Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.
Prinsip berikutnya adalah prinsip "Persamaan Hak dan Keadilan dalam Bermasyarakat"
Keadilan secara umum
adalah melaksanankan hukum Allah Swt, yakni mengatur, memutuskan dan
memerintahkan sesuai dengan apa yang dibawa oleh syariat langit yang benar, sebagaimana yang
diwahyukan oleh Allah Swt kepada para rasul dan nabiNya. Keadilan merupakan hal yang
wajib bagi setiap individu bahkan para nabi sekalipun berdasarkan ijma’ ulama. Keadilan
menjadi dasar dari sistem
pemerintahan Islam dan tujuan yang ingin dicapainya, baik di antara kaum muslim
sendiri atau non muslim. Ini dikarenakan keadilan adalah tiang alam semesta di
dunia dan akhirat, karena dengan keadilanlah langit dan bumi dapat tegak.
Keadilan adalah asas kekuasaan. Adapun kelaliman dan tirani adalah jalan menuju
hancurnya peradaban dan lenyapnya kekuasaan.
Terdapat banyak ayat di
dalam Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan, dan hal ini
ditegaskan pula dalam hadits-hadits Rasulullah Saw, serta dipraktikkan secara
nyata oleh para sahabat. Di antaranya adalah ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(an-Nahl/16: 90).
Terdapat
pula nash yang secara khusus mewajibkan berlaku adil terhadap non muslim. Allah
SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (al-Maidah/5: 8).
Yang
dimaksud al-qisth adalah al-‘adl. Namun, sebenarnya kata al-qisth
merupakan proses arabisasi untuk menunjukkan arti adil dalam masalah
putusan (qadha’) dan hukum. Hal ini diperkuat dengan ungkapan syuhada’
lillah. Artinya, perintah berlaku adil ketika menjadi saksi, secara umum
terkait dengan putusan (qadha’) dan
hukum. Sementara al-‘adl adalah lebih umum, ia menyangkut banyak hal.
Dan demi memperjelas karakter term al-‘adl, yang
ternyata juga terkait dengan banyak kasus, dapat dilihat pada ayat-ayat yang
lain, tentunya selain masalah hukum surat an-Nisa’(4) ayat 58: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa’/4: 58).
Masalah poligami, surat an-Nisa’(4) ayat 3 dan 129: “dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’/4:
3).
Utang piutang, surat al-Baqarah (2) ayat 282: “Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur…” (al-Baqarah/2:
282).
Penyelesaian konflik, surat al-Hujurat (49) ayat 9: “dan
kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap
yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil.” (al-Hujurat/49: 9).
Perceraian atau talak, surat ath-Thalaq (65) ayat 2: “Apabila
mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya
jalan keluar.” (ath-Thalaq/65: 2).
Pergaulan antar umat beragama (asy-Syûrâ/42: 15): “Maka
karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:
“Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan
supaya berlaku adil diantara kamu. Allahlah
Tuhan kami
dan Tuhan kamu. Bagi
kami amal-amal kami dan bagi kamu
amal-amal kamu. Tidak
ada pertengkaran antara kami
dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepadaNyalah kembali (kita)”.
(asy-Syura/ 42: 15).
Persamaan
dan keadilan itu ibarat dua sisi uang logam yang bila salah satu sisinya hilang,
sisi yang lain tidak ada artinya. Stabilitas sosial dan masyarakat tidak akan
tercapai bila keduanya menjadi sirna. Untuk itu, merupakan suatu keharusan
memberlakukan keadilan kepada semua pihak tanpa melihat perbedaan status social.
Menurut
ajaran Islam, siapa saja harus memperoleh keadilan, baik raja maupun rakyat
jelata, atasan atau bawahan, dan muslim atau non muslim, karena pada hakikatnya
manusia adalah sama.
Sampai
di mana Islam menghormati prinsip persamaan antara muslim dengan non muslim
terlihat dari kesetaraan di ruang pengadilan yang diberlakukan antara sahabat
Nabi Saw dengan seorang Yahudi. Pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar bin
Khattab, ‘Ali bin Abi Thalib diadukan oleh seorang Yahudi kepada khalifah
karena terkait suatu kasus hukum. Ketika sama-sama menghadap khalifah, ‘Umar
memanggil ‘Ali bin Abi Thalib dengan sebutan “Ya Aba Hasan” (gelar yang dipakai
sebagai kehormatan) dan Yahudi dengan namanya. Ali merasa tersinggung sampai
wajah beliau terlihat merah. Lalu ‘Umar bertanya: “Apakah kamu tersinggung,
karena disejajarkan dengan orang Yahudi di pengadilan?” Ali menjawab: “Bukan
itu yang membuat saya tersinggung, tapi anda tidak memberikan perlakuan yang
sama kepadaku dan Yahudi. Anda memanggilku dengan sebutan gelar, sedangkan
orang Yahudi dipanggil dengan namanya.”
Nabi
SAW pun telah merealisasikan persamaan ini yang mana dapat kita lihat dalam
Piagam Madinah pasal 16, 24, 25, 37,
38 dan 46 sebagai berikut:
(16) Sesungguhnya orang
Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang
(orang mukmin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).
(24) Kaum Yahudi memikul biaya bersama orang
mukmin selama dalam peperangan.
(37) Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan
bagi kaum muslim juga ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslim) bantu
membantu dalam menghadapi musuh warga piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat,
kebaikan bukan kejahatan. Sesungguhnya seseorang tidak menanggung hukuman
akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak teraniaya.
(38)
Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukmin selama dalam peperangan.
(46) Kaum Yahudi al-Aus, sekutu dan diri mereka memiliki
hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan
yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan
(kesetiaan) itu berbeda dengan kejahatan (penghianatan). Setiap orang
bertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan
memandang baik isi piagam ini.
Penyebutan
nama “Yahudi” dan “Musyrik” dalam Piagam Madinah di atas menunjukkan bahwa
Muhammad Saw bersama orang-orang mukminin-muslimin sama sekali tidak berpikir
hendak mengatur siasat untuk memusuhi atau menyingkirkan orang-orang non muslim
dan tidak berkehendak membangun masyarakat politik ekslusif bagi orang-orang
Islam saja, akan tetapi orang-orang non muslim pun berhak hidup dalam
masyarakat politik yang dibangunnya.
Bila melihat cuplikan
dari Piagam Madinah di atas, dapat disimpulkan bahwa kaum Yahudi adalah satu
umat yang paralel (berdampingan) dengan kaum mukminin. Dimasukkannya golongan
Yahudi ke dalam persatuan hidup bersama menunjukkan bahwa nabi Muhammad SAW
tidak bermaksud mendirikan negara yang eksklusif bagi kaum muslim saja.
Dalam Piagam Madinah tersebut juga dinyatakan bahwa hak
dan kewajiban golongan Yahudi itu sama seperti yang dimiliki warga piagam
lainnya. Selain itu, perlindungan ketentagaan juga diberlakukan kepada semua
orang. Perbedaan asal-usul, ras dan agama tidak menjadi penghalang bagi
perlindungan bertetangga. Pada saat ditetapkannya Piagam Madinah, warga
paganisme diduga masih merupakan golongan terbesar. Meskipun demikian, mereka
tetap memperoleh dua macam perlindungan; perlindungan negara dan perlindungan
ketetanggaan. Dua macam perlindungan itu tetap berlaku sepanjang tidak terjadi
maker; perbuatan kriminal dan penghianatan.
Persamaan dan
keadilan yang diajarkan Islam tersebut selain melindungi hak setiap orang di
depan siapa pun, juga menolak sikap diskriminatif.
Dengan menghormati prinsip yang mulia ini, diyakini bahwa perbedaan ras, suku
dan agama atau kemajemukan tidak menjadi penyebab atau alasan terjadinya
konflik dan tindakan kekerasan, tetapi seharusnya menjadi motif untuk saling
mengenal.
Dengan demikian dapat dilihat betapa
tuntutan berlaku adil ternyata mencakup banyak aspek. Hal ini semakin
memperkuat satu pernyataan bahwa terciptanya keadilan di segala bidang dan
keinginan diperlakukan secara adil memang menjadi keinginan setiap orang, apa pun
latar belakangnya. Oleh
karena itu, sikap diskriminatif dalam bentuk apa pun, sebagai kutub yang
berlawanan dengan adil, buka saja dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak
asasi manusia, tetapi juga tidak dibenarkan menurut ajaran dasar dari seluruh
agama, sebab manusia adalah
makhluk merdeka yang harus diperlakukan selayaknya orang merdeka.
Sikap diskriminatif dapat muncul dalam
banyak hal dengan latarbelakang yang bermacam-macam pula. Negara harus bisa memberi
jaminan kepada setiap warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama, baik
dalam masalah sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, termasuk agama, sebagai
kelanjutan dari pengakuan dan penghormatan atas keyakinan agama yang dianut
orang lain.
Al-Qur’an tidak hanya memerintahkan dan
menuntut untuk berlaku adil, tetapi juga mengharamkan perbuatan yang menjadi
lawan keadilan, yaitu kezaliman, dengan pengharaman yang pasti dan jelas. Allah
SWT berfirman: “dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa
Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya
Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata
(mereka) terbelalak,” (Ibrahim/14: 42).
Begitu juga hadits-hadits shahih yang
mewajibkan keadilan dan mengharamkan kezaliman. Di antaranya adalah hadits: “Telah
menceritakan kepada kami ‘Âlî bin Mundzir al-Kûfiy, dia berkata: telah
menceritakan kepada kami Muẖammad bin Fudhail. Dari Fudhail bin Marzûq, dari
‘Athiyah, dari Abi Sa’id berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya
manusia yang paling dicintai dan dekat dengan Allah Swt adalah imam yang adil,
sedangkan manusia yang paling dibenci dan jauh dari Allah adalah imam yang
lalim.” (HR. At-Tirmidzi)
Juga dalam hadits yang lain: “Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, telah menceritakan
kepada kami Dâwud yaitu Ibnu Qais, dari ‘Ubaidillah bin Miqsâm, dari Jâbir bin
‘Abdillah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Jauhilah kezaliman, karena
kezaliman adalah kegelapan kelak di hari kiamat.” (HR.
Muslim).
Keistimewaan dan ciri khas Islam dalam
aspek pemerintahan dalam hal menegakkan keadilan adalah bahwa keadilan yang
diperintahkan itu adalah keadilan mutlak mencakup pemimpin, rakyat dan umat
manusia seluruhnya.
Adanya pembahasan masalah persamaan, di
dalam buku al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhû karya Wahbah bin Mushthafa az-Zuhailiy
menjelaskan bahwa posisi orang-orang non muslim dan kaum muslim adalah sama dan
setara dalam hal hak-hak, sedangkan dalam masalah kewajiban, tidak semua
kewajiban yang diterapkan kaum muslim juga diterapkan oleh non muslim. Mereka
tetap bebas memeluk agama,
mereka bebas menjalankan ajaran dan syiar-syiar agama, tidak boleh memaksa salah
seorang dari mereka untuk masuk Islam, tidak boleh melanggar dan mengganggu
diri pribadi, harta kekayaan, kehormatan, dan tempat-tempat ibadah mereka.
Rasulullah SAW bersabda: “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud
al-Mahriy, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan
kepadaku Abu Shakhrin al-Madiniy. Bahwasanya Shafwân bin Sulaimân telah
mengabarkan kepadanya dari ‘Iddah dari keturunan para sahabat Rasulullah Saw,
dari bapak-bapak mereka dari Rasulullah Saw bersabda: “Ketahuilah! Barangsiapa
menganiaya non muslim, mengurangi haknya, membebaninya di atas batas
kesanggupannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan hatinya, maka aku
adalah musuhnya kelak di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).
Dalam sebuah surat ‘Umar bin Khattab
yang dikirimkan kepada Abû Mûsâ al-Asy’ariy radhiyallahu’anhu disebutkan:
“Perlakukanlah semua orang secara sama pada raut muka, keadilan dan majelismu
sehingga orang terhormat tidak memiliki harapan terhadap ketidakadilanmu dan
orang yang lemah tidak berputus asa dari keadilanmu.”Rasulullah Saw sangat
mengecam usaha-usaha diskriminasi di antara manusia.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar