Ekonomi adalah pengetahuan peristiwa dan perasaan yang berkaitan dengan
upaya manusia secara perseorangan (pribadi), kelompok (keluarga suku bangsa,
organisasi) dalam memenuhi kebutuhan tidak terbatas. Adapun fungsi ekonomi
adalah untuk mengembangkan kemampuan dalam mengenai peristiwa ekonomi, menelaah
dan menilai masalah ekonomi, baik yang bersifat perseorangan, masyarakat maupun
yang bersifat nasional.
Dalam pemikiran ekonomi Taqiyuddin an-Nabhani kata “ekonomi” bukanlah
makna bahasa yang berarti hemat dan juga bukan berarti kekayaan, akan tetapi
yang dimaksud adalah semata-mata istilah untuk suatu sebutan tertentu, yaitu
kegiatan mengatur urusan harta kekayaan baik yang menyangkut kegiatan memperbanyak
jumlah kekayaan serta menjaga penggunannya, yang kemudian dibahas dalam ilmu
ekonomi. Serta yang berhubungan dengan tata cara (mekanisme)
pendistribusiannya yang kemudian dibahas dalam sistem ekonomi.
Diantara persoalan krusial yang dilihat Taqiyuddin an-Nabhani dalam
sistem ekonomi adalah konsep tentang kepemilikan sebab, semua aktivitas
pengaturan harta kekayaan baik berkenaan dengan pemanfaatan, pembelajaran,
pengembangan, pengalihan, atau pendistribusiannya terkait erat dengan konsep
kepemilikan.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, Islam memiliki konsep yang khas dan unik
yang sangat berbeda dengan sistem ekonomi lainnya. Dalam pandangan Islam,
pemilik semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT sebab Dialah
pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di dalam semesta ini, kesimpulan
ini didasarkan beberapa ayat Al-Quran seperti dalam surat Al-Mâ’idah ayat 17.
Dalam pandangan Taqiyyudin an-Nabhani, karena semua harta kekayaan
merupakan milik Allah SWT, maka hanya Dia pula yang berhak dan memiliki otoritas
penuh menyerahkan kekayaan tersebut kepada siapa yang dikehendaki-Nya, siapapun
yang telah mendapatkan izin dari Allah SWT memiliki suatu harta, berarti dia
adalah pemilik sah harta tersebut, sebaliknya siapapun yang tidak mendapatkan
izin dari-Nya untuk memiliki suatu harta, dia bukan sebagai pemilik sah
tersebut, sekalipun secara fakta harta itu berada ditangannya atau dibawah kekuasaannya
dengan demikian, sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat
dipandang sah manakala telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya.
Berangkat dari pemahaman ini, maka menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam
soal kepemilikan atas suatu harta harus merujuk kepada ketetapan Allah SWT,
dengan kata lain, kepemilikan atau suatu harta harus didasaran ketentuan syara’
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah juga ijma’ sahabat dan Al-Qiyas.
Hak milik menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip Abdul Azim
Islahi adalah sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan
sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya.
Kepemilikan adalah tata cara yang ditempuh oleh manusia untuk memperoleh
kegunaan (manfaat) dari jasa ataupun barang. Adapun definisi menurut syariat
adalah izin dari As-Syari’ (Allah SWT) untuk memanfaatkan sesuatu zat/benda
(‘ain).
Menurut Abdullah Abdul Husain kepemilikan dalam Islam berarti kepemilikan
harta yang didasarkan pada agama. Kepemilikan ini tidak memberikan hak mutlak
kepada pemiliknya untuk mempergunakan semuanya sendiri, melainkan harus sesuai
dengan beberapa aturan. Hal ini dikarenakan kepemilikan harta pada esensinya
hanya sementara, tidak abadi, dan tidak lebih dari pinjaman terbatas dari Allah
SWT.
Sedangkan Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan kepemilikan adalah
hukum syara’ yang berlaku bagi zat benda atau kegunaan (utility) tertentu,
yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang
tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut.
Berdasarkan diskripsi yang dikemukakan di atas hak milik merupakan izin
as-Syari’ untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu kepemilikan tersebut
tidak akan ditetapkan selain dengan ketetapan dari as-Syari’ terhadap zat
tersebut, serta sebab-sebab kepemilikannya.
Dalam masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek
ekonomi mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan
syari’ah. Konsep kepemilikan menjadi sangat jelas dipaparkan oleh Hizbut Tahrir
dalam kitabnya sistem ekonomi Islam. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa Islam
membagi konsep kepemilikan menjadi kepemilikan individu (Al-Milikiyyah
Al-Fardiyyah), kepemilikan umum (al-Milikiyyah al-Ammah),
kepemilikan Negara (Milikiyyah al-Dawlah).
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, kepemilikan individu (Al-Milkiyyah
Al-Fardiyah) adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun
kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan
barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya baik karena diambil
kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani terdapat banyak bukti yang menunjukkan
pengakuan Islam terhadap kepemilikan individu ini. Dalam Al-Quran dan As-Sunnah
cukup banyak kepemilikan atas suatu harta dinisbahkan kepada seseorang secara
khusus, seperti anak yatim dan sebagainya.
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan,
dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti
menjual, menggadaikan, menyewakan, menghibahkan, mewasiatkan, dan lain-lain
juga merupakan bukti diakuinya kepemilikan individu.
Disamping itu juga ditentukan tindakan-tindakan atau kondisikondisi
tertentu yang diakui sebagai sebab kepemilikan. Tindakan menghidupkan tanah
mati, membeli, mendapatkan hadiah atau memperoleh warisan suatu tanah, misalnya,
dapat dikategorikan sebagai salah satu sebab memiliki tanah tersebut.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani perlindungan syara’ terhadap kepemilikan
individu juga tampak adanya sanksi hukum bagi orang-orang yang melakukan
pelanggaran terhadap kepemilikan individu kepada orang yang mencuri harta orang
lain. Jika telah mencapai nishab dan memenuhi persyaratan lainnya, diterapkan
hukuman yang cukup berat, yakni potong tangan.
Dalam pandangan Taqiyuddin an-Nabhani karena kepemilikan merupakan
izin syara’ untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak
semata berasal dari benda itu sendiri ataupun dari karakter dasarnya, semisal
bermanfaat atau tidak, akan tetapi berasal dari adanya izin yang diberikan oleh
syara’ serta berasal dari sebab yang diperbolehkan oleh syara’ untuk memilikinya
sehingga melahirkan akibatnya yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.
Berkaitan dengan kepemilikan individu ini, Allah SWT telah memberikan
izin kepada tiap-tiap individu untuk memiliki beberapa jenis harta, semisal
rumah, sawah, atau sapi, sekaligus melarang memiliki beberapa jenis harta
lainnya, seperti minuman keras atau babi. Allah SWT juga memberikan izin
terhadap beberapa transaksi berkaitan dengan harta, seperti perdagangan atau
sewa-menyewa dan melarang beberapa bentuk transaksi lainnya seperti riba atau
perjudian.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani hukum syara’ juga telah menetapkan
kepemilikan pribadi dengan beberapa sebab, yang dapat dikategorikan sebagai
sebab-sebab kepemilikan individu adalah: bekerja, warisan, kebutuhan akan harta
untuk mempertahankan hidup, harta pemberian Negara yang diberikan kepada
rakyatnya dan harta yang diperoleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta
atau tenaga apapun.
Adapun kepemilikan umum (al-Milkiyah al-Ammah) adalah izin
syari’at kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda atau barang,
sedangkan benda-benda yang termasuk kategori kepemilikan umum adalah
benda-benda yang telah dinyatakan oleh syara’ sebagai benda-benda yang dimiliki
komunitas secara bersama-sama dan tidak dikuasai oleh hanya seorang saja, karena
milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya, namun dilarang
memilikinya.
Kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1) Fasilitas
umum (apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Jika
barang tersebut tidak ada di tengah masyarakat akan menyebabkan kesulitan dan
dapat menimbulkan persengketaan dalam mendapatkannya. Rasulullah SAW menjelaskan
dalam sebuah Hadits bagaimana sifat kebutuhan umum tersebut: “Kaum muslim
bersekutu dalam tiga hal : air, padang rumput dan api (HR Abu
Dawud);
2)
Bahan tambang yang tidak terbatas. Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi
dua. Pertama: yang terbatas jumlahnya, hasil tambang seperti ini akan
dikenai hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 20% darinya. Kedua:
Yang tidak terbatas jumlahnya, hasil tambang seperti ini termasuk milik
umum (collective property) dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
3)
Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh
individu, misalnya air, jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk
selat dan sebagainya.
Selanjutnya kepemilikan Negara (al-Milikiyat ad-Dawlah),
yaitu harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi
wewenang khilafah semisal, harta fai’, kharaj, jizyah, dan sebagainya.
Sebagai pemilik wewenang dia bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian kaum
muslim sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah
adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Meskipun harta milik umum dan milik Negara pengelolanya dilakukan
oleh Negara, keduanya berbeda. Harta milik umum pada dasarnya tidak boleh
diberikan Negara kepada siapapun, meskipun Negara dapat membolehkan orang-orang
untuk mengambil manfaatnya. Adapun terhadap milik Negara khilafah berhak untuk memberikan
harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakannya, seperti minyak,
emas, air, tambang garam, padang rumput, lapangan dan lainnya tidak boleh sama
sekali Negara memberikannya kepada orang tertentu. Adapun harta Kharaj boleh
diberikan kepada para petani saja, sedangkan yang lain tidak, juga boleh
dipergunakan untuk membeli senjata saja tanpa dibagikan kepada seorangpun.
Diantara sebab kepemilikan harta adalah (1) bekerja (menghidupkan
tanah mati, menggali, berburu, mudharabah, ijarah, musaqah, dan lain-lain). (2)
warisan, (3) kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup, (4) pemberian harta
Negara kepada rakyat, (5) harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta dan
tenaga (hibah, diyat, mahar, dan sebagainya).
Berkenaan dengan cara pemanfaatan kepemilikan, menurut Taqiyuddin
an-Nabhani, kepemilikan akan harta tentu dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan
tersebut dan menjadi sesuatu yang dilarang memiliki kekayaan tanpa dimaksudkan
untuk memanfaatkan kekayaan itu. Kekayaan yang dibiarkan tanpa dimanfaatkan
akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan produktifitas perekonomian.
Bentuk-bentuk pengaturan mengenai pengelolaan kekayaan mencakup
tatacara pembelanjaan dan tatacara pengembangannya. Islam menghendaki agar siapapun
ketika mengelola harta melakukannya dengan cara sebaik mungkin. Dalam pandangan
Taqiyuddin an-Nabhani prioritas pertama yang lazim dilakukan terkait dengan
pengelolaan harta adalah mengkonsumsi habis, khususnya menyangkut barang yang habis
pakai seperti makanan dan minuman. Atau mengkonsumsi dalam arti sekedar
mengambil manfaat dari harta seperti pakaian, rumah, mobil dan sebagainya.
Setiap muslim harus tunduk mengikuti hukum-hukum syari’ah yang terkait
dengan hal tersebut. Mengingat dalam Islam setiap bentuk pemanfaatan akan
dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT kelak. Terkait dengan harta,
pertanggungjawaban yang diberikan meliputi dua perkara, yaitu untuk apa harta
itu digunakan dan dari mana harta itu didapat, sehingga dalam hal ini
pengaturan pemanfaatan tersebut digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu pemanfaatan
yang dihalalkan dan pemanfaatan yang diharamkan dalam Islam.
Dalam
sistem ekonomi Islam, masalah pengembangan kepemilikan terikat dengan
hukum-hukum tertentu yang tidak boleh dilanggar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar