Home » , » Interaksi Sosial Muslim dan Non Muslim (Prinsip ke-7)

Interaksi Sosial Muslim dan Non Muslim (Prinsip ke-7)

Written By agus on Selasa, 10 November 2015 | 19.57


Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.


Prinsip berikutnya adalah prinsip "kebebasan".
Kebebasan adalah sifat yang melekat pada harkat martabat manusia. Oleh karena itu , kebebasan merupakan hak alamiah setiap orang. Kebebasan adalah hal termahal dan paling berharga yang disakralkan dan selalu dijaga oleh setiap orang. ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu berkata kepada gubernurnya, ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhu: “Sejak kapan engkau bisa memperbudak orang, sedangkan mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka.” Seorang pemimpin harus menjamin kebebasan dengan berbagai manifestasi dan perwujudannya, baik itu kebebasan beragama, pemikiran, politik, maupun sipil dalam batas koridor sistem dan syariat. Al-Qur’an secara gamblang mendeklarasikan kebebasan berakidah, kebebasan pemikiran dan kebebasn bersuara dan berpendapat.
Allah Swt berfirman: “di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada al-Qur’an, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Yunus/10: 40).
Menurut Wahbah Zuhailiy, ayat di atas berkenaan dengan kebebasan yang dianut oleh umat manusia. Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Allah Swt Maha Adil, yang mana masing-masing individu diberikan kebebasan memilih agama mana yang hendak ia anut.
Pengokohan kebebasan berakidah menuntut pengokohan kebebasan menjalankan syiar dan ritual keagamaan. Ini karena kita diperintahkan untuk memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada orang-orang non muslim untuk menjalankan agama dan keyakinannya, tidak boleh mengganggu tempat-tempat ibadah mereka, dan mereka ada hak dan beberapa kewajiban yang sama dengan kaum muslim.
Di sisi lain, menurut Wahbah Zuhailiy tidak ada kebebasan mutlak dalam ruang waktu tertentu, baik di dunia Barat modern maupun di negara demokrasi Islam. Bagi beliau, memberikan kebebasan kepada manusia justru akan menimbulkan pelanggaran terhadap hak dan kebebasan orang lain, bahkan dapat melanggar hak kebebasan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Kebebasan mutlak berarti membiarkan manusia hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri dan lepas dari aturan yang berlaku dalam suatu negara. Keberadaan lembaga kenegaraan sendiri dengan seperangkta aturan yang berlaku di dalamnya menunjukkan bahwa negara juga berfungsi mengatur masyarakat yang berarti memberikan batasan kebebasan bagi setiap individu.
Masih menurut Wahbah Zuhailiy, syariat Islam sangat menjunjung tinggi nilai kebebasan. Hanya saja, syariat Islam memberikan batasan yang jelas dan proporsional dengan melihat kondisi kehidupan sosial suatu masyarakat secara menyeluruh. Dengan demikian, hak kebebasan dapat dinikmati setiap individu tanpa harus menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Kebebasan beragama ternyata telah ada di zaman nabi Muhammad Saw. Hal ini dapat terlihat pada Piagam Madinah pasal 25 sebagai berikut:
(25) Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan kaum mukmin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslim agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.
Pasal ini mengandung pengertian adanya jaminan kebebasan beragama. Di antara wujud kebebasan beragama itu adalah beribadah menurut ajaran agama masing-masing. Pada pasal ini juga dinyatakan bahwa kaum Yahudi adalah satu umat bersama kaum mukminin. Penyebutan ini (Yahudi) mengandung arti bahwa (dilihat dari kesatuan dasar agama) orang-orang Yahudi merupakan satu komunitas yang paralel dengan komunitas kaum mukmin. Dalam kehidupan bersama itu, komunitas Yahudi bebas dalam menjalankan agama mereka.
Pada zaman Nabi SAW, orang-orang Islam, Yahudi dan Nasrani masing-masing mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan menjalankan ajaran agama masing-masing.
Kebebasan beragama itu tampak dalam pertemuan tiga agama di Madinah, yaitu agama Islam, Yahudi dan Nasrani. Ketika sedang sengit-sengitnya polemik keagamaan antara nabi Muhammad Saw dengan orang-orang Yahudi, datang sebuah delegasi Najran dari Najran. Mereka tiba di Madinah dengan enam puluh kendaraan. Di antara mereka ada orang-orang terkemuka yang menguasai seluk beluk agama mereka. Pada waktu itu para penguasa Bizantium yang menganut agama Nasrani sudah memberikan berbagai bantuan (di antaranya mereka membuatkan gereja-gereja di sana) untuk orang-orang Nasrani yang berada di Najran.
Dalam suasana kebebasan beragama diadakan dialog dan debat teologis antar pemuka agama dari ketiga agama tersebut, yaitu Islam, Yahudi dan Nasrani, pihak Yahudi sama sekali menolak ajaran ‘Îsâ dan nabi Muhammad SAW. Mereka benar-benar telah mengakui bahwa Uzayr adalah anak Allah. Pihak Nasrani mengemukakan paham trinitas dan mengakui bahwa nabi ‘Îsâ ‘alaihissalam adalah anak Tuhan. Nabi Muhammad SAW mengajak manusia mengesakan Allah. Kepada kaum Yahudi dan Nasrani, Nabi SAW mengajak: “Marilah kita menerima kalimah yang sama di antara kami dan kalian, bahwa tidak ada yang patut kita sembah selain Allah Swt. kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apapun. Tidak pula di antara kita mempertuhankan satu sama lain, selain dari Allah SWT.”
Al-Qur’an menghendaki kata sepakat di antara para penganut agama samawi. Namun jika kesepakatan itu tidak dicapai, maka yang dituntut Al-Qur’an adalah “pengakuan (adanya) identitas muslim.
Pada akhirnya pertemuan tiga agama tersebut tidak membawa kepada kesatuan agama. Kaum Yahudi dan Nasrani tetap pada pendirian masing-masing. Meskipun demikian, nabi Muhammad SAW tidak memaksa mereka untuk mengubah agama mereka. Nabi Muhammad SAW hanya mengajak mereka untuk meng-Esa-kan Allah Swt. Nabi Muhammad Saw pun tidak memusuhi dan tidak memerangi mereka disebabkan mereka tidak menerima ajaran beliau.
Di Indonesia sendiri, kebebasan untuk memilih agama itu diterjemahkan dengan kebebasan untuk berpindah-pindah keyakinan agama, sebagaimana disebutkan di dalam pasal 18 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949: “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran keinsyafan batin dan agama: hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau keyakinan begitu pula kebebasan menanut agamanya atau keyakinannya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di muka umum maupun dalam lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah, dan aturan-aturan agama, serta dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua mereka.”
Ekspresi kebebasan beragama yang diwujudkan dalam bentuk penyampaian atau penyebaran ajaran agama merupakan salah satu persoalan penting di dalam penciptaan kerukunan umat beragama, utamanya ketika dilakukan di tengah-tengah umat beragama lain.
Selain itu, kebebasan beragama dan berakidah, Islam juga sangat menganjurkan untuk berfikir, berpandangan luas, lepas dan bebas. Kebebasan berfikir juga diikuti dengan kebebasan berpendapat, mengkritik dan bersuara. Hal itu bisa diketahui dengan sangat jelas sekali dari prinsip Islam dalam pembentukan kepribadian dan jati diri, memerintahkan untuk berkata terus terang, amar ma’ruf, tidak membiarkan kemungkaran, menyuarakan kebenaran secara lantang tanpa takut kepada siapapun atau khawatir terhadap celaan orang yang suka mencela. Karena itu, kritik bukan hanya semata-mata hak, melainkan terkadang juga menjadi kewajiban agama dalam bingkai pemahaman dan pengertian-pengertian Islam serta tuntutan untuk menjaga dan memelihara hukum-hukum Islam.
Kebebasan adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa terbagi-bagi dalam pengertian dan pemahaman Islam. Di dalamnya, aspek agama tidak terpisah dari aspek-aspek politik, sipil dan lainnya. Oleh karena itu, apabila terjadi kesalahan dalam penerapan hukum-hukum agama atau kecacatan dan ketidakberesan dalam menggariskan dan membuat sketsa politik, atau terjadi perampasan hak-hak sipil dalam berbagai muamalah bebas, maka setiap individu wajib menyampaikan kritik terhadap pemimpin dan mengembalikannya kepada rel yang benar.
Kebebasan berfikir mengandung kebebasan mengeluarkan pendapat. Dalam kehidupan masyarakat yang telah mempunyai agama, kebebasan mengeluarkan pendapat haruslah berdasarkan kepada landasan dan garis yang telah ditentukan oleh agama masing-masing. Kebebasan tanpa landasan atau di luar garis tersebut akan merusak citra masyarakat itu sendiri.
Karena pikiran atau berfikir adalah modal utama bagi manusia dalam mengurus kehidupannya, maka maju atau mundurnya suatu bangsa sangat ditentukan oleh cara berfikir masyarakat dari suatu bangsa tersebut. Bila masyarakat ingin memperbaiki hidupnya, maka ada baiknya masyarakat tersebut terlebih dahulu merubah cara berfikirnya.
Wallahu a’lam
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger