Home » , » Interaksi Sosial Muslim dan Non Muslim (Prinsip ke-8)

Interaksi Sosial Muslim dan Non Muslim (Prinsip ke-8)

Written By agus on Selasa, 10 November 2015 | 20.02


Oleh: Siti Khusnul Qurniawati, MA.


Prinsip terakhir dalam interkasi sosial muslim dan non muslim aalah prinsip "kerjasama".
Dalam Islam, tidak ada masalah jika negara muslim menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak non muslim yang memiliki i’tikad baik dan ketulusan, baik mereka dari ahli kitab atau pengikut agama-agama lain. Hal ini demi mewujudkan kebaikan bersama, membela kemaslahatan dan kepentingan-kepentingan umum, bekerjasama dalam menegakkan keadilan, menebar keamanan, melindungi kehormatan-kehormatan dari tindakan pelanggaran, meskipun kerjasama itu berdasarkan pada sejumlah syarat dan kesepakatan yang di dalamnya tampak ada semacam ketimpangan.
Hal ini berdasarkan sebuah pribahasa yang sangat indah yang diletakkan oleh Rasulullah Saw untuk kita pada Perjanjian Damai Hudaibiyah: “Sungguh demi Allah! Orang Quraisy tidak mengajakku kepada suatu urusan yang di dalamnya mereka meminta dariku silaturahim dan di dalamnya mereka mengagungkan dan menghormati hurumatullah (hal-hal yang harus dihormati dan tidak boleh dilanggar) kecuali aku pasti akan memberikannya kepada mereka.”
Al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk melindungi dan menjaga keamanan orang-orang non muslim ketika mereka berada di Negara Islam sampai mereka kembali ke tempat yang aman bagi mereka, seperti yang dijelaskan Allah Swt dalam ayat berikut ini:Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (at-Taubah/9: 6).

Begitu juga Al-Qur’an mendeskripsikan kepada kita bentuk hubungan kaum muslim dengan non muslim, yaitu hubungan yang damai dan penuh timbale balik. Allah Swt berfirman: dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfâl/8: 61).
Di ayat lain Allah SWT juga berfirman:dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (an-Nisa’/4:9)
Al-Qur’an bahkan memerintahkan kaum muslim supaya bersikap baik, berkasih sayang dan berlaku adil dengan non muslim. Di antara hal yang semakin memperjelas bahwa secara syara’ tidak ada larangan untuk melakukan kerjasama dengan non muslim adalah penggambaran tentang sikap dan posisi Islam terhadap agama-agama lain, yang kesimpulannya adalah bahwa korelasi Islam dengan agama-agama lainnya adalah ada kalanya korelasi yang membenarkan dan memperkokoh secara global terhadap bentuk awalnya yang masih orisinil atau membenarkan beberapa bagian serta mengoreksi dan meluruskan kekeliruan, kesalahan dan distorsi yang terjadi terhadapnya pada bentuknya yang sekarang. Ini adalah posisi dan sikap Islam dengan agama-agama paganis bahkan terdefinisikan dengan karakter dan nuansa penuh sikap adil, kearifan, adu argumentasi, meyakinkan dan menguraikan, sebagaimana yang digambakan oleh sikap Al-Qur’an secara umum terhadapnya.
Pada hakikatnya, non muslim khususnya ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memiliki titik temu dengan kaum muslim pada aspek kesamaan sumber agama dan pokok-pokok akidah. Allah SWT berfirman: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nûh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrâhîm, Mûsâ dan ‘Îsâ yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepadaNya).” (Asy-Syûrâ/42: 14)
Ad-Dahlawiy mengatakan bahwa pokok agama yang dibawa semua nabi adalah satu. Perbedaannya adalah ada dalam aspek syariat dan manhaj. Rasululullah Saw bersabda: “Telah menceritakan kepada kami Sulaimân bin Dâwûd, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Ismâ’il, dari putra Dinar yaitu ‘Abdullâh , dari Abi Shalih as-Samman, dari Abû Hurairah radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan para nabi sebelumku adalah seperti seseorang yang mendirikan sebuah rumah; ia membangunnya dengan baik, sempurna dan memperindahnya kecuali satu tempat batu bata yang masih berlubang dan belum sempurna. Orang-orang lalu mengelilinginya dan melihat-lihat rumah itu lalu mereka pun sangat kagum terhadap rumah itu dan mereka pun berkata: “Mengapa tidak diletakkan satu batu bata lagi di lubang ini?” Akulah satu batu bata itu dan aku adalah penutup para nabi.” (HR. Aẖmad).
Bertolak dari kesatuan pokok agama, sebagian ahli kitab pun bersegera untuk beriman sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur’an: “Katakanlah: “Wahai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Âli ‘Imrân/3: 64).
Adapun selain ahli Kitab, hubungan Islam dengan agama-agama mereka adalah tetap membiarkan unsur-unsur kebenaran, kebaikan dan ajaran yang baik yang terkandung di dalamnya serta menyingkirkan unsur-unsur kebatilan, kejelekan dan bid’ah yang terkandung di dalamnya.
Boleh menjalin kerja sama secara damai dengan kaum selain Ahli Kitab itu berdasarkan dalil bahwa Rasulullah SAW bersedia melakukan perjanjian dengan mereka dan memperlakukan mereka seperti perlakuan yang beliau terapkan terhadap ahli Kitab, tentang kaum Majusi. Rasulullah SAW bersabda: “Perlakukanlah mereka seperti Ahli Kitab” (HR. Syafi’i).
Pada saat berhijrah ke Madinah, Rasulullah Saw meminta bantuan orang non muslim bernama ‘Abdullah bin ‘Arqath (Uraiqaith) dengan mengupahnya supaya menjadi penunjuk jalan bagi beliau Saw dan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu’anhu menuju Madinah melalui jalur-jalur tersembunyi setelah beliau Saw merasa yakin dan percaya kepadanya.
Begitu juga Rasulullah Saw pernah meminta Suraqah bin Malik bin Ju’syam supaya merahasiakan informasi tentang beliau Saw  dan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu’anhu sebagai imbalan keamanan dan ampunan yang beliau Saw berikan kepada dirinya.
Pada perang Hunain, Rasulullah Saw juga meminjam sejumlah perisai dari Shafwan bin Umayah yang pada saat itu dia masih berstatus sebagai non muslim. Begitu juga pada perang yang sama Rasulullah Saw meminta bantuan kepada sejumlah orang non muslim untuk ikut bergabung bersama pasukan Islam dengan janji bahwa mereka akan diberi bagian dari ghanimah yang didapatkan.
Bentuk kerja sama dengan kalangan non muslim juga terlihat ketika nabi Muhammad Saw menjadikan orang Yahudi sebagai sekretaris beliau. Hal ini terjadi karena orang Yahudi tersebut mahir bahasa Ibrani dan Suryani. Dia baru digantikan dengan Zaid bin Tsabit setelah kaum Yahudi Bani Nadhir terusir dari Madinah.
Wallahu a'lam
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger