Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.
Prinsip berikutnya adalah prinsip "kebebasan".
Kebebasan adalah sifat
yang melekat pada harkat martabat manusia. Oleh karena itu , kebebasan
merupakan hak alamiah setiap orang. Kebebasan adalah hal termahal dan paling
berharga yang disakralkan dan selalu dijaga oleh setiap orang. ‘Umar bin
al-Khattab radhiyallahu’anhu berkata kepada gubernurnya, ‘Amr bin al-‘Ash
radhiyallahu’anhu: “Sejak kapan engkau bisa memperbudak orang, sedangkan mereka
dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka.” Seorang pemimpin harus
menjamin kebebasan dengan berbagai manifestasi dan perwujudannya, baik itu
kebebasan beragama, pemikiran, politik, maupun sipil dalam batas koridor sistem
dan syariat. Al-Qur’an secara gamblang
mendeklarasikan kebebasan berakidah, kebebasan pemikiran dan kebebasn bersuara
dan berpendapat.
Allah Swt berfirman:
“di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada al-Qur’an, dan di
antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih
mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Yunus/10: 40).
Menurut
Wahbah Zuhailiy, ayat di atas berkenaan dengan kebebasan yang dianut oleh umat
manusia. Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Allah Swt Maha
Adil, yang mana masing-masing individu diberikan kebebasan memilih agama mana
yang hendak ia anut.
Pengokohan
kebebasan berakidah menuntut pengokohan kebebasan menjalankan syiar dan ritual
keagamaan. Ini karena kita diperintahkan untuk memberikan kebebasan dan
keleluasaan kepada orang-orang non muslim untuk menjalankan agama dan
keyakinannya, tidak boleh mengganggu tempat-tempat ibadah mereka, dan mereka
ada hak dan beberapa kewajiban yang sama dengan kaum muslim.
Di
sisi lain, menurut Wahbah Zuhailiy tidak ada kebebasan mutlak dalam ruang waktu
tertentu, baik di dunia Barat modern maupun di negara demokrasi Islam. Bagi beliau, memberikan
kebebasan kepada manusia justru akan menimbulkan pelanggaran terhadap hak dan
kebebasan orang lain, bahkan dapat melanggar hak kebebasan bagi masyarakat
secara keseluruhan.
Kebebasan
mutlak berarti membiarkan manusia hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri dan
lepas dari aturan yang berlaku dalam suatu negara. Keberadaan lembaga
kenegaraan sendiri dengan seperangkta aturan yang berlaku di dalamnya
menunjukkan bahwa negara juga berfungsi mengatur masyarakat yang berarti
memberikan batasan kebebasan bagi setiap individu.
Masih
menurut Wahbah Zuhailiy, syariat Islam sangat menjunjung tinggi nilai
kebebasan. Hanya saja,
syariat Islam memberikan
batasan yang jelas dan proporsional dengan melihat kondisi kehidupan sosial
suatu masyarakat secara menyeluruh. Dengan demikian, hak kebebasan dapat
dinikmati setiap individu tanpa harus menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Kebebasan beragama ternyata telah ada di zaman nabi Muhammad Saw. Hal ini
dapat terlihat pada Piagam Madinah pasal 25 sebagai berikut:
(25) Kaum Yahudi dari Bani
‘Auf adalah satu umat dengan kaum mukmin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan
bagi kaum muslim agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu
dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan
merusak diri dan keluarganya.
Pasal ini mengandung pengertian adanya jaminan kebebasan beragama. Di
antara wujud
kebebasan beragama itu adalah beribadah menurut ajaran agama masing-masing.
Pada pasal ini juga dinyatakan bahwa kaum Yahudi adalah satu umat bersama kaum
mukminin. Penyebutan ini (Yahudi) mengandung arti bahwa (dilihat dari kesatuan
dasar agama) orang-orang Yahudi merupakan satu komunitas yang paralel dengan komunitas kaum mukmin.
Dalam kehidupan bersama itu, komunitas Yahudi bebas dalam menjalankan agama
mereka.
Pada zaman Nabi SAW, orang-orang Islam, Yahudi dan Nasrani masing-masing
mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan menyatakan
pendapat dan kebebasan menjalankan ajaran agama masing-masing.
Kebebasan beragama itu tampak dalam pertemuan tiga agama di Madinah, yaitu
agama Islam, Yahudi dan Nasrani. Ketika sedang sengit-sengitnya polemik
keagamaan antara nabi Muhammad Saw dengan orang-orang Yahudi, datang sebuah
delegasi Najran dari Najran. Mereka tiba di Madinah dengan enam puluh
kendaraan. Di antara mereka ada orang-orang terkemuka yang menguasai seluk
beluk agama mereka. Pada waktu itu para penguasa Bizantium yang menganut agama
Nasrani sudah memberikan berbagai bantuan (di antaranya mereka membuatkan
gereja-gereja di sana) untuk orang-orang Nasrani yang berada di Najran.
Dalam suasana kebebasan beragama diadakan dialog dan debat teologis antar
pemuka agama dari ketiga agama tersebut, yaitu Islam, Yahudi dan Nasrani, pihak
Yahudi sama sekali menolak ajaran ‘Îsâ dan nabi Muhammad SAW. Mereka benar-benar
telah mengakui bahwa Uzayr adalah anak Allah. Pihak Nasrani mengemukakan paham
trinitas dan mengakui bahwa nabi ‘Îsâ ‘alaihissalam adalah anak Tuhan. Nabi
Muhammad SAW mengajak manusia mengesakan Allah. Kepada kaum Yahudi dan Nasrani,
Nabi SAW mengajak: “Marilah kita menerima kalimah yang sama di antara
kami dan kalian, bahwa tidak ada yang patut kita sembah selain Allah Swt. kita
tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apapun. Tidak pula di antara kita
mempertuhankan satu sama lain, selain dari Allah SWT.”
Al-Qur’an menghendaki kata sepakat di antara para penganut agama samawi.
Namun jika kesepakatan itu tidak dicapai, maka yang dituntut Al-Qur’an adalah “pengakuan (adanya) identitas muslim.
Pada akhirnya pertemuan tiga agama tersebut tidak membawa kepada kesatuan
agama. Kaum Yahudi dan Nasrani tetap pada pendirian masing-masing. Meskipun
demikian, nabi Muhammad SAW tidak memaksa mereka untuk mengubah agama mereka.
Nabi Muhammad SAW hanya mengajak mereka untuk meng-Esa-kan Allah Swt. Nabi Muhammad Saw pun tidak memusuhi dan tidak memerangi
mereka disebabkan mereka tidak menerima ajaran beliau.
Di
Indonesia sendiri,
kebebasan untuk memilih agama itu diterjemahkan dengan kebebasan untuk
berpindah-pindah keyakinan agama, sebagaimana disebutkan di dalam pasal 18
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949: “Setiap orang berhak
atas kebebasan pikiran keinsyafan batin dan agama: hak ini meliputi pula
kebebasan bertukar agama atau keyakinan begitu pula kebebasan menanut agamanya
atau keyakinannya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di
muka umum maupun dalam lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan,
mengamalkan, beribadat, mentaati perintah, dan aturan-aturan agama, serta
dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua mereka.”
Ekspresi kebebasan beragama yang diwujudkan dalam bentuk penyampaian atau
penyebaran ajaran agama merupakan salah satu persoalan penting di dalam
penciptaan kerukunan umat beragama, utamanya ketika dilakukan di tengah-tengah
umat beragama lain.
Selain
itu, kebebasan beragama dan berakidah, Islam juga sangat menganjurkan untuk
berfikir, berpandangan luas, lepas dan bebas. Kebebasan berfikir juga diikuti
dengan kebebasan berpendapat, mengkritik dan bersuara. Hal itu bisa diketahui
dengan sangat jelas sekali dari prinsip Islam dalam pembentukan kepribadian dan
jati diri, memerintahkan untuk berkata terus terang, amar ma’ruf, tidak
membiarkan kemungkaran, menyuarakan kebenaran secara lantang tanpa takut kepada
siapapun atau khawatir terhadap celaan orang yang suka mencela. Karena itu,
kritik bukan hanya semata-mata hak, melainkan terkadang juga menjadi kewajiban
agama dalam bingkai pemahaman dan pengertian-pengertian Islam serta tuntutan
untuk menjaga dan memelihara hukum-hukum Islam.
Kebebasan
adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa terbagi-bagi dalam pengertian dan
pemahaman Islam. Di dalamnya, aspek agama tidak terpisah dari aspek-aspek
politik, sipil dan lainnya. Oleh karena itu, apabila terjadi kesalahan dalam
penerapan hukum-hukum agama atau kecacatan dan ketidakberesan dalam
menggariskan dan membuat sketsa politik, atau terjadi perampasan hak-hak sipil
dalam berbagai muamalah bebas, maka setiap individu wajib menyampaikan kritik
terhadap pemimpin dan mengembalikannya kepada rel yang benar.
Kebebasan
berfikir mengandung kebebasan mengeluarkan pendapat. Dalam kehidupan masyarakat
yang telah mempunyai agama, kebebasan mengeluarkan pendapat haruslah
berdasarkan kepada landasan dan garis yang telah ditentukan oleh agama
masing-masing. Kebebasan tanpa landasan atau di luar garis tersebut akan
merusak citra masyarakat itu sendiri.
Karena
pikiran atau berfikir adalah modal utama bagi manusia dalam mengurus
kehidupannya, maka maju atau mundurnya suatu bangsa sangat ditentukan oleh cara
berfikir masyarakat dari suatu bangsa tersebut. Bila masyarakat ingin
memperbaiki hidupnya, maka ada baiknya masyarakat tersebut terlebih dahulu
merubah cara berfikirnya.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar