Diberdayakan oleh Blogger.

Latest Post

Mudharabah

Written By agus on Kamis, 19 November 2015 | 17.35




Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.” Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya. Sedangkan madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan  tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad.
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al Qur’an, Sunnah maupun Ijma’. 
Dalam praktek mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual ke Nabi Muhammad saw ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al-māl) sedangkan Nabi Muhammad saw berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib). 
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil  ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT “.
Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribu yang asal katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya secara mudharabah ia mensyaratkan supaya dananya tidak dibawa untuk mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang berhutang bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-syarat tersebut kepada Rasullah SAW dan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Tabrani).
Dari Shalih bin Shuhaib, r.a. bahwa r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), serta mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga dan bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah no. 2280, kitab at-Tijarah).
Menurut Antonio, mudharabah berasal dari kata dharib, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usahanya, secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Sudarsono mengatakan juga bahwa mudharabah berasal dari kata adhdharbu fi asdhi, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti alqoth’u (potongan), karena pemilik memotong   sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian itu akibat si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Selanjutnya, dalam pembiayaan Bank Syariah dan BMT, mudharabah merupakan suatu bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai penyedia modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya berbagi keuntungan menurut kesepakatan bersama dengan kesanggupan untuk menanggung resiko. Bagian keuntungan yang disepakati itu harus berbentuk prosentase (nisbah) dan yang berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi jika terjadi kerugian yang ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-gara kelalaian pengusaha, maka pemilik modal akan menanggung kerugian modal itu seluruhnya (100%) dan pengusaha terkena kerugian dari kehilangan seluruh tenaga dan waktunya atau 0% modal. Pembagian kerugian ini didasarkan pada kemampuan menangung kerugian masing-masing yang tidak sama.
Pada konsepnya, mudharabah menggunakan prinsip bagi untung rugi yang dianggap merupakan konsekuensi dari adanya ketidakpastian dalam kontrak investasi. Akan tetapi, menurut Abdullah Saeed, pada kenyataannya bank Islam (bank Syariah, istilah yang digunakan di Indonesia) hampir menghilangkan karakter ketidaktentuan hasil usaha dalam kontrak mudharabah, melalui berbagai pertimbangan.
Praktek kontrak mudharabah hampir sama dengan bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak beresiko. Oleh karenanya penerapan transaksi mudharabah dalam perbankan Islam dinilai oleh Timur Kuran terdorong untuk menggunakan “bunga yang disamarkan (thinly disguised interest)” atau dengan kata lain bisa disebut dengan bunga yang direkayasa.
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat resiko yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan semakin besar nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya pengelola BMT harus selektif dalam memilih usaha yang akan dibiayai. Biasanya pembiayaan Mudharabah dapat dijalankan untuk proyek-proyek yang sudah pasti.
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account).
a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha,  maupun yang lain.
b. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.

Wallahu a’lam

Mudharabah

Written By agus on Rabu, 11 November 2015 | 20.18


Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I



Pada tulisan kali ini, kami akan membahas tentang mudharabah. Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Muzzammil, ayat ke-20.
Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata alqardhu yang berarti al-qath’u (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Sedangkan menurut istilah fikih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Bagaimana hukum mudharabah, maka terdapat dalil-dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)
Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1)
Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283)
2. Hadits Nabi SAW: Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi)
Hadits lain: Shuhaib RA berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
3. Ijma: Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah.
    Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’.
4. Qiyas: Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
5. Kaidah fikih:  “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:
1.  Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara mutlak/bebas). Maksudnya adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modalyang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi kekuasaan sangat besar.
2. Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai dengan kehendak pemilik modal.
Mengenai rukun mudharabah, Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
1.    Modal.
2.    Jenis usaha.
3.    Keuntungan.
4.    Shighot (pelafalan transaksi)
5.    Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola.
Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.”
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.”
Selanjutnya, kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal . Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).
Usaha Mudharabah dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan oleh salah satu pihak dari pemilik modal maupun pengelola modal. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia mau.
Al-Kasani berkata: “Sekiranya seseorang menerima modal untuk usaha mudharabah selama satu tahun, maka menurut pandangan kami hal itu hukumnya boleh.”
Ibnu Qudamah berkata: “Boleh membatasi waktu mudharabah seperti mengatakan, “Aku memberimu modal sekian dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah berakhir waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau menjual.”
Demikian sebagian masalah mudharabah yang dapat kami sampaikan melalui tulisan sederhana ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Wallahu a’lam

(Sumber: Majalah Pengusaha Muslim)

Riba



Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I



Pada dasarnya, setiap kehidupan kita tidak akan pernah terlepas dengan unsur ekonomi. Ketika kita merasa lapar dan memutuskan untuk membeli makanan, juga saat kita melihat dimedia massa kenaikan harga  BBM dan bahan-bahan lainnya yang melambung tinggi, itulah ekonomi dari perspektif keseharian kita.
Setiap keputusan yang kita ambil akan menghasilkan konsekuensi, ini adalah gejala opportunity cost dalam ilmu ekonomi.
Secara sederhana, sebenarnya pembahasan yang ada dalam ekonomi itu hanya mencakup dua hal :
1.    Bagaimana caranya agar kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi
2. Bagaimana membedakan apakah hal itu benar-benar kebutuhan (needs) atau hanya sekedar keinginan (wants)
Dari dua persepsi diatas lah kemudian muncul berbagai macam paradigma, teori, dan kajian. Pada akhirnya melahirkan banyak sekali aliran dalam ilmu ekonomi.
Salah satu dari sekian banyak aliran tersebut adalah ekonomi islam. Namun dalam hal ini, penulis tidak sepakat jika menggunakan kata “aliran”. Karena secara fundamental ekonomi islam adalah fitrah dan bukan aliran yang dibuat.
Artinya ilmu yang membahas ekonomi dari perspektif islam telah ada sejak lama, namun belum banyak yang mengkajinya. Masa depan ilmu ini ada ditangan generasi muda saat ini, yang berperan sebagai pemegang tongkat estafet dan pilar agama, bangsa, dan negara.
Sebenarnya, ada begitu banyak perbedaan yang vital dan fundamental antara ekonomi Islam dan yang lainnya (konvensional). Namun dalam pembahasan kali ini, kita akan memfokuskan kepada riba.
Bagaimana ekonomi konvensional memperlakukan riba, dan bagaimana Islam menilainya?
Riba adalah tambahan yang diperoleh dengan cara yang tidak diperbolehkan oleh syariat. Yaitu tambahan harta dalam akad jual beli yang diperoleh dengan cara yang batil.
Di era yang serba digital dan modern ini, ternyata banyak sekali praktik-praktik yang mengandung riba, khususnya dalam ekonomi. Disinilah kemudian perlu adanya kajian ulang agar supaya setiap kegiatan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan nilai-nilai islam (halalan-thayyibah).
1. Dasar Hukum Riba
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 278)
Allah SWT juga berfirman: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah: 276)
Selain itu juga Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit jiwa (gila). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . . (Q.S. Al-Baqarah: 275)
Ayat-ayat diatas memberikan gambaran kepada kita tentang riba baik dari segi larangan dan akibatnya. Maka dengan adanya ayat-ayat tersebut dalam Al qur’an, semestinya kita harus menjauh dari segala sesuatu yang ada unsur riba nya.
2. Jenis-Jenis Riba
Ada dua macam kategori riba, yaitu yang muncul akibat jual-beli dan pinjam meminjam.
Jual beli pada dasarnya merupakan akad tukar menukar barang. Jika demikian, maka riba akan muncul jika ada tambahan baik dari segi kuantitas dari barang yang diperjualbelikan ataupun karena penyerahan pembayaran yang ditunda. Rasulullah SAW bersabda: “Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak,  gandum ditukar dengan gandum, syair (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan syair, kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim)
Dari hadis diatas, ada dua ketentuan yang harus dipahami :
1.        Enam Komoditas diatas harus ditukarkan dengan takaran (timbangan dan volume) yang sama. Artinya 6 gram emas harus ditukar dengan 6 gram emas, jika kemudian 6 gram emas ditukar dengan 7 gram emas, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl karena ada penambahan takaran
2.        Ketika melakukan pertukaran dengan 6 komoditas maka pembayarannya harus tunai dan tidak bisa non tunai (kredit). Jika non tunai, maka inilah yang dinamakan riba nasiah, karena ada penambahan tenggang waktu pembayaran
Selanjutnya, Riba terjadi dalam akad pinjam meminjam, artinya terdapat manfaat tambahan atas utang piutang pihak yang bersangkutan. Misalnya seorang meminjam kepada temannya sebesar satu juta, dengan persyaratan ketika dikembalikan lebih besar dari sejuta, misalnya 1.500.000, maka tambahan sebesar lima ratus ribu tersebut masuk kedalam kategori riba Qardh. Riba qardh biasa dikenal dengan sistem bungan pinjaman di bank konvensional.
Kondisi yang kedua, jika kedua pihak yang berhutang dan memberikan piutang sepakat jika pengembalian hutang lebih dari waktu yang disepakati maka pihak yang berhutang harus membayar denda karena ada penambahan waktu. Ini dikenal dengan riba Jahiliyah.
Demikianlah jeni-jenis riba yang bisa dianalisis dalam setiap praktik yang berhubungan dengan ekonomi. Itulah sebabnya, ekonomi islam kemudian hadir dalam rangka memberikan panduan, arahan, dan pengajaran akan bahaya riba.
3. Haramnya Bunga Bank
Berbicara tentang bunga bank memang sangat kompleks dan begitu luas cakupannya. Saat ini dengan begitu banyaknya bank-bank konvensional, tak bisa dipungkiri lagi bahwa metode yang digunakan dalam prosese pendanaan (funding) dan pembiayaan (financing) adalah mengedepankan konsep bunga.
Lantas kemudian bagaimana perkembangan praktik bunga ini dan apa solusinya jika kemudian secara keseluruhan bunga bank adalah haram?
Sebelumnya mari kita perhatikan beberapa pendapat dan konsep para ahli maupun lembaga berikut:
1. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
2. Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
Di antara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
Pendapat diatas belum terlalu jelas memberikan penggambaran akan tingkat keharaman bunga bank. Karena masih terdapat perbedaan dalam penentuan keharamannya. Mari kita lihat bagaiman lembaga yang bertanggung jawab atas kepatuhan syariah dan hukum syariah di negara kita, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lihat beberapa fatwa MUI yang di antaranya fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 tentang Bunga Bank.

Wallahu a’lam
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger