Home » , » Interaksi Sosial Muslim dan Non Muslim (Prinsip ke-5)

Interaksi Sosial Muslim dan Non Muslim (Prinsip ke-5)

Written By agus on Selasa, 10 November 2015 | 19.37


Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.

        Prinsip berikutnya adalah prinsip "Persamaan Hak dan Keadilan dalam Bermasyarakat"

Keadilan secara umum adalah melaksanankan hukum Allah Swt, yakni mengatur, memutuskan dan memerintahkan sesuai dengan apa yang dibawa oleh syariat langit yang benar, sebagaimana yang diwahyukan oleh Allah Swt kepada para rasul dan nabiNya. Keadilan merupakan hal yang wajib bagi setiap individu bahkan para nabi sekalipun berdasarkan ijma’ ulama. Keadilan menjadi dasar dari sistem pemerintahan Islam dan tujuan yang ingin dicapainya, baik di antara kaum muslim sendiri atau non muslim. Ini dikarenakan keadilan adalah tiang alam semesta di dunia dan akhirat, karena dengan keadilanlah langit dan bumi dapat tegak. Keadilan adalah asas kekuasaan. Adapun kelaliman dan tirani adalah jalan menuju hancurnya peradaban dan lenyapnya kekuasaan.
Terdapat banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan, dan hal ini ditegaskan pula dalam hadits-hadits Rasulullah Saw, serta dipraktikkan secara nyata oleh para sahabat. Di antaranya adalah ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl/16: 90).
Terdapat pula nash yang secara khusus mewajibkan berlaku adil terhadap non muslim. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Maidah/5: 8).
Yang dimaksud al-qisth adalah al-‘adl. Namun, sebenarnya kata al-qisth merupakan proses arabisasi untuk menunjukkan arti adil dalam masalah putusan (qadha’) dan hukum. Hal ini diperkuat dengan ungkapan syuhada’ lillah. Artinya, perintah berlaku adil ketika menjadi saksi, secara umum terkait dengan putusan (qadha’) dan hukum. Sementara al-‘adl adalah lebih umum, ia menyangkut banyak hal.
Dan demi memperjelas karakter term al-‘adl, yang ternyata juga terkait dengan banyak kasus, dapat dilihat pada ayat-ayat yang lain, tentunya selain masalah hukum surat an-Nisa’(4) ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa’/4: 58).
Masalah poligami, surat an-Nisa’(4) ayat 3 dan 129: “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’/4: 3).
Utang piutang, surat al-Baqarah (2) ayat 282: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur…” (al-Baqarah/2: 282).
Penyelesaian konflik, surat al-Hujurat (49) ayat 9: “dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Hujurat/49: 9).
Perceraian atau talak, surat ath-Thalaq (65) ayat 2: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar.” (ath-Thalaq/65: 2).
Pergaulan antar umat beragama (asy-Syûrâ/42: 15): “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allahlah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepadaNyalah kembali (kita)”. (asy-Syura/ 42: 15).
Persamaan dan keadilan itu ibarat dua sisi uang logam yang bila salah satu sisinya hilang, sisi yang lain tidak ada artinya. Stabilitas sosial dan masyarakat tidak akan tercapai bila keduanya menjadi sirna. Untuk itu, merupakan suatu keharusan memberlakukan keadilan kepada semua pihak tanpa melihat perbedaan status social.
Menurut ajaran Islam, siapa saja harus memperoleh keadilan, baik raja maupun rakyat jelata, atasan atau bawahan, dan muslim atau non muslim, karena pada hakikatnya manusia adalah sama.
Sampai di mana Islam menghormati prinsip persamaan antara muslim dengan non muslim terlihat dari kesetaraan di ruang pengadilan yang diberlakukan antara sahabat Nabi Saw dengan seorang Yahudi. Pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar bin Khattab, ‘Ali bin Abi Thalib diadukan oleh seorang Yahudi kepada khalifah karena terkait suatu kasus hukum. Ketika sama-sama menghadap khalifah, ‘Umar memanggil ‘Ali bin Abi Thalib dengan sebutan “Ya Aba Hasan” (gelar yang dipakai sebagai kehormatan) dan Yahudi dengan namanya. Ali merasa tersinggung sampai wajah beliau terlihat merah. Lalu ‘Umar bertanya: “Apakah kamu tersinggung, karena disejajarkan dengan orang Yahudi di pengadilan?” Ali menjawab: “Bukan itu yang membuat saya tersinggung, tapi anda tidak memberikan perlakuan yang sama kepadaku dan Yahudi. Anda memanggilku dengan sebutan gelar, sedangkan orang Yahudi dipanggil dengan namanya.”
Nabi SAW pun telah merealisasikan persamaan ini yang mana dapat kita lihat dalam Piagam Madinah pasal 16, 24, 25, 37, 38 dan 46  sebagai berikut:
 (16) Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (orang mukmin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).
(24)  Kaum Yahudi memikul biaya bersama orang mukmin selama dalam peperangan.
(37)  Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslim juga ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslim) bantu membantu dalam menghadapi musuh warga piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat, kebaikan bukan kejahatan. Sesungguhnya seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak teraniaya.
(38) Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukmin selama dalam peperangan.
(46) Kaum Yahudi al-Aus, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dengan kejahatan (penghianatan). Setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini.
Penyebutan nama “Yahudi” dan “Musyrik” dalam Piagam Madinah di atas menunjukkan bahwa Muhammad Saw bersama orang-orang mukminin-muslimin sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk memusuhi atau menyingkirkan orang-orang non muslim dan tidak berkehendak membangun masyarakat politik ekslusif bagi orang-orang Islam saja, akan tetapi orang-orang non muslim pun berhak hidup dalam masyarakat politik yang dibangunnya.
Bila melihat cuplikan dari Piagam Madinah di atas, dapat disimpulkan bahwa kaum Yahudi adalah satu umat yang paralel (berdampingan) dengan kaum mukminin. Dimasukkannya golongan Yahudi ke dalam persatuan hidup bersama menunjukkan bahwa nabi Muhammad SAW tidak bermaksud mendirikan negara yang eksklusif bagi kaum muslim saja.
Dalam Piagam Madinah tersebut juga dinyatakan bahwa hak dan kewajiban golongan Yahudi itu sama seperti yang dimiliki warga piagam lainnya. Selain itu, perlindungan ketentagaan juga diberlakukan kepada semua orang. Perbedaan asal-usul, ras dan agama tidak menjadi penghalang bagi perlindungan bertetangga. Pada saat ditetapkannya Piagam Madinah, warga paganisme diduga masih merupakan golongan terbesar. Meskipun demikian, mereka tetap memperoleh dua macam perlindungan; perlindungan negara dan perlindungan ketetanggaan. Dua macam perlindungan itu tetap berlaku sepanjang tidak terjadi maker; perbuatan kriminal dan penghianatan.
Persamaan dan keadilan yang diajarkan Islam tersebut selain melindungi hak setiap orang di depan siapa pun, juga menolak sikap diskriminatif. Dengan menghormati prinsip yang mulia ini, diyakini bahwa perbedaan ras, suku dan agama atau kemajemukan tidak menjadi penyebab atau alasan terjadinya konflik dan tindakan kekerasan, tetapi seharusnya menjadi motif untuk saling mengenal.
Dengan demikian dapat dilihat betapa tuntutan berlaku adil ternyata mencakup banyak aspek. Hal ini semakin memperkuat satu pernyataan bahwa terciptanya keadilan di segala bidang dan keinginan diperlakukan secara adil memang menjadi keinginan setiap orang, apa pun latar belakangnya. Oleh karena itu, sikap diskriminatif dalam bentuk apa pun, sebagai kutub yang berlawanan dengan adil, buka saja dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tetapi juga tidak dibenarkan menurut ajaran dasar dari seluruh agama, sebab manusia adalah makhluk merdeka yang harus diperlakukan selayaknya orang merdeka.
Sikap diskriminatif dapat muncul dalam banyak hal dengan latarbelakang yang bermacam-macam pula. Negara harus bisa memberi jaminan kepada setiap warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama, baik dalam masalah sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, termasuk agama, sebagai kelanjutan dari pengakuan dan penghormatan atas keyakinan agama yang dianut orang lain.
Al-Qur’an tidak hanya memerintahkan dan menuntut untuk berlaku adil, tetapi juga mengharamkan perbuatan yang menjadi lawan keadilan, yaitu kezaliman, dengan pengharaman yang pasti dan jelas. Allah SWT berfirman: “dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak,” (Ibrahim/14: 42).
Begitu juga hadits-hadits shahih yang mewajibkan keadilan dan mengharamkan kezaliman. Di antaranya adalah hadits: “Telah menceritakan kepada kami ‘Âlî bin Mundzir al-Kûfiy, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Muẖammad bin Fudhail. Dari Fudhail bin Marzûq, dari ‘Athiyah, dari Abi Sa’id berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai dan dekat dengan Allah Swt adalah imam yang adil, sedangkan manusia yang paling dibenci dan jauh dari Allah adalah imam yang lalim.” (HR. At-Tirmidzi)
Juga dalam hadits yang lain: “Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, telah menceritakan kepada kami Dâwud yaitu Ibnu Qais, dari ‘Ubaidillah bin Miqsâm, dari Jâbir bin ‘Abdillah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Jauhilah kezaliman, karena kezaliman adalah kegelapan kelak di hari kiamat.(HR. Muslim).
Keistimewaan dan ciri khas Islam dalam aspek pemerintahan dalam hal menegakkan keadilan adalah bahwa keadilan yang diperintahkan itu adalah keadilan mutlak mencakup pemimpin, rakyat dan umat manusia seluruhnya.
Adanya pembahasan masalah persamaan, di dalam buku al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhû karya Wahbah bin Mushthafa az-Zuhailiy menjelaskan bahwa posisi orang-orang non muslim dan kaum muslim adalah sama dan setara dalam hal hak-hak, sedangkan dalam masalah kewajiban, tidak semua kewajiban yang diterapkan kaum muslim juga diterapkan oleh non muslim. Mereka tetap bebas memeluk agama, mereka bebas menjalankan ajaran dan syiar-syiar agama, tidak boleh memaksa salah seorang dari mereka untuk masuk Islam, tidak boleh melanggar dan mengganggu diri pribadi, harta kekayaan, kehormatan, dan tempat-tempat ibadah mereka. Rasulullah SAW bersabda: “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud al-Mahriy, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Shakhrin al-Madiniy. Bahwasanya Shafwân bin Sulaimân telah mengabarkan kepadanya dari ‘Iddah dari keturunan para sahabat Rasulullah Saw, dari bapak-bapak mereka dari Rasulullah Saw bersabda: “Ketahuilah! Barangsiapa menganiaya non muslim, mengurangi haknya, membebaninya di atas batas kesanggupannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan hatinya, maka aku adalah musuhnya kelak di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud). 
Dalam sebuah surat ‘Umar bin Khattab yang dikirimkan kepada Abû Mûsâ al-Asy’ariy radhiyallahu’anhu disebutkan: “Perlakukanlah semua orang secara sama pada raut muka, keadilan dan majelismu sehingga orang terhormat tidak memiliki harapan terhadap ketidakadilanmu dan orang yang lemah tidak berputus asa dari keadilanmu.”Rasulullah Saw sangat mengecam usaha-usaha diskriminasi di antara manusia.
Wallahu a'lam

Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger