Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I
Pada tulisan kali ini, kami akan membahas tentang mudharabah. Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka
bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka
menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana
firman Allah di dalam surat Al-Muzzammil, ayat ke-20.
Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata al–qardhu
yang berarti al-qath’u (sepotong), karena pemilik modal mengambil
sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian
dari keuntungannya.
Sedangkan menurut
istilah fikih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja
sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi
modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi
antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Bagaimana hukum mudharabah,
maka terdapat dalil-dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di
antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang
di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)
Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS.
al-Ma’idah: 1)
Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283)
2. Hadits Nabi SAW: Ibnu Abbas RA meriwayatkan
bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak
mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak.
Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung
resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi)
Hadits lain: Shuhaib RA berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan
untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
3. Ijma: Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah.
Diriwayatkan,
sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim
sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka.
karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’.
4. Qiyas: Transaksi mudharabah
diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
5. Kaidah fikih: “Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Islam mensyariatkan
akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian
mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang
yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan
mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa
saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib
(pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan dengan demikian
terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad
kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Secara umum, Mudharabah
terbagi menjadi dua jenis:
1. Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara
mutlak/bebas). Maksudnya adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan
pengelola modalyang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi
jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus
sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta
(lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi
kekuasaan sangat besar.
2. Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu
atau tempat usaha.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai
dengan kehendak pemilik modal.
Mengenai rukun
mudharabah, Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima
rukun:
1. Modal.
2. Jenis usaha.
3. Keuntungan.
4. Shighot (pelafalan transaksi)
5. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola.
Sedangkan syarat-syarat
dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola
(mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh
para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),
dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit
menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat
kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang
diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha
dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang
dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus
dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan
kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai
dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat
sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak
boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak
harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam
bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah
harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali
diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai
perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan
hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola
(mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk
melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan
pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah,
yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah
Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi
kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad
(terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian
kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir
menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola
modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara
kredit, maka ia harus menanggung resikonya.”
Dari Hakim bin Hizam,
sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau
beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah
engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa
ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan
banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau
harus mengganti hartaku.”
Selanjutnya, kerugian
dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal .
Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan
prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya.
Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah
dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah perkara yang telah
disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).
Usaha Mudharabah
dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan oleh salah satu pihak dari pemilik modal
maupun pengelola modal. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus
dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan
transaksi kapan saja dia mau.
Al-Kasani berkata:
“Sekiranya seseorang menerima modal untuk usaha mudharabah selama satu tahun,
maka menurut pandangan kami hal itu hukumnya boleh.”
Ibnu Qudamah berkata:
“Boleh membatasi waktu mudharabah seperti mengatakan, “Aku memberimu modal
sekian dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah berakhir
waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau menjual.”
Demikian sebagian
masalah mudharabah yang dapat kami sampaikan melalui tulisan sederhana
ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Wallahu a’lam
(Sumber: Majalah Pengusaha
Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar