Home » » Pemikiran Empat Madzhab Fikih

Pemikiran Empat Madzhab Fikih

Written By agus on Senin, 02 November 2015 | 16.44

Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I
         Pada Tulisan sebelumnya saya sudah menjelaskan tentang munculnya aliran madzhab. pada tulisan kali ini, saya menulis tentang macam-macam madzhab fikih sunni yang kita ketahui, yaitu:


1. MADZHAB HANAFI (IMAM ABU HANIFAH)
Imam Hanafi (Imam Abu Hanifah) bernama asli Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit Al-Kufi, lahir di Irak (Kufah) pada tahun 80 Hijrah (699 M). Ia hidup pada dua masa, yaitu pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan dan masa kekhalifahan Bani Abbas. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci, lurus) karena sesungguhnya sejak kecil ia berakhlak mulia, dan menjauhi perbuatan dosa dan keji.
Abu Hanifah berasal dari keluarga berbangsa Persia (Kabul-Afganistan), ia dinamai an-Nu’man sebagai ungkapan rasa simpati kepada salah seorang raja Persia yang bernama Muhammad Nu’man ibn Marwan (khalifah dari Bani Umayyah yang ke V). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada Zaman Umayah dan 18 tahun pada zaman ‘Abasiyah.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya, Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam. Kendati anak seorang saudagar kaya, ia sangat menjauhi hidup yang bermewah-mewah. Begitupun setelah menjadi seorang pedagang yang sukses . hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri, misalnya memberi kebutuhan makan dan menguatkan pasukan Imam Zaid ketika memberontak khalifah Bani Umayah.
Perhatian Abu Hanifah yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan, menyebabkan dirinya menjadi seorang imam yang besar dan terkenal pada saat itu (sampai sekarang, penulis), dan ketenarannya itu didengar Yazid ibn Umar ibn Hubairah (seorang Gubernur Irak), sehingga Yazid meminta Abu Hanifah untuk menjadi qadhi. Karena menolak tawaran tersebut, Abu Hanifah ditangkap, dipenjarakan, dan dicambuk. Tetapi atas pertolongan juru cambuk, Abu Hanifah berhasil meoloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Setelah Umayah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaan Abasiyah dengan rasa gembira.
Sikap politik Abu Hanifah berpihak pada keluarga ‘Ali (ahl a-Bait). Hal itu digambarkan oleh Abdurrahman Asy-Syarqawi sebagai berikut: “Kecintaan kepada Ahlul Bait telah demikian telah demikian melekat dalam hati Abu Hanifah sejak ia berkenalan dengan para Imam Ahlul Bait dan menimba pengetahuan dari mereka. Ditambah lagi setelah ia menyaksikan bentuk-bentuk penganiayaan yang dialami oleh Ahlul Bait dengan sangat getirnya, baik siang maupun malam...” sementara itu, pada masa Bani Abasiyah berbagai fitnah telah melanda keturunan Ali, namun Abu Hanifah berfatwa, “Bani Ali adalah para pemegang kebenaran.”
Penguasaan terhadap berbagai ilmu seperti ilmu fikih, ilmu tafsir, hadits, bahasa Arab dan ilmu hikmah, telah mengantarkannya sebagai ahli fiqih dan keahliannya itu diakui oleh para ulama pada zamannya. Keahlian tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i bahwa “Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqih”. Imam Abu Hanifah kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fikih untuk bermusyawarah tentang hukum Islam serta menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang-undangan dan ia sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya bekaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Akibat siksaan di penjara, kesehatan Abu Hanifah menurun. Ia meninggal dunia tahun 150 H dengan diantar oleh lima puluh ribu penduduk Irak. Khalifah “terpaksa” menshalati Imam Abu Hanifah dan dengan penuh penyesalan ia berkata, “Siapakah yang dapat memaafkanku terhadap Abu Hanifah, baik ketika ia hidup maupun setelah meninggal.” Ia meninggal dunia seperti matinya orang-orang shiddîq dan para syuhadâ’.
Adapun pemikiran madzhab ini, maka mazhab Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlu ar-ra’yi serta fikih dari Irak. Ia dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam madzhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur menguraikan karakteristik manhaj Hanafi, bahwa fikih Hanafi membekas kepada ahli Kufah (negeri Imam Abu Hanifah dilahirkan) yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan. Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni apabila tidak ada nash, ijma’, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah.
Alasannya: kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadist mereka nilai sebagai hadist ahad. Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fikih) di kalangan madzhab Hanafi adalah: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Fatwa sahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma’.
Dalam analisis Muhammad Said Tanthowi, dasar atau prinsip ijtihad Hanafi menyandarkan kepada, “kemudahan, toleransi, menghargai martabat manusia, kebebasan berpikir, dan kemaslahatan umat.”
Berbagai pendapat Abu Hanifah yang dibukukan oleh muridnya antara lain: Zhahir ar-Riwayah dan an-Nawadir  yang dibukukan oleh Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Al-Kafi yang dibukukan oleh Abi Al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi  (w. 344 H), Al-Mabsut (syarah al-Kafi dan dianggap sebagai kitab induk mazhab Hanafi) yang dibukukan pada abad ke-5 oleh Imam as-Sarakhsi, Al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, yang dilestarikan oleh Imam Abu Yusuf yang dikenal sebagai peletak dasar usul fiqh madzhab Hanafi.
Madzhab Hanafi sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/logika dalam mengupas masalah fikih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya adalah karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i. Selain itu, karena kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
2. MADZHAB MALIKI (IMAM MALIK)
Imam Malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn Haris ibn Gaiman ibn Kutail ibn Amr ibn Haris Al-Asbahi. Ia lahir di Madinah pada tahun 93-179 H/712-796 M. Nama al-Asbahi, nisbah pada Asbah salah satu kabilah di Yaman tempat salah satu kakeknya datang ke Madinah dan ia tinggal di sana. Kakeknya tertinggi Abu Amir adalah sahabat Nabi SAW dan mengikuti perang bersamanya kecuali perang Badar. Imam Maik dilahirkan pada zaman Khalifah Walid bin Abdul Muluk dan meninggal pada zaman Harun ar-Rasyid di Madinah.
Kakek dan ayah Imam Malik termasuk ulama hadist terpandang di Madinah. Maka ia mencari ilmu di kota kelahirannya dan ia merasa di Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama-ulama besarnya. Kecintaannya terhadap ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah (khalifah al-Mansur, al-Mahdi, Harun ar-Rasyid, dan al-Makmun).
Perjalanan hidup Imam Malik tidak jauh berbeda dengan Imam Abu Hanifah, ia pernah disiksa, diseret sampai bahunya terlepas, bahkan dipenjara karena sering menjelaskan hadist-hadist sehingga masyarakat terdorong untuk memberontak dan tidak mau membaiat khalifah. Pada masa akhir tuanya, ia menderita sakit dan sakitnya bertambah parah. Banyak orang yang tidak tahu sakit yang diderita Imam Malik. Ia meninggal di Madinah (179 H) pada usia 86 tahun.
Dalam pemikirannya, prinsip dasar madzhab Maliki  adalah: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, ‘Ijma, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa sahabat, Al-maslahah al-mursalah, ‘urf, Istihsân,  Istishâb, Sad adz-dzarî’ah, Syar’u man qoblana.
Kemudian Imam Asy-Syatibi menyederhanakan dasar fikih madzhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Rasio.
Alasannya: menurut imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-maslahah al-mursalah, sadd adz-dzar’iah, istihsan, ‘urf, dan istishab. Menurut para ahli ushul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
3. MADZHAB SYAFI’I (IMAM SYAFI’I)
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn Ustman ibn Syafi ibn as-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf. Ia lahir di Gaza (Palestina), pada tahun 150 H (767-820M), berasal dari keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di ‘Abd Manaf (kakek ketiga Rasulullah SAW).
Pada usia 30 tahun, Imam Syafi’i menikah dengan seorang wanita dari Yaman bernama Hamidah binti Nafi’ yang merupakan seorang puteri keturunan khalifah Ustman bin Affan (sahabat dan khalifah yang ke dua). Dari pernikahannya, ia mendapat tiga orang anak, satu anak laki-laki (Muhammad bin Syafi’i yang menjadi qâdhi di Jazirah Arab), dan 2 anak perempuan. Kecerdasan Imam Syafi’i telah terlihat ketika berusia 9 tahun. Saat itu ia telah menghafal seluruh ayat al-Qur’an dengan lancar, bahkan sempat 16 kali khatam Al-Qur’an dalam perjalanannya dari Mekah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab al-Muwaththa’   karangan Imam Malik yang berisikan 1.720 hadist pilihan dihafalnya di luar kepala. Imam Syafi’i juga menekuni bahasa Arab di Dusun Badui Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah dan belajar fiqih dari seorang ulama besar (Imam Muslim bin Khalid Azzanni) yang juga mufti kota Mekah pada saat itu. Kecerdasan inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekah.
Meskipun ia menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, Imam Syafi’i lebih dikenal sebagai ahli hadist dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat ia digelari Nâshiru Sunnah (pembela/penolong sunnah Nabi). Ia meninggal dunia setelah 6 tahun tinggal di Mesir mengembangkan mazhabnya dengan jalan lisan dan tulisan serta sudah mengarang kitab ar-Risâlah (dalam ushul fikih) dan beberapa kitab lainnya. Rab’i bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i) berkata, ”Imam Syafi’i berpulang ke rahmatullah sesudah shalat maghrib, pada usia 54 tahun, malam jum’at, bertepatan dengan 24 Juni 819 M.
Keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fikih dan hadist pada zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup pada zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlul hadist dan Ahlul ra’yi, Imam Syafi’i berupaya untuk mendekatkan kedua aliran ini. Oleh karena itu, ia belajar kepada Imam Maliki sebagai tokoh Ahlul hadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlul ra’yi.
Dalam penetapan hukum Islam, Imam Syafi’i menggunakan: Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’ sahabat, Qiyas (tetapi dalam pengguanaannya tidak luas).
Imam Syafi’i menolak istihsan sebagai salah satu cara mengistinbathkan hukum syara’. Penyebarluasan pemikiran mazhab Syafi’i diawali melalui kitab ushul fiqhnya ar-Risâlah dan kitab fikihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H) seorang ulama besar Mesir, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).
3. MADZHAB HANBALI (IMAM AHMAD IBN HANBALI)
Imam Hanbali bernama lengkap Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad asy-Syaibani al-Marwazi al-Baghdadi, lahir di Mirwa (Baghdad) pada tahun 780-855 M, bertepatan pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 H. Julukan Abu Abdullah ini berasal dari bangsa Arab kabilah an-Najjar. Nasabnya bertemu dengan Nabi SAW pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ia dibesarkan oleh ibunya lantaran sang ayah meninggal dunia pada masa muda, pada usia 16 tahun, keinginannya yang besar membuatnya belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama yang ada di Baghdad. Setiap kali mendengar ada ulama yang terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu yang cukup lama untuk menimba ilmu dari sang ulama.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadist tak diragukan lagi putera sulungnya, Abdullah bin Ahmad mengatakan bahwa Imam Hanbali telah hafal 700.000 hadist di luar kepala. Hadist sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat dan ditulis kembali dalam kitabnya al-Musnad berjumlah 40.000 hadist berdasarkan susunan nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaiannya mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan banyak ulama dan pewaris hadist terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud.
Perjalanan hidup Imam Hanbali yang penuh dengan derita dan luka tak menggentarkan ia untuk mencari ilmu dan membuat karya. Ahmad ibn Hanbal meninggal pada hari Jum’at pagi tanggal 12 Rabiul Awal tahun 241 H/855 M dalam usia 77 tahun, dimakamkan di pemakaman Bab Harb di kota Baghdad.  
Imam Ahmad adalah seorang pakar hadist dan fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir, ”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal,”
Dasar mazhab Hanbali adalah Al-Quran, Sunnah, fatwa sahahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, sadd adz-dzarai’.
Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadist. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadist mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis bathil atau munkar.
Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih menguasai fikih dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadits. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad, Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran, Abu Bakr Al-Khallal, Abul Qasim yang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fikih madzhab Ahmad. Salah satu kitab fikih madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Prinsip dasar Madzhab Hanbali adalah: An-Nushush, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’, fatwa Sahabat, jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’, dan apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Madzhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Madzhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zarî’ah, ‘urf; istishâb, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang Madzhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Madzhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fikih sesuai dengan prinsip dasar Madzhab Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Madzhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fikih Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Madzhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Madzhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Madzhab Hanbali menjadi madzhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
Wallahu a'lam
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger