Diberdayakan oleh Blogger.

Latest Post

HUKUM ISLAM DAN PRINSIP-PRINSIPNYA

Written By agus on Jumat, 02 September 2016 | 20.24


Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I 

Kata hukum  Islam merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata hukum dan Islam,  Di dalam kamus besar bahasa Indonesia kata hukum  mempunyai arti peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yang  dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, undang-undang, peraturan, untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat,  patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yang tertentu, keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan). Sedangkan Islam sendiri telah dijelaskan diatas merupakan agama yang Rahmatallil’alamin. 

Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum Islam adalah norma-norma yang bersumber dari nilai-nilai keislaman yang dibentuk dari dalil-dalil agama Islam, yang mencakup antara syariah dah fiqh.

Dalam sistem hukum Islam ada lima kaidah yang dipergunakan sebagai patokan pengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun muamalah, kelima jenis kaidah tersebut yaitu Jaiz, sunnat, makruh, wajib, haram, yang disebut juga hukum Taklifi yaitu hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan. Selain hukum taklifi adapula hukum wadh’i yakni hukum yang mengandung sebab, syarat, dan halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum. 

Hukum Islam seperti telah disingggung diatas mencakup syariat dan fiqh, yang merupakan penjelmaan dari hukum Islam itu sendiri, seperti telah dijelaskan syariat mencakup norma yang mengatur hubungan baik ibadah dan muamalah, sedangkan fiqh dalam bahasa berarti paham atau pengertian, apabila dihubungkan dengan kajian ini dapat diartikan  sebagai ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Al-qur’an dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadist.   

Dalam hukum Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan.
Diantara prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut : 

1. Prinsip Tauhid 
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya. 
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas kemudahan atau meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. 

2. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.

3. Prinsip Keadilan 
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.

3. Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama atau hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.

4. Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis. 

5. Prinsip Saling Tolong Menolong
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 

6. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.

Dari prinsip-prinsip tersebut, perlu kita pahami  bahwa hukum Islam dapat menciptakan masyarakat Rabbani

Masjid Agung Tongxin Saksi Berdirinya RRC


Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I

Masjid Agung Tongxin menjadi saksi sejarah berdirinya Republik Komunis Cina. Pada Oktober 1934 hingga 1935, Muslim Hui melakukan kontak pertama dengan kelompok revolusi Partai Komunis Tiongkok dalam upaya penggulingan kaisar terakhir Cina Dinasti Qing. 
 
Muslim Hui di Tongxin pada saat itu memiliki hubungan penting dengan pasukan merah Komunis Tiongkok dalam gerakan revolusi. Pada saat 1936, wilayah Yuwang Bao yang kini berada di wilayah Tongxin merupakan lokasi markas Front Pasukan Merah Pertama. 

Setelah terjadi pengepungan oleh pasukan nasionalis yang mendukung gerakan Kuomintang Sun Yat-Sen. Pasukan Merah kemudian berlindung di beberapa bangunan di wilayah Tongxin, termasuk di antaranya, Masjid Agung Tongxin. Perlindungan yang diberikan Muslim Hui ini menjadi jasa besar bagi Partai Komunis Tiongkok.

Pada Oktober 1936, sebuah pertemuan publik diadakan di Masjid Agung Tongxin dan disepakati oleh pemerintahan komunis pertama. Daerah Ningxia dan Tongxin pun menjadi daerah otonom pertama pada era Komunis Tiongkok. Walaupun daerah otonomi tersebut tidak berumur panjang, ini telah berhasil melindungi bangunan Masjid Agung Tongxin dari kehancuran selama Revolusi Kebudayaan oleh Partai Komunis Tiongkok.

Jauh sebelum Islam menyebar di nusantara, kekaisaran Cina telah menerima Islam menjadi salah satu kepercayaan penduduknya. Islam pun telah diakui menjadi keyakinan masyarakat Cina pada era Dinasti Ming (1368-1644 Masehi). Salah satu bukti bahwa peninggalan Islam tersebut, Masjid Agung Tongxin yang berada di Daerah Otonomi Suku Hui di Ningxia.

Masjid Agung Tongxin ini merupakan satu di antara banyak masjid peninggalan Islam di tanah Cina. Masjid yang dibangun pada 1573 pada masa pemerintahan Kaisar Wanli Ming (1563-1620) dan dibangun kembali sekitar 50 tahun kemudian di bawah Dinasti Qing. 
 
Masjid ini menjadi kebanggaan etnis Muslim Hui hingga sekarang. Saat ini, Masjid Tongxin pun menjadi salah satu masjid terbesar di wilayah yang saat ini disebut Otonomi Hui Ningxia. Masjid Agung Tongxin dinilai istimewa karena menyimpan perjalanan panjang perbauran Islam di dataran Cina. 

Profesor Ibrahim Wenjiong Yang dari Lanzhou University mengatakan, masjid ini merupakan bagian penting dari identitas Muslim Hui di Ningxia. Masjid ini juga menorehkan sejarah perjuangan Muslim Hui semasa Revolusi Kebudayaan. Dari sisi arsitektur, masjid ini menggabungkan unsur tradisional etnis Han-etnis mayoritas Tiongkok ke dalam arsitektur Hui Islam.

Gaya masjid ini serupa dengan model bangunan-bangunan awal di Tiongkok wilayah pesisir, lengkap dengan gaya struktur kayu tradisional yang dipadukan dengan penggunaan bata bata lengkap dengan ukiran seni Arab. Kompleks Masjid Agung Tongxin dibagi menjadi halaman dalam dan luar. Secara keseluruhan, bangunan masjid terbagi menjadi lima ruangan yang cukup luas, beberapa ruangan dibangun dengan gaya konstruksi paviliun dengan ruang pelayanan di bagian depan.

Bangunan utama masjid adalah ruang shalat dan dapat menampung sekitar 800 hingga 1.000 jamaah secara keseluruhan. Masjid ini berdiri di atas tanah seluas 3.432 meter persegi dengan ketinggian fondasi 23 meter. Struktur bangunan mengarah ke sepanjang sumbu dari timur ke barat yang mengarah ke pintu gerbang. Di bagian depan, terdapat gerbang utama yang berukuran lebar 10 meter dan tinggi 20 meter.

Atap gerbang utama ini seperti layaknya bangunan atap khas Tiongkok. Selain itu, gerbang ini memiliki tampilan ubin berukir bertuliskan Arab dan aksara Cina bertuliskan “Masjid Jami Tongxin”. Di samping kanan ubin bertuliskan Arab “La Ilaha Illa Allah” dan sebelah kiri bertuliskan Arab “Muhammad Rasulullah”. Memasuki halaman masjid, terdapat sebuah tembok prasasti dengan tulisan yang sama, namun terdapat motif kaligrafi bundar khas etnis Hui.

Masjid Agung Tongxin memiliki halaman yang cukup luas. Halaman masjid yang cukup luas ini ternyata memiliki sejarah panjang perjuangan etnis Hui dan gerakan komunis Tiongkok pada 1936.

Selama Revolusi Kebudayaan, bangunan masjid dilindungi oleh Muslim Hui atas kesepakatan bersama kelompok Komunis sebagai situs sejarah perjalanan revolusioner. Dengan demikian, Masjid Agung Tongxin beserta arsitektur dan dekorasi uniknya ini menjadi satu-satunya bangunan besar Islam di Ningxia yang selamat dari kehancuran selama Revolusi Kebudayaan.

Sumber: Republika

Mudharabah

Written By agus on Kamis, 19 November 2015 | 17.35




Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.” Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya. Sedangkan madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan  tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad.
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al Qur’an, Sunnah maupun Ijma’. 
Dalam praktek mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual ke Nabi Muhammad saw ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al-māl) sedangkan Nabi Muhammad saw berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib). 
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil  ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT “.
Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribu yang asal katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya secara mudharabah ia mensyaratkan supaya dananya tidak dibawa untuk mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang berhutang bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-syarat tersebut kepada Rasullah SAW dan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Tabrani).
Dari Shalih bin Shuhaib, r.a. bahwa r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), serta mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga dan bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah no. 2280, kitab at-Tijarah).
Menurut Antonio, mudharabah berasal dari kata dharib, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usahanya, secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Sudarsono mengatakan juga bahwa mudharabah berasal dari kata adhdharbu fi asdhi, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti alqoth’u (potongan), karena pemilik memotong   sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian itu akibat si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Selanjutnya, dalam pembiayaan Bank Syariah dan BMT, mudharabah merupakan suatu bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai penyedia modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya berbagi keuntungan menurut kesepakatan bersama dengan kesanggupan untuk menanggung resiko. Bagian keuntungan yang disepakati itu harus berbentuk prosentase (nisbah) dan yang berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi jika terjadi kerugian yang ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-gara kelalaian pengusaha, maka pemilik modal akan menanggung kerugian modal itu seluruhnya (100%) dan pengusaha terkena kerugian dari kehilangan seluruh tenaga dan waktunya atau 0% modal. Pembagian kerugian ini didasarkan pada kemampuan menangung kerugian masing-masing yang tidak sama.
Pada konsepnya, mudharabah menggunakan prinsip bagi untung rugi yang dianggap merupakan konsekuensi dari adanya ketidakpastian dalam kontrak investasi. Akan tetapi, menurut Abdullah Saeed, pada kenyataannya bank Islam (bank Syariah, istilah yang digunakan di Indonesia) hampir menghilangkan karakter ketidaktentuan hasil usaha dalam kontrak mudharabah, melalui berbagai pertimbangan.
Praktek kontrak mudharabah hampir sama dengan bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak beresiko. Oleh karenanya penerapan transaksi mudharabah dalam perbankan Islam dinilai oleh Timur Kuran terdorong untuk menggunakan “bunga yang disamarkan (thinly disguised interest)” atau dengan kata lain bisa disebut dengan bunga yang direkayasa.
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat resiko yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan semakin besar nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya pengelola BMT harus selektif dalam memilih usaha yang akan dibiayai. Biasanya pembiayaan Mudharabah dapat dijalankan untuk proyek-proyek yang sudah pasti.
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account).
a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha,  maupun yang lain.
b. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.

Wallahu a’lam

Mudharabah

Written By agus on Rabu, 11 November 2015 | 20.18


Oleh: Agus Nurhakim, MA., M.Pd.I



Pada tulisan kali ini, kami akan membahas tentang mudharabah. Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Muzzammil, ayat ke-20.
Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata alqardhu yang berarti al-qath’u (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Sedangkan menurut istilah fikih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Bagaimana hukum mudharabah, maka terdapat dalil-dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)
Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1)
Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283)
2. Hadits Nabi SAW: Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi)
Hadits lain: Shuhaib RA berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
3. Ijma: Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah.
    Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’.
4. Qiyas: Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
5. Kaidah fikih:  “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:
1.  Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara mutlak/bebas). Maksudnya adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modalyang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi kekuasaan sangat besar.
2. Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai dengan kehendak pemilik modal.
Mengenai rukun mudharabah, Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
1.    Modal.
2.    Jenis usaha.
3.    Keuntungan.
4.    Shighot (pelafalan transaksi)
5.    Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola.
Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.”
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.”
Selanjutnya, kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal . Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).
Usaha Mudharabah dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan oleh salah satu pihak dari pemilik modal maupun pengelola modal. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia mau.
Al-Kasani berkata: “Sekiranya seseorang menerima modal untuk usaha mudharabah selama satu tahun, maka menurut pandangan kami hal itu hukumnya boleh.”
Ibnu Qudamah berkata: “Boleh membatasi waktu mudharabah seperti mengatakan, “Aku memberimu modal sekian dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah berakhir waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau menjual.”
Demikian sebagian masalah mudharabah yang dapat kami sampaikan melalui tulisan sederhana ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Wallahu a’lam

(Sumber: Majalah Pengusaha Muslim)

Blogger news

Berita Islam
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HUKUM ISLAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger