yang dapat dikategorikan sebagai sebab-sebab kepemilikan individu adalah: bekerja, warisan, kebutuhan akan harta untuk mempertahankan hidup, harta pemberian Negara yang diberikan kepada rakyatnya dan harta yang diperoleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
Adapun kepemilikan umum (al-Milkiyah al-Ammah) adalah izin syari’at kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda atau barang, sedangkan benda-benda yang termasuk kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh syara’ sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak dikuasai oleh hanya seorang saja, karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya, namun dilarang memilikinya.
Kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1) Fasilitas umum (apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Jika barang tersebut tidak ada di tengah masyarakat akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mendapatkannya. Rasulullah SAW menjelaskan dalam sebuah Hadits bagaimana sifat kebutuhan umum tersebut: “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal : air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud);
2) Bahan tambang yang tidak terbatas. Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama: yang terbatas jumlahnya, hasil tambang seperti ini akan dikenai hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 20% darinya. Kedua: Yang tidak terbatas jumlahnya, hasil tambang seperti ini termasuk milik umum (collective property) dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
3) Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu, misalnya air, jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk selat dan sebagainya.
Selanjutnya kepemilikan Negara (al-Milikiyat ad-Dawlah), yaitu harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang khilafah semisal, harta fai’, kharaj, jizyah, dan sebagainya. Sebagai pemilik wewenang dia bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Meskipun harta milik umum dan milik Negara pengelolanya dilakukan oleh Negara, keduanya berbeda. Harta milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan Negara kepada siapapun, meskipun Negara dapat membolehkan orang-orang untuk mengambil manfaatnya. Adapun terhadap milik Negara khilafah berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakannya, seperti minyak, emas, air, tambang garam, padang rumput, lapangan dan lainnya tidak boleh sama sekali Negara memberikannya kepada orang tertentu. Adapun harta Kharaj boleh diberikan kepada para petani saja, sedangkan yang lain tidak, juga boleh dipergunakan untuk membeli senjata saja tanpa dibagikan kepada seorangpun.
Diantara sebab kepemilikan harta adalah (1) bekerja (menghidupkan tanah mati, menggali, berburu, mudharabah, ijarah, musaqah, dan lain-lain). (2) warisan, (3) kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup, (4) pemberian harta Negara kepada rakyat, (5) harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta dan tenaga (hibah, diyat, mahar, dan sebagainya).
Berkenaan dengan cara pemanfaatan kepemilikan, menurut Taqiyuddin an-Nabhani, kepemilikan akan harta tentu dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan tersebut dan menjadi sesuatu yang dilarang memiliki kekayaan tanpa dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan itu. Kekayaan yang dibiarkan tanpa dimanfaatkan akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan produktifitas perekonomian.
Bentuk-bentuk pengaturan mengenai pengelolaan kekayaan mencakup tatacara pembelanjaan dan tatacara pengembangannya. Islam menghendaki agar siapapun ketika mengelola harta melakukannya dengan cara sebaik mungkin. Dalam pandangan Taqiyuddin an-Nabhani prioritas pertama yang lazim dilakukan terkait dengan pengelolaan harta adalah mengkonsumsi habis, khususnya menyangkut barang yang habis pakai seperti makanan dan minuman. Atau mengkonsumsi dalam arti sekedar mengambil manfaat dari harta seperti pakaian, rumah, mobil dan sebagainya.
Setiap muslim harus tunduk mengikuti hukum-hukum syari’ah yang terkait dengan hal tersebut. Mengingat dalam Islam setiap bentuk pemanfaatan akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT kelak. Terkait dengan harta, pertanggungjawaban yang diberikan meliputi dua perkara, yaitu untuk apa harta itu digunakan dan dari mana harta itu didapat, sehingga dalam hal ini pengaturan pemanfaatan tersebut digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu pemanfaatan yang dihalalkan dan pemanfaatan yang diharamkan dalam Islam.
Dalam sistem ekonomi Islam, masalah pengembangan kepemilikan terikat dengan hukum-hukum tertentu yang tidak boleh dilanggar.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger