Oleh: Agus Nurhakim, MA. M.Pd.I
Perilaku Bangsa
Arab Sebelum Islam
Bangsa
Arab sebelum diutus seorang Nabi SAW adalah umat yang tidak mempunyai aturan,
kebiadaban yang mengendalikan mereka, gelapnya kebodohan yang menaungi mereka
dan tidak ada agama yang mengikat mereka, serta tidak ada undang-undang yang
dapat mereka patuhi. Akibat dari itu semua
jiwa mereka dipenuhi dengan akidah yang batil. Tuhan dihayalkan pada patung
yang mereka Pahat. Dengan tangannya sendiri, terkadang pada binatang-binatang
yang tampak dan hilang didepan mata mereka.
Mekkah
adalah sebuah kota yang sangat penting di negeri Arab, baik karena tradisinya
maupun karena letaknya. Kota ini ini dilalui jalur perdagangan yang ramai
menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di Utara. Dengan adanya ka’bah
ditengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab. ka’bah adalah tempat mereka
berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama, atau hubal.
Mekkah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu
mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta
mil persegi.
Bila
dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi
dua golongan besar, yaitu Qathaniyun (keturunan Catan), dan Adnaniyun
(keturunan Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki oleh
golongan Adnaniyun, dan wilayah selatan diduduki oleh golongan qahthan. Akan
tetapi lama-kelamaan kedua golongan tersebut membaur karena
perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Masyarakat,
baik nomadik ataupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Mereka
sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas
kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka sangat
suka berperang, sehingga peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini
nampaknya sudah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab.
Dalam
masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai seorang wanita sangatlah rendah.
Situasi ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu
merupakan kancah peperangan terus menerus. Pada sisi lain, meskipun masyarakat
badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir
(ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta
rampasan dan pertempuran tertentu. Diluar itu, syekh atau amir tidak memiliki
wewenang apa-apa.
Pada
saat itu penganut agama yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab,
yang terpenting diantaranya adalah Yastrib. Penduduk koloni ini terdiri dari
orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi. Walaupun agama Yahudi dan Kristen
sudah masuk ke jazirah Arab, akan tetapi bangsa Arab masih menganut agama asli
mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala
dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala itu
mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk.
Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang kebangkitan islam.
Hukum Yang
Berlaku Sebelum Islam Datang Secara Umum
Secara
umum, periode Makkah pra-Islam disebut sebagai periode Jahiliyyah yang berarti
kebodohan dan barbarian. Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti,
masyarakat Makkah pra-Islam adalah masyarakat yang tidak memiliki takdir
keistimewaan tertentu (no dispensation), tidak memiliki nabi tertentu
yang terutus dan memimpin (no inspired prophet) serta tidak memiliki
kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book)
dan menjadi pedoman hidup.
Sehubungan
dengan sejarah kemanusiaan, hukum Jahiliyyah ternyata membuat keberpihakan pada
kelompok tertentu yang dapat disebut memiliki karakter rasial, feudal dan
patriarkhis.
1. Karakter
Rasial
Sifat pertama, rasial, yang terdapat
pada hukum Jahiliyyah bisa ditunjukkan dengan adanya perasaan kebangsaan yang
berlebihan (ultra nasionalisme) dan kesukuan ('ashabiyyah) serta adanya
pembelaan terhadap orang-orang yang berada dalam komunitas kesukuan (qabilah)
yang sama. Pada masyarakat Arab pra-Islam, dikenal istilah al-'ashabiyyah
atau al-qawmiyyah yang berarti kecenderungan seseorang untuk membela
dengan mati-matian terhadap orang-orang yang berada di dalam qabilah-nya
dan dalam qabilah lain yang masuk ke dalam perlindungan qabilah-nya.
Benar atau salah posisi seseorang di dalam hukum, asal dia dinilai sebagai inner
group-nya, pasti akan selalu dibela mati-matian ketika berhadapan dengan
orang yang dinilai sebagai outer group-nya.
Orang-orang Arab pra-Islam memiliki
perasaan kebangsaan yang luar biasa (ultra nasionalisme). Mereka menganggap
diri mereka (Arab) sebagai bangsa yang mulia dan menganggap bangsa lain ('Ajam)
memiliki derajat di bawahnya.
2. Karakter
Feudal
Karakter feudal pada hukum Arab
pra-Islam tergambar dengan adanya superioritas yang dimiliki oleh kaum kaya dan
kaum bangsawan di atas kaum miskin dan lemah. Kehidupan dagang yang banyak
dijalani oleh orang Arab Makkah pada waktu itu yang mengutamakan kesejahteraan
materi menjadikan tumbuhnya superioritas golongan kaya dan bangsawan di atas
golongan miskin dan lemah. Kaum kaya dan bangsawan Arab pra-Islam adalah
pemegang tampuk kekuasaan dan sekaligus menjadi golongan yang makmur dan
sejahtera di Makkah, kebalikan dari kaum miskin dan lemah.
Sekalipun ada nilai kebaikan (al-muru'ah)
dalam masyarakat Arab pra-Islam, sebagaimana yang tergambar dalam puisi-puisi
Arab pra-Islam, yaitu bahwa salah satu kebaikan yang harus dimiliki oleh
pemimpin kelompok adalah kedermawanan. Masyarakat Arab pra-Islam mempunyai rasa
kebanggaan yang salah, yaitu neglect of the poor, neglect of
almsgiving and of support for the weaker member of the community (menampik
orang miskin, menolak memberi sedekah dan bantuan kepada anggota masyarakat
yang lemah). Sistem hukum dan sejarah perbudakan di kalangan Arab pra-Islam
merupakan bukti kuat adanya karakter feudal pada hukum Jahiliyyah masyarakat
Arab pra-Islam tersebut. Budak adalah manusia rendahan yang memiliki derajat
jauh di bawah rata-rata manusia pada umumnya, bisa diperjualbelikan, bisa
diperlakukan apa saja oleh pemiliknya, dan tidak memiliki hak-hak asasi manusia
sewajarnya selaku seorang manusia.
3. Karakter
Patriarkhis
Karakter berikutnya yang melekat
kuat pada hukum Jahiliyyah adalah patriarkhis. Dalam penelitian Haifaa, kaum
lelaki pada waktu itu memegang kekuasaan yang tinggi dalam relasi laki-laki
dengan perempuan, diposisikan lebih tinggi di atas kaum perempuan, Kaum
perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif, tidak adil dan bahkan dianggap
sebagai biang kemelaratan dan symbol kenistaan (embodiment of sin).
Dalam sistem hukum Jahiliyyah, perempuan tidak memperoleh hak warisan, bahkan
dijadikan sebagai harta warisan itu sendiri. Kelahiran anak perempuan dianggap
sebagai aib, sehingga banyak yang kemudian dikubur hidup-hidup ketika masih
bayi. Secara singkat, dalam istilah Haifaa, perempuan diperlakukan sebagai a
thing dan bukan sebagai a person.
C. Hukum
Yang Berlaku Pada Zaman Jahiliyah
1. Perkawinan
Ada beberapa jenis perkawinan yang
dipraktikan dikalangan masyarakat Arab, sebagian diakui keabsahannya oleh hukum
Islam dan sebagian lain dihapuskan karena tidak bersesuaian dengan jiwa hukum
Islam :
a. Poligami, merupakan praktik
yang sudah melembaga di masyarakat Arab, namun poligami yang dilaksanakan tidak
ada aturan dan batas-batasnya. Seorang laki-laki boleh menikahi perempuan
sebayak-banyaknya tanpa batas maksimal
b. Istibdla, yakni seorang suami
meminta istrinya untuk berhubungan badan dengan laki-laki mulia atau mempunyai
kelebihan sesuatu, setelah hamil si suami tidak mencampurinya hingga istrinya
melahirkan. Tujuan dari perkawinan ini adalah untuk mendapatkan gen, sifat,
atau keturunan terhormat atau istimewa.
c. Rahthun, atau poliandri, yaitu
seorang perempuan mempunyai pasangan laki-laki lebih dari seorang.
d. Maqthu, seorang anak tiri
menikahi ibu tirinya ketika ayahnya meninggal. Isyaratnya, ketika si ayah
meninggal, si anak melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai pertanda ia
menyukai ibu tirinya, dan ibu tiri tersebut tidak dapat menolak.
e. Badal, yaitu tukar menukar
istri tanpa ada perceraian terlebih dahulu dengan tujuan untuk mencari variasi
atau suasana baru dalam berhubungan seks.
f. Sighar, seorang wali
menikahkan anaknya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa mahar
dengan kompensasi si wali sendiri menikahi anak perempuan atau saudara
perempuan si laki-laki tersebut.
g. Khadan, yaitu perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa
adanya akad nikah (kumpul kebo). Masyarakat Arab ketika itu menganggap
perkawinan ini bukan merupakan kejahatan asal dilakukan secara rahasia.
2. Riba
Menurut Muhammad Abduh (w. 1905) dan
muridnya, Muhammad Rashid Ridha, ketika menjelaskan bentuk riba yang dilarang
pada masa pra-Islam, mereka menegaskan bahwa riba pada masa pra-Islam
dipraktekkan dalam bentuk tambahan pembayaran yang diminta dari pinjaman yang
telah melewati batas tempo pembayaran, sehingga mengalami penangguhan yang
menyebabkan meningkatnya pembayaran hutang tersebut.
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya
mengutarakan bahwa “riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan
umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui
oleh debitor dan berkata kepadanya, “Bayarlah atau kamu tambah untukku.” Maka
apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya,
dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang
lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya
berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya
pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki
tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan
seterusnya menjadi jaz’ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut.
Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk
menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi
100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya
400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang
dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu
bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata
kepadanya “untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran”,
maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.
3. Anak angkat
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan
adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak
tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak yang diangkat mempunyai
hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat
anak) oleh si mati berhak mendapatkan harta peninggalannya seperti anak
keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta diperlakukan sebagai
anak kandung dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas
dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia dan
pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang sudah dewasa.
Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia adalah adanya dorongan
kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan
tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang
mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan
mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah
keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki.
4. Warisan
Hukum kewarisan adat Arab pada zaman
Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian warisan dalam masyarakat yang
didasarkan atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun
hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah
dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan
melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
Perempuan dan anak-anak tidak
mendapatkan warisan, karena dipandang tidak mampu memangul senjata guna
mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas
harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/atau istri
saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini
berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan yang melarang menjadikan wanita
dijadikan sebagai warisan.
Selain itu perjanjian bersaudara,
janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila salah seorang
dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara itu meninggal dunia
maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6 (satu per enam)
dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli
warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus
laki-laki.
Pengangkatan anak yang berlaku di
kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila anak
angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk sepenuhnya mewarisi harta
bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada masa permulaan
Islam hal ini masih berlaku.
5. Haji
Pada masa ini,
jama’ah haji terbagi menjadi dua kelompok, pedagang dan non-pedagang. Jama’ah haji pedagang sudah harus
bertolak meninggalkan negerinya pada hilal bulan sebelum datangnya bulan haji,
sebagai contoh, mereka harus sudah meninggalkan negerinya
pada permulaan bulan Dzulqa’dah
jika haji itu terjadi pada bulan Dzulhijjah, hal itu dimaksudkan agar para jama’ah haji bisa ikut berpartisipasi dalam pasar khusus di Ukaz selama dua hari, dari pasar Ukaz ini, jamaa’ah haji berangkat menuju Majnah untuk berdagang selama sepuluh hari setelah hilal Dzulhijjah, pasar Majnah ditutup dan
rombongan haji pedagang ini berangkat ke Dzul Majaz untuk melakukan transaksi
perdagangan selama delapan hari, pada hari tarwiyah, mereka bertolak ke Ar afah untuk melakukan wukuf.
Berbeda dengan
jama’ah non-pedagang. Pada hari Tarwiyah,
jama’ah non- pedagang ini langsung menuju ke Arafah guna melaksanakan wukuf.
Sebagian diantara mereka melaksanakan di Arafah dan
bagian yang lain melakukan wukuf di Namirah (perbatasan tanah haram). Setelah
bermalam ditempat masing- masing, menjelang terbenamnya
matahari, mereka bertolak ke Muzdalifah. Keesokan harinya, setelah matahari terbit,
jama’ah haji non-pedagang ini bertolak ke Mina. Dari sini kemudian mereka pergi ke Mekah
guna melaksanakan tawaf. Beberapa suku menetapkan tradisi bagi anggota yang baru pertama kali melaksanakan haji. Bagi anggota baru mereka diharuskan
melakukan tawaf dalam keadaan tanpa busana, baik laki-laki
maupun perempuan karena mereka berargumentasi bahwa
pakaian yang dikenakannya adalah kotor (tidak suci)
sehingga tidak pantas digunakannya untuk ibadah, sedangkan jama’ah yang
dihormati oleh masyarakatnya tetap mengenakan pakaian ketika melaksanakan tawaf, akan tetapi, setelah itu pakaian tersebut tidak
boleh digunakan lagi.
Dari
rekonstruksi pelaksanaan haji pada masa jahiliyah terdapat unsur- unsur manasik haji nabi Ibrahim. Hal ini menandakan
bahwa pada waktu itu suku-suku Arab masih mengikuti millah Ibrahim. Meskipun ajaran Nabi Ibrahim
yang murni itu disusupi oleh tradisi-tradisi heterodoks.
6. Qishash
Sudah diketahui bahwa bangsa Arab
telah mempunyai aturan-aturan yang didapati oleh adat dan kebiasaan. Seluruh
kabilah telah bertanggung jawab terhadap tindak pidana anggotanya, kecuali
apabila kabilah itu mengumumkan tebusan dalam masyarakat umum. Oleh karena itu,
jarang wali dari orang yang kena pidana cukup menerima qishash dari orang yang
melakukan tindak pidana, lebih-lebih apabila orang yang kena tindak pidana
orang yang mulia atau tuan dari kaumnya, bahkan mereka meluaskan tuntutan
mereka dengan suatu perluasan yang kadang-kadang sampai menjadikan perang
antara dua suku. Dan kebanyakan suku dari pelaku pidana melindunginya, maka
yang demikian ini menyebabkan keburukan-keburukan dan perang-perang yang
kadang-kadang penyelesaiannya berkepanjangan (berlarut-larut).
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar