Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.
Prinsip terakhir dalam interkasi sosial muslim dan non muslim aalah prinsip "kerjasama".
Dalam
Islam, tidak ada masalah jika negara muslim menjalin hubungan dan kerjasama
dengan pihak-pihak non muslim yang memiliki i’tikad
baik dan ketulusan, baik mereka dari ahli kitab atau pengikut agama-agama lain.
Hal ini demi mewujudkan kebaikan bersama, membela kemaslahatan dan kepentingan-kepentingan
umum, bekerjasama dalam menegakkan keadilan, menebar keamanan, melindungi
kehormatan-kehormatan dari tindakan pelanggaran, meskipun kerjasama itu
berdasarkan pada sejumlah syarat dan kesepakatan yang di dalamnya tampak ada
semacam ketimpangan.
Hal ini berdasarkan sebuah pribahasa yang sangat indah yang diletakkan oleh
Rasulullah Saw untuk kita pada Perjanjian Damai Hudaibiyah: “Sungguh demi
Allah! Orang Quraisy tidak mengajakku kepada
suatu urusan yang di dalamnya mereka meminta dariku silaturahim dan di dalamnya
mereka mengagungkan dan menghormati hurumatullah (hal-hal yang harus dihormati
dan tidak boleh dilanggar) kecuali aku pasti akan memberikannya kepada mereka.”
Al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk melindungi dan menjaga
keamanan orang-orang non muslim ketika mereka berada di Negara Islam sampai
mereka kembali ke tempat yang aman bagi mereka, seperti yang dijelaskan Allah
Swt dalam ayat berikut ini: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang
tidak mengetahui.” (at-Taubah/9:
6).
Begitu
juga Al-Qur’an mendeskripsikan kepada kita bentuk hubungan kaum muslim dengan
non muslim, yaitu hubungan yang damai dan penuh timbale balik. Allah Swt
berfirman:
“dan jika mereka condong kepada
perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfâl/8:
61).
Di ayat lain Allah SWT juga berfirman: “dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar.”
(an-Nisa’/4:9)
Al-Qur’an bahkan memerintahkan kaum muslim supaya
bersikap baik, berkasih sayang dan berlaku adil dengan non muslim. Di antara
hal yang semakin memperjelas bahwa secara syara’ tidak ada larangan untuk
melakukan kerjasama dengan non muslim adalah penggambaran tentang sikap dan
posisi Islam terhadap agama-agama lain, yang kesimpulannya adalah bahwa
korelasi Islam dengan agama-agama lainnya adalah ada kalanya korelasi yang
membenarkan dan memperkokoh secara global terhadap bentuk awalnya yang masih
orisinil atau membenarkan beberapa bagian serta mengoreksi dan meluruskan
kekeliruan, kesalahan dan distorsi yang terjadi terhadapnya pada bentuknya yang
sekarang. Ini adalah posisi dan sikap Islam dengan agama-agama paganis bahkan
terdefinisikan dengan karakter dan nuansa penuh sikap adil, kearifan, adu
argumentasi, meyakinkan dan menguraikan, sebagaimana yang digambakan oleh sikap
Al-Qur’an secara umum terhadapnya.
Pada hakikatnya, non muslim khususnya ahli kitab (Yahudi
dan Nasrani) memiliki titik temu dengan kaum muslim pada aspek kesamaan sumber
agama dan pokok-pokok akidah. Allah SWT berfirman: “Dia telah mensyariatkan
bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nûh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrâhîm,
Mûsâ dan ‘Îsâ yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah
tentangnya. Amat berat bagi
orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya
orang yang kembali (kepadaNya).”
(Asy-Syûrâ/42: 14)
Ad-Dahlawiy mengatakan bahwa pokok agama yang dibawa
semua nabi adalah satu. Perbedaannya adalah ada dalam aspek syariat dan manhaj.
Rasululullah Saw bersabda: “Telah menceritakan kepada kami Sulaimân bin Dâwûd,
dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Ismâ’il, dari putra Dinar yaitu
‘Abdullâh , dari Abi Shalih as-Samman, dari Abû Hurairah radhiyallahu’anhu
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan
para nabi sebelumku adalah seperti seseorang yang mendirikan sebuah rumah; ia
membangunnya dengan baik, sempurna dan memperindahnya kecuali satu tempat batu
bata yang masih berlubang dan belum sempurna. Orang-orang lalu mengelilinginya
dan melihat-lihat rumah itu lalu mereka pun sangat kagum terhadap rumah itu dan
mereka pun berkata: “Mengapa tidak diletakkan satu batu bata lagi di lubang
ini?” Akulah satu batu bata itu dan aku adalah penutup para nabi.” (HR. Aẖmad).
Bertolak dari kesatuan pokok agama, sebagian ahli kitab pun bersegera untuk
beriman sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur’an: “Katakanlah: “Wahai
ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika
mereka berpaling maka
katakanlah kepada
mereka: “Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
(Âli ‘Imrân/3: 64).
Adapun selain ahli Kitab, hubungan Islam dengan agama-agama mereka adalah
tetap membiarkan unsur-unsur kebenaran, kebaikan dan ajaran yang baik yang
terkandung di dalamnya serta menyingkirkan unsur-unsur kebatilan, kejelekan dan
bid’ah yang terkandung di dalamnya.
Boleh menjalin kerja sama secara damai dengan kaum selain Ahli Kitab itu
berdasarkan dalil bahwa Rasulullah SAW bersedia melakukan perjanjian dengan
mereka dan memperlakukan mereka seperti perlakuan yang beliau terapkan terhadap
ahli Kitab, tentang kaum Majusi. Rasulullah SAW bersabda: “Perlakukanlah
mereka seperti Ahli Kitab” (HR. Syafi’i).
Pada saat berhijrah ke Madinah, Rasulullah Saw meminta bantuan orang non
muslim bernama ‘Abdullah bin ‘Arqath (Uraiqaith) dengan mengupahnya supaya
menjadi penunjuk jalan bagi beliau Saw dan Abu Bakar ash-Shidiq
radhiyallahu’anhu menuju Madinah melalui jalur-jalur tersembunyi setelah beliau
Saw merasa yakin dan percaya kepadanya.
Begitu juga Rasulullah Saw pernah meminta Suraqah bin Malik bin Ju’syam
supaya merahasiakan informasi tentang beliau Saw dan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu’anhu
sebagai imbalan keamanan dan ampunan yang beliau Saw berikan kepada dirinya.
Pada
perang Hunain, Rasulullah Saw juga meminjam sejumlah perisai dari Shafwan bin
Umayah yang pada saat itu dia masih berstatus sebagai non muslim. Begitu juga
pada perang yang sama Rasulullah Saw meminta bantuan kepada sejumlah orang non
muslim untuk ikut bergabung bersama pasukan Islam dengan janji bahwa mereka
akan diberi bagian dari ghanimah yang didapatkan.
Bentuk kerja sama dengan kalangan non muslim
juga terlihat ketika nabi Muhammad Saw menjadikan orang Yahudi sebagai
sekretaris beliau. Hal ini terjadi karena orang Yahudi tersebut mahir bahasa
Ibrani dan Suryani. Dia baru digantikan dengan Zaid bin Tsabit setelah kaum
Yahudi Bani Nadhir terusir dari Madinah.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar