Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.
Prinsip berikutnya dalam interkasi sosial muslim dan non muslim adalah prinsip "keharmonisan hidup bersama".
Pada dasarnya setiap penganut agama
menuntut konsekuensi dari
penganut agama yang bersangkutan. Konsekuensi
yang dimaksudkan adalah bahwa setiap
pemeluk agama harus terikat dan mengikatkan diri pada kaidah-kaidah agamanya
itu. Dengan pengertian, pada hakikatnya penganut agama bukan terletak pada
agamanya itu sendiri, tetapi pada bagaimana seharusnya ia dengan agama yang ia
anut itu.
Agama akan kehilangan
fungsi, bila penganutnya hanya mencurahkan perhatian kepada ilmu agama saja,
sehingga kehidupan penganut agama tersebut kehilangan nilai dan makna. Tujuan
agama tidak lain adalah untuk menjadikan kehidupan penganutnya bernilai dan
bermakna. Dengan
kata lain, bila manusia hidup tanpa agama, berarti ia hidup tanpa nilai dan
makna.
Manusia dengan
keterbatasannya mempunyai masalah yang serba kompleks dan penuh dinamika dalam
menjalankan interaksi sosial. Dalam memelihara keharmonisan hubungan antar
sesamanya belum tentu berjalan dengan lancar.
Mewujudkan keharmonisan
dalam pergaulan hidup antar umat beragama merupakan bagian usaha menciptakan
kemaslahatan umum serta kelancaran hubungan antar manusia yang berlainan agama,
sehingga setiap golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan
agamanya masing-masing.
Keharmonisan yang
berpegang kepada prinsip masing-masing agama menjadikan setiap golongan umat
beragama sebagai golongan terbuka, sehingga memungkinkan dan memudahkan untuk
saling berhubungan. Bila anggota dari suatu golongan umat beragama telah
berhubungan baik dengan
anggota dari golongan agama-agama lain, akan terbuka kemungkinan untuk
mengembangkan hubungan berbagai bentuk kerja sama dalam bermasyarakat dan
bernegara.
Di antara tujuan
terciptanya keharmonisan hidup antar umat beragama adalah:
1.
Memelihara
Eksistensi Agama
Dalam bahasa Arab,
agama disebut ad-din yang berarti taat, patuh. Selain itu, istilah agama
juga dapat diambil dari kata ad-dain yang berarti hutang. Agama milik
Allah, agama milik Tuhan yang Maha Esa yang diamanatkanNya kepada manusia
dengan ketentuan; manusia harus menjaga dan memelihara amanat yang dipercayakan
Tuhan.
Ad-din
mengandung pengertian, bahwa setiap orang yang beragama (Islam) berkewajiban
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan agamanya. Ad-dain mengandung
pengertian, bila pemeluk agama itu telah taat dan patuh terhadap agamanya,
berarti ia tidak membayar hutangnya kepada Tuhannya. Jika tidak, ia akan
dituntut di hari kiamat nanti.
2.
Mewujudkan
Masyarakat Religius
Secara etimologis kata
masyarakat pada mulanya berasal dari bahasa Arab yaitu “musyarakah” yang
berarti kerja sama. Masyarakat adalah
sekelompok orang yang bersama-sama mengadakan persatuan untuk mencapai maksud
dan tujuan bersama. Kedua kata ini masih dalam bentuk pengertian umum dan belum
memberikan pengertian yang jelas. Namun bila kata ini dilengkapi dengan “religius”
atau agama, maka mempunyai arti dan pengertian yang jelas. Masyarakat religius
yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang menghayati, mengamalkan dan
menjadikan agamanya itu sebagai pegangan dan tuntutan hidup, berbuat dan
bertingkah laku berdasarkan dan sesuai dengan garis-garis yang telah ditentukan
dalam agamnya masing-masing.
Keharmonisan hidup umat
beragama bukan berarti melebur kepada satu totalitas dengan menjadikan
agama-agama yang ada itu sama. Namun dengan keharmonisan dimaksudkan agar
terbina dan terpelihara hubungan baik dalam pergaulan antara masyarakat yang
berlainan agama. urgensi keharmonisan adalah mewujudkan kesatuan pandangan dan
kesatuan sikap, guna melahirkan kesatuan perbuatan dan tindakan serta tanggung
jawab bersama, sehingga tidak ada pihak yang melepaskan diri dari tanggung
jawab atau menyalahkan pihak lain.
Dengan keharmonisan,
umat beragama menyadari bahwa masyarakat dan negara adalah milik bersama dan
menjadi tanggung jawab bersama untuk memeliharanya. Oleh karena itu,
keharmonisan hidup umat beragama bukanlah keharmonisan sementara, tetapi
keharmonisan hakiki ang dilandasi dan dijiwai oleh agama masing-masing.
Jika kita
perhatikan dalam sejarah Islam, Rasulullah Saw dan para sahabat telah
merealisasikan prinsip keharmonisan hidup untuk non muslim, menjunjung tinggi
hak-hak asasi non muslim yang berada di bawah kekuasaannya, mencegah segala
bentuk kezaliman terhadap mereka dan memperhatikan setiap keluhan yang datang
dari mereka.
Umar bin
al-Khattab misalnya,seringkali bertanya kepada orang-orang yang datang dari
daerah yang jauh dari ibukota Madinah tentang keadaan non muslim karena beliau
khawatir ada di antara kaum muslim yang melakukan tindakan kezaliman terhadap
mereka. Kepada Abu ‘Ubaid, ‘Umar bin al-Khattab pernah berpesan: “Cegahlah kaum
muslim dari berbuat zalim kepada orang-orang non muslim, mengganggu atau
memakan harta mereka kecuali dengan cara-cara yang benar.”
Fakta lain
menyebutkan, suatu ketika ‘Umar bin al-Khattab berjumpa dengan seorang Yahudi
berusia lanjut yang sedang mengemis. Ketika ditanya mengapa ia mengemis, orang
tua dari kalangan Yahudi tersebut manjawab bahwa usia yang sudah tua dan
kebutuhannyalah yang telah mendesaknya melakukan hal tersebut. ‘Umar segera
membawa pengemis Yahudi tersebut kepada bendahara bait al-mal dan
menginstruksikannya agar orang tua tersebut dan orang-orang lain sepertinya
mendapatkan sejumlah uang dari bat al-mal yang cukup baginya dan dapat
memperbaiki keadaannya. ‘Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil
terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya di kala masih muda, kemudian
menelantarkannya pada saat dia berusia lanjut.”
Lebih dari itu
bahkan ketika detik-detik terakhir kehidupan ‘Umar bin al-Khattab akibat
ditikam Abu Lu’lu’ah, seorang penganut agama Yahudi, ‘Umar tidak menaruh dendam,
akan tetapi justru berpesan kepada calon khalifah penggantinya: “Aku berpesan
kepada khalifah sepeninggalanku agar memperlakukan non muslim dengan
sebaik-baiknya. Memenuhi janji kepada mereka dan tidak membebani mereka dengan
suatu (kewajiban) di luar batas kemampuan mereka.”
Beberapa kisah
di atas menunjukkan hubungan damai dan erat antara nabi Muhammad Saw dan para
sahabat terhadap orang-orang non muslim. Hal ini dapat terjadi karena dalam
berhubungan dengan komunitas-komunitas non muslim, nabi Muhammad Saw selalu
menempuh jalan damai, sepanjang komunitas non muslim itu tidak pernah memusuhi
Islam dan kaum muslim. Selama sepuluh tahun memimpin kehidupan bersama di
Madinah, tidak pernah terjadi perang dengan penganut paganisme yang hidup di
Masinah, karena kelompok-kelompok penganut paganisme di Madinah tidak memusuhi
kaum muslimin. Dan kelompok-kelompok Yahudi yang diperangi adalah bukan karena
perbedaan agama dan bukan karena mereka tidak mau masuk Islam, akan tetapi
karena secara politis mereka memusuhi umat Islam.
Contoh
peristiwa senada, baik yang terjadi pada masa Nabi Saw maupun pada masa
Khulafa’ ar-Rasyidun masih begitu banyak. Hal yang terpenting yang dapat
dicatat adalah bahwa Islam benar-benar terbukti memberi perlindungan hukum,
keadilan dan kasih sayang kepada orang-orang non muslim khususnya yang menjadi
warga di negara komunitas Islam.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar